DENGAN duit besar berlangsunglah Pekan Teater 6 Kota di TIM,
10-17 Oktober lalu. Direktorat Pembinaan Kesenian Departemen P&K
yang membiayai kegiatan ini, di samping mengharapkan peserta
dapat menjadi etalase untuk menunjukkan perkembangan teater di
daerah, menyediakan juga kesempatan diskusi.
Menurut Kasim Akhmad, gagasan menyelenggarakan Pekan Teater
Nasional yang diikuti seluruh daerah di Indonesia sudah terpikir
sebelum 1962. Adalah yang disebut Musyawarah Teater Nasional di
Yogyakarta yang masa itu membentuk Badan Pembina Teater Nanal
untuk menjelmakan gagasan tersebut. 1971 diselenggarakan pekan
teater yang diikuti Palembang, Ujung Pandang, Banjarmasin dan
Surabaya. 1976 Pekan Teater 4 Kota: Medan, Padang, Ujung Pandang
dan Bandung. Sekarang, 6 kota yang terpilih adalah Banjarmasin,
Medan, Ujung Pandang, Palembang, Padang dan Bandung.
Sinrilik
Masing-masing daerah dibebaskan untuk memilih cerita. Hanya saja
diberikan catatan agar kesempatan ini benar-benar diisi dengan
cara memanfaatkan kekayaan daerah yang dimiliki. Kalau tidak
menggali cerita tradisionil, setidak-tidaknya mempergunakan
bentuk penyampaian teater tradisionil. Sementara itu Dewan
Kesenian Jakarta -- lewat Komite Teater -- yang ikut andil dalam
kerepotan ini, memperlebar lagi kemerdekaan itu dengan
melapangkan dada peserta bahwa mereka tidak dituntut untuk
menampilkan puncak prestasi daerahnya. "Kita harus menghindarkan
kecenderungan anggapan bahwa ini adalah kelompok teater yang
paling baik dari kota bersangkutan," tulis Komite Teater di
dalam folder.
Dengan keleluasaan yang rasanya amat diumbar itu muncullah di
Teater Arena kelompok Banjarmasin dengan cerita Lambung
Mangkurat Di Negara Dipa. Naskah ditulis dan langsung
disutradarai Adjim Ariyadi. Dramawan ini merupakan tulang
punggung kegiatan teater modern di Banjarmasin sampai saat ini.
Ia pernah mengunyah pendidikan di Akademi Seni Drama dan Film
(ASDRAFI) di Yogyakarta. Bergaul rapat dengan WS Rendra.
Menulis banyak sandiwara dari perbendaharaan Kalimantan zaman
dahulu. Tetapi pertunjukannya terlalu lamban untuk publik
Jakarta.
Ceritanya yang memberat, karena lebih merupakan perjalanan
pikiran penulis, kadang tak mampu membatasi kata-kata apalagi
karena tidak ditampung dengan ketangkasan para pemain. Meski
mereka telah berusaha mengorek gaya penampilan teater Mamanda
Banjarmasin, terasa amat lesu. Sejumlah kritik sosial, dagelan
agak kasar yang rupanya dimaksud akan jadi daya pikat penampilan
itu, tidak menolong. Hanya terasa bahwa Banjarmasin memiliki
semangat, dan latar belakang, walau kekurangan bandingan.
Pertunjukan kedua datang dari ledan dengan lakon Si Sarindan.
Naskah ditulis oleh Z. Pangaduan berdasar ide Cek Rahman.
Sutradaranya D. Rivai Harahap. Ini nama baru, karena sementara
ini kita berkenalan dengan Teater Medan di bawah Djohan
Nasution. Kita merasakan adanya kesegaran berbaur dengan usaha
untuk memperhitungkan kekayaan daerah. Dengan sebaris gendang
berjajar di belakang, pertunjukan penuh lagu dan tari. Tempo,
gaya permainan, pengarahan cerita, menunjukkan adanya kehidupan
teater modern yang cukup wajar.
Tontonan menjadi dinamis dan atraktip. Apalagi dibantu banyak
oleh seting dan lampu yang dikerjakan Rujito dengan baik sekali.
Medan dengan penampilan kali ini menunjukkan perhatian dan
kemajuan dibandingkan sebelumnya. Terutama sekali karena faktor
lingkungan yang hendak mereka angkut sempat menyatu dalam
pertunjukan sebagai ekspresi -- bukan hanya tempelan.
Ujung Pandang membawakan cerita I Tolok -- ditulis oleh Rahman
Arge dan disutradarai oleh Aspar. Hampir sama dengan Medan, kota
ini mendapat dukungan kuat dari set Rujito yang amat sugestif.
Didahului oleh seni bertutur yang disebut sinrilik,
dikisahkanlah tokoh I Tolok, seorang penyamun sekaligus pahlawan
yang sempat merepotkan Belanda. Pengarang mencoba untuk
menempatkan tokoh ini sebagai manusia biasa. Penggarapannya
sangat menitikberatkan tekanan pada penataan ruang dan bloking.
Dari komposisi-komposisi yang kelihatan sekali hendak dijaga
sutradara, terasa ada keinginan sadar untuk membuat pertunjukan
atraktif Secara visuil. Mereka cenderung ke arah teater
"kontemporer" -- sebagaimana yang dilakukan oleh banyak teater
remaja sekarang di Jakarta.
Palembang muncul dengan cerita Tambangan -- disutradarai oleh
Nurhasan. Berbeda dengan pertunjukan terdahulu, Palembang
mengetengahkan cerita sehari-hari tentang seorang tukang jukung
yang lupa daratan. Ia menikahi dua orang perempuan yang
melahirkan anak laki-laki dan anak perempuan. Kedua anak yang
hidup terpisah itu pada suatu kali bertemu, dan berpacaran. Pada
akhir cerita terbukalah rahasia, dan tentu saja tukang jukung
itu akhirnya menyesali tingkahnya.
Cerita digarap dalam set sederhana yang dihuni meja kursi,
balai-balai dan dua pintu. Set yang merupakan ciri khas teater
tahun 50-an dan ciri khas sandiwara TV sekarang. Yang menarik
adalah kemiskinan set itu menjadi mengharukan dan tiba-tiba
terasa orisinil di antara pertunjukan lainnya. Namun bila kita
pikirkan, terasa Palembang menyuguhkan sesuatu yang terlalu
bersahaja -bukan sesuatu yang sederhana karena pertimbangan yang
matang. Mereka tidak bisa berbuat lain. Jadi inilah sebuah
potret yang baik untuk sebuah daerah yang teaternya
terbengkalai.
Dari Padang, sekali ini kita tidak berhadapan dengan Wisran Hadi
-- penulis sandiwara dan sutradara yang merupakan tokoh di
Padang masa ini. Entah oleh pertimbangan apa, muncul cerita
Hari-hari Terakbir Datuk Katumanggungan yang disutradarai
Chairul Harun. Pementasan didukung oleh 11 pemain ulu ambek.
Kabarnya di antara para pemain terdapat petani.
Proses penggarapannya pun unik: para pemain di kota terjun ke
bawah untuk belajar bermain dari para petani itu. Yang lebih
menarik adalah kemudian hasilnya, yang ternyata tidak penting.
Di samping memang kita dapat melihat gaya penampilan dan bentuk
teater tradisionil setempat, pertunjukannya lamban tidak dan
tidak memikat. Mudah-mudahan untuk hal ini kemudian yang
disalahkan bukan bentuk teater tradisionilnya. Kelemahan
sebagian besar terletak pada naskah dan penyutradaraan, yang
lebih bermaksud menggali -- bukan menjaga keutuhan penampilan.
Di sini yang ditonjolkan bukan bobot artistik, tetapi penampilan
warna lokal.
Sebagai gong penutup muncul Bandung dengan cerita Pengadilan
Anak Angkat karya Bertholt Brecht -- disutradarai oleh Suyatna
Anirun. Inilah satu-satunya cerita terjemahan yang dipentaskan.
Ada usaha memberinya warna lokal lewat kostum, ilustrasi dan
pengadeganan. Seluruh pemain memakai topeng. Kecuali Yayat
Hendayana, yang mula-mula bertindak sebagai dalang, rasanya tak
ada pemain yang dapat menembus topeng dan menunjukkan permainan
yang mengesankan. Suyatna yang pernah dengan lembut-kocak dan
padu mementaskan karya Moliere berjudul Tabib Tetiron, sekali
ini tak dapat mempettahankan kepantasan tempo permainan. Adegan
terakhir di dalam pengadilan memang komunikatif dan kocak
terutama karena permainan Yayat sebagai Hakim Asdak.
Bandung, yang diakui oleh Saini KM -- dalam diskusi -- sebagai
lebih berkiblat pada teater Barat daripada teater tradisionil,
memang menjadi kikuk untuk dipas-paskan mengenakan gincu alam
Priangan. Sementara busana dan pengadeganan dan mengingatkan
kita pada ketoprak, tiba-tiba gerak-gerik pemain, stilisasi yang
mereka lakukan, terasa seperti tingkah yang ingin jadi orang
Barat. Kontradiksi ini merupakan problim yang seharusnya menjadi
bahan garapan dalam diskusi.
Sangat terasa kurangnya kebutuhan untuk tukar pengalaman. Para
peserta dari keenam daerah lebih cenderung hanya untuk bermain.
Maka peristiwa ini kehilangan kegairahannya sebagai pertemuan,
dan menjadi peristiwa formil. Demikianlah diskusi-diskusi
berlangsung dengan sepi -- ditiadakan pun rasanya tidak apa.
Seandainya di masa yang akan datang masih sanggup lagi
disediakan biaya untuk mengongkosi peristiwa semacam ini, kita
doakan agar kebutuhan tersebut disulut. Tentu saja bukan untuk
memancing supaya orang ramai berdebat saja. Tapi untuk menukar
pengalaman secara tulus. Lalu memikirkan kemungkinan.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini