KELUARGA PERMANA
Oleh: Ramadhan KH
Terbitan Pustaka Jaya, Jakarta, Oktober 1978
170 halaman, 12 x 173 cm
SUSPENSE dan kejutan merupakan dua buah paru-paru yang
memompakan darah kepada tubuh cerita. Ketegangan (tension
merupakan jantungnya. Dengan menempatkan kematian Ida (Farida)
pada awal cerita ketiga unsur vital itu menjadi kena bedah -
hidup dan dibuang. Selanjutnya cerita berjalan secara
kilas-balik (flashback) tanpa ketiga unsur vital sebuah ceritan
modern. Ini bukan tidak diketahui Ramadhan KH yang cukup banyak
membaca roman-roman baik Eropa, terutama Sepanyol.
Tapi mengapakah ia mengambil risiko demikian? Sebab dengan
demikian cerita mengalami perpindahan aksentuasi, Apakah yang
hendak dicapainya? Ya, inilah yang sengaja dilakukannya dengan
mengawali cerita dengan adegan Ida meninggal dunia dengan dua
kalimat syahadat di bibirnya. Adakah kemurtadannya sebagai
seorang muslimin, yang telah membiarkan dirinya dibaptis menjadi
Katolik, telah hapus dan ia menghadap Allah dengan iman Islamnya
kembali memberkatinya? Karena betapa pun dalam di lubuk hatinya
ia tetap seorang Muslimin dan seorang Sunda yang kelahirannya
disambut dengan iqamat dan penguburannya diiringi 'azan, yang
ketika kecil diajar Innaddina indallahi'l Islam (Islamlah agama
di sisi Allah). Bagi seorang Sunda ke-Islam-an selain soal 'iman
adalah juga soal kesetiaan kepada ke-Sundaan, karena bukan Islam
bagi umumnya orang Sunda berarti terban tanah tempat berpijak.
Inilah yang hendak digambarkan pengarang.
Roman ini dengan demikian menjadi mengundang pertanyaan. Ia
bukan sekedar suatu gambaran khas tentang sesuatu realitas
tipikal, melainkan juga suatu undangan kepada pembaca untuk
bertanya kepada dirinya, apakah agamanya hanya sepotong
perhiasan yang boleh ditukar dengan sesuatu yang lebih
'cemerlang' ataukah itu sesuatu yang lebih inhaerent di dalam
dirinya. Karena agama itu -- agama mana pun -- menjadi semakin
kuat di dalam pertahanan dan pergulatan terhadap sesuatu
'serangan' dari luar, walau pun kadar intensitasnya berbeda
dari orang ke orang.
Permana adalah kepala bangunan sebuah pabrik. Sesuai dengan arus
jaman ia menerima hadiah dari pemborong. Telah tiga kali ia
berganti direktur, semua berjalan lancar berkat TST (Tahu Sama
Tahu). Tapi dengan direktur yang keempat ini, Permana kena
batunya. Direkturnya mula-mula minta setengah juta rupiah
sebagai bagian dari hadiah pemborong dan belakangan minta
dibuatkan sebuah rumah besar. Tapi akhirnya ia menjadi semakin
ketagihan dan ingin mengangkangi sendiri segala kangtauw alias
rejeki nomplok. Permana dipecatnya.
Inilah puncak ketak-adilan yang dirasakan Permana paling menekan
dan melukai jiwanya. Ia berontak terhadap keadaan tanpa dapat
berbuat sesuatu. Ia meledak hendak mengamuk, tapi melihat kedua
tangannya sebenarnya telah 'buntung.' Kelelakiannya menjadi
sangat dihinakan oleh kenyataan, bahwa isterinyalah yang menjadi
pencari nafkah sekarang. Harga dirinya terbenam di dalam lumpur,
karena ia dihidupi oleh isterinya.
Tapi itu tak mengangkatnya dari indolensi dan ia tetap pada
keputusannya enggan bekerja. Ia menjadi seekor burung unta
dengan menipu dirinya sendiri, bahwa ia pun pandai mencari uang
dengan menyewakan sebuah kamarnya kepada seorang pemuda Katolik
bernama Soemarto, karena rumah itu ia sendiri yang membangunnya.
Jadi uang sewa itu merupakan iurannya kepada nafkah keluarga.
Karena itu kejengkelannya kepada dunia yang menghimpitnya ia
lampiaskan berupa amarahnya kepada dua sasaran yang empuk:
isterinya yang bekerja setiap hari terlalu keras dan anak
perempuannya, Ida (Farida) yang tak mampu membela diri. Tubuh
merekalah yang dijadikannya sasaran empuk bagi pukulan-pukulan
yang didistribusikannya dengan cukup royal. Di dalam keadaan
rumah gila seperti itu, Soemartolah tempat pelarian bagi Ida
untuk mecari pengertian dan kasih-sayang. Dan pemuda sopan ini
telah berhasil meraih kesempatan di dalam kesempitan Ida
dihamilinya.
Tak tahu telah kecolongan oleh 'pencoleng' satria yang
diundangnya sendiri, sementara itu Permana karena kekuatirannya
mempersilakan Soemarto mencari kamar sewaan lain. Ia hendak
mencegah keakraban Ida-Soemarto berekor panjang!
Setelah kehamilan Ida tak dapat disembunyikan lebih lama lagi,
Permana dan isterinya, Eha (Saleha), dihadapkan kepada suatu
kenyataan sulit, bahwa mereka tak dapat menyeret Soemarto kawin
justeru karena kelainan agamanya. Tak masuk diakal mereka punya
menantu beragama lain. (Sementara menurut Islam tertutuplah
jalan ke perkawinan campuran, yang hanya mungkin antara seorang
lelaki Muslim dengan wanita Kristen atau Yahudi, yakni ahli'
Ikitab. Tapi seorang Muslimah di dalam keadaan yang bagaimana
pun tak boleh kawin dengan yang bukan Muslim!) Terkepung oleh
kebingungan, tergencet oleh keputus-asaan, mereka membujuk Ida
untuk menggugurkan kandungan - suatu abortus provocativus oleh
seorang dukun kampungan dari 'Pulau Cengkeh.' Itulah yang
mengantarkan Ida ke gerbang pekuburan Pandu -- makam Kristen di
Bandung yang bertetangga baik dengan kuburan Islam Sirnaraga.
Tapi Ida sempat dilamar dahulu setelah pulang dari rumahsakit,
tempat ia menyabung nyawa dan berhasil mendapat penundaan maut
untuk waktu singkat. Cukup untuk membuatnya menghadap pastor
Murdiono dan dibaptis sebagai Katolik, kawin di muka Catatan
Sipil dan ditasbihkan perkawinannya di gereja Katolik dengan
mendapat sakramen suci perkawinan, sempat pergi ke Jatiwangi
untuk menjadi kesayangan Sutami dan Surono, kedua mertuanya. Ia
pergi sebagai seorang penganten yang pucatpasi sebagai akibat
abortus provocativus dan kembali tujuh hari kemudian sebagai
sesosok mayat menimbulkan tanya: apakah agamanya? Formil ia
Katolik, tapi dua kalimat syahadat yang meluncur dari bibirnya
sebelum maut memagut, sebenarnya mengembalikannya kepada Islam
di dalam suatu taubat yang hanya Allah yang tahu, terlambat atau
tidaknya. Karena sebelum dibaptis pun Ida menangis di haribaan
ibunya ketika mengatakan akan membiarkan dirinya dibaptis karena
terpaksa.
Jenazah Ida ini membuat tiga orang mengutuk diri mereka
bersalah: Saleha yang menyuruh dilakukannya pengguguran, Permana
si-sadis luar-sadar dan Soemarto si alim biang keladi dosa
arsitek kematian kekasihnya sendiri. Sementara adik neneknya,
Tati, yang mengasuhnya sebagai mengganti neneknya meratapi
kematian cucunya secara berhiba-hiba, kakeknya Ibrahim ngambek
ngeloyor tak mau menginjakkan kakinya ke pekuburan Kristen,
Nenek Lengkong, guru mengajinya tak habis heran bagaimana
asuhannya dapat menyelonong meninggalkan agama Rasul terakhir.
Iah (Komariah) terbenam di dalam isak tangis terkenang kepada
asuhannya semasa kecil.
Pengarang Mau Apa?
Kita diundang untuk menjawab pertanyaan: pengarang itu apa
maunya Memotret masyarakat menengah kecil yang bagi mereka tak
ada backing untuk menghadapi kepahitan dibantainya koruptor
kecil dan jayanya koruptor besar? Ramadhan KH yang bekas
wartawan itu memang telah belajar menjadi seorang pengamat yang
cermat. Membela dirinya terhadap missionarisme yang terlalu
agresif? Orang Cianjur yang satu ini biasanya bukan tukang
berdakwah! Atau ingin menasihati supaya jangan menggugurkan
kandungan? Atau ingin menganjurkan penggunaan alat-alat
kontraseptif bagi hubungan-hubungan prakawin (pre-marital)
sebagaimana dianjurkan sang perawat di dalam cerita?
Saya kira tidak demikian, melainkan ia hanya ingin sekadar
bercerita dengan gayanya yang biasa romantik. Kali ini
menampilkan romantik seorang Ida yang imajiner di tengah-tengah
rheumatiknya realitas-realitas sosial yang serba pahit. Sayang
sekali maut datang terlalu dini, pada usia 19 tahun, menjemput
Ida yang simpatik itu.
Saya gembira, bahwa Ramadhan KH pada usia menjelang setengah
abad masih mampu menulis sebuah roman yang cukup hidup --
pemenang sayembara mengarang roman 1975 Dewan Kesenian Jakarta
-- padahal pengarang-pengarang eks-Balai Pustaka pada usia
tigapuluh tahun telah tamat riwayatnya sebagai sastrawan,
sekalipun mereka kadang-kadang masih terus gentayangan di dalam
percobaan-percobaan yang gagal untuk tetap menulis roman yang
agak boleh juga.
Apa yang berikutnya?
S.I. Poeradisastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini