Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Drama kamar

Teater tikar menampilkan drama sebuah jalan ke kutub di art gallery senisono, yogya. pengarang dan sutradaranya, benthong hariono seloali menyebutnya drama kamar karena vokalnya kurang keras. (ter)

28 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATRIA, seorang pengukir kayu dan bekas pelukis, bersikap bagai Prabu Yudistira yang bijaksana dan besar jiwa. Martinah isterinya, ia persilakan bercinta dengan Asmo, kawannya yang penyair -- semata-mata karena yang terakhir ini membantu hampir sepenuhnya ekonomi keluarga mereka yang berantakan. Sang isteri meskipun tetap berusaha setia melaksanakan janji cinta, harus berjujur hati pula terhadap proses hubungannya dengan Asmo -- apalagi suaminya menyiram api cinta. Demikianlah bertempat di Art Gallery Senisono, Yogya, 4 dan 5 Oktober, drama Sebuah Jalan Ke Kutub dimulai oleh sikap dingin Asmo. Di rumah yang setengah berantakan dan buram, ia mengukir kayu, memainkan alat pahatan, tak-tok-tak-tok yang iramanya sama sekali tidak menyembunyikan kenyataan bahwa sebenarnya ada sekam yang membara di balik sikap dingin dan 'bijaksana'. Seluruh lakon memang berusaha menekan sejauh mungkin emosi. Genthong Hariono Seloali, pengarang dan sutradara, memaksudkan ini untuk konsep teaternya. Tidak saja pada pola vokal, akting, dialog, tapi juga pada inti peristiwa dramatiknya. Untung Basuki sebagai Satria dan Fadjar Suharno sebagai Didi, teman Satria, yang biasa main drama dengan vokal keras ala Bengkel Teater, harus memberi takaran sedemikian rupa. Juga Nining Sulasdhi (Martinah). Genthong sendiri, pemeran Asmo, di samping ngomong dengan intonasi Eropa hingga terasa lucu, pun berdialog amat dingin, gumam-gumam atau bisik. Dari segi 'drama teriak', penampilan ini terasa seperti drama TV atau sandiwara RRI. Genthong menyebut drama ini sebagai 'drama kamar'. "Kalau orang sudah pinter, tak perlu ngomong emosionil, apalagi teriak," ujar Genthong. Tokoh-tokoh dalam drama ini tergolong "pinter", sehingga ada bagian panjang yang lebih tepat disebut diskusi kebudayaan. Akibatnya intensitas yang sebenarnya cukup terbangun sejak awal, jadi kendor. Pola Sebuah Jalan Ke Kutub realistik sekali. Ini berbenturan dengan sementara pandangan yang menganggap bahwa teater berbeda dengan film karena film lebih realistis. Pementasan itu mengungkapkan realitas kehidupan dengan bentuk, esensi, logika dan konteks yang sama sekali realis. Tetapi kemudian terbelah keutuhannya ketika nama-nama Jawa seperti Satria, Asmo dan Tinah, harus mengucapkan kalimat-kalimat yang struktur dan tata-idiomnya terlalu Jerman. Cara berpikir, pingpong, taktis diplomatis obrolannya, sukar ditemukan dalam cara berpikir umumnya orang kita. Sementara itu kejadian-kejadian yang disuguhkan begitu dingin dan 'rasionil' -- membuat orang bertanya apakah benar kita sudah demikian 'lapang dan dewasa' dalam melayani benturan antara kebanaran dan kebenaran. Pada akhir adegan ternyata sikap bijaksana Yudhistira pada Asmo itu hanya bungkus dari kompleks psikologis yang sebenarnya ia alami. Diam-diam Satria memukul tengkuk Asmo dengan besi. Mengikat penyair itu di kursi dalam keadaan pingsan, kemudian mengguyur seluruh rumah dengan minyak tanah meskipun akhirnya ia kembali ragu untuk segera membakar rumah itu. Didi, pelukis yang frustrasi karena masalah keluarga, sejak semula amat membenci gejala percintaan isteri sahabatnya itu dengan Asmo. Ia berniat membunuh penyair ini. Tetapi Asmo licin. Ia berhasil mempermainkan kompleks psikologis Didi lewat kata-kata sehingga pelukis itu akhirnya menancapkan pisau ke dadanya sendiri. Satria bernyanyi setengah linglung untuk jenazah sahabatnya, sambil berjanji mengurusi keuarga Didi (keadaan yang selama ini membuat pelukis ini frustrasi. Sementara itu Asmo dan Tinah berangkulan. Di sinilah muncul pertanyaan tentang "realitas manusia mana?". Asmo dan Tinah berhasil menggapai kebahagiaan yang diusahakannya lewat proses yang lama. Mereka berdekapan di atas mayat Didi serta penderitaan baru Satria -- meskipun yang terakhir ini berucap: "Kawinlah kalian ! Aku restui . . . " Sadisme berlangsung dengan tenang dan dingin. Bisakah ini terjadi pada masyarakat kita? Apakah pelaku itu tidak lebih tepat bernama Jerry, Bob, Dick dan Susan saja? Apalagi ada Asmo yang katanya membantu biaya rumah tangga Satria hanya dengan uang hasil penjualan puisi-puisi. Demikian suburkah Indonesia? Genthong 8 tahun di Munchen, kawin dan beranak di sana. Orang dari Akademi Der Bildenden Kunste Munchen ini tidak sepenuhnya bertahan sebagai wong Jowo. Permainannya sendiri untuk ukuran Yogya datar, kurang progresi, tak ada greget, seperti juga keseluruhan lakon yang memang kurang dinamik. Hanya untung yang kuat, Harno yang total, sementara Nining amat rapi. Keempatnya dari teater yang berbeda: Bengkel Teater, Teater Dinasti dan Teater Gadjah Mada. Tetapi mereka tampil dalam nama baru, Teater Tikar, di bawah Sanggarbambu. Ini merupakan salah satu contoh kerjasama antar teater di Yogya, tapi dengan mutu yang kurang menguntungkan. Emba Ainun Nadjib

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus