Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dua yang Terpasung

Orde Baru menghadang para sineas dengan banyak aturan. Alasan pelarangan membingungkan.

10 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ini peristiwa lama, tapi selalu diingat Judy Soebroto, 61 tahun, sebagai sesuatu yang menyedih-kan. Lebih tepatnya sebagai kenangan yang me-ngecewakan. Film garapannya, Nyoman dan Presiden, 17 tahun lalu dilarang beredar oleh Departemen Penerangan. Sebab, penampilan Presi-den Soeharto di film itu dianggap tak relevan dan terkesan hanya tempelan. Lembaga ini khawatir film tersebut dapat mengganggu kewibawaan lembaga kepresidenan secara luas. Judy diminta mengganti judul, tapi ia menolak, dan film itu pun akhirnya dilarang diputar di bioskop.

Jasso Winarto, kini 63 tahun, juga pernah meng-alami nasib yang hampir sama dengan Judy, terkait dengan perfilman dan larangan aparat. Film Wasdri belum lagi dibuat, skenario yang ia tulis sudah dilarang terlebih dulu. Isi skenario dinilai bisa memojokkan aparat. Jasso enggan menuruti anjuran pemerintah. Wasdri yang mestinya dirilis awal 1977 itu pun urung diproduksi.

Karena kecewa, baik Judy maupun Jasso kemudian banting setir. Judy kini menjadi pengajar di lembaga pendidikan film SDM Citra. Sedangkan Jasso berkutat dengan angka-angka di lembaga riset Sigma Research Institute. Berikut petikan wawancara dengan keduanya.

Jasso Winarto Pejabat Merasa Dipermalukan

Mengapa Anda tertarik mem-filmkan kasus Wasdri?

Karena kisah nyata itu sendi-ri sudah sangat dahsyat. Kasus Wasdri adalah kasus orang kecil—kuli pasar yang menolak dibayar murah oleh ibu jaksa yang memakai jasanya—yang mendapat perhatian pers dan masyarakat. Lewat film ini, sa-ya hanya ingin memotret bagaimana hipokrisi begitu membudaya dalam masyarakat, terutama di kalang-an pejabat dan aparat.

Apa yang membuat skenario Wasdri dilarang?

Menurut pemerintah, jika Wasdri jadi difilmkan, akan ada banyak pihak, para aparat dan pejabat, yang tersinggung dan merasa dipermalukan.

Membuat film di era Soeharto itu memang banyak aturan. Skenario harus lolos seleksi dari Departemen Penerangan. Setelah proses produksi selesai, film masuk lagi ke Badan Sensor Film. Nah, skenario Wasdri itu macet di Departemen Penerangan. Mereka minta skenario diubah dan jangan memakai judul Wasdri. Tapi kami tidak mau. Waktu itu saya dan sutradara (Nico Pelamonia) bertekad tak mengubah skenario Wasdri sedikit pun.

Pemerintah menilai skenario Wasdri tak sesuai de-ngan kejadian aslinya….

Skenario Wasdri itu memang bukan tulisan seperti laporan seorang wartawan yang harus memuliakan fakta. Ini karya film yang merupakan perpaduan antara fakta dan fiksi, sehingga besar kemungkinan terjadi improvisasi-improvisasi.

Judy Soebroto Menolak Mengganti Judul

Film Anda dilarang karena faktor judul atau isi ceritanya?

Itu yang sampai sekarang saya tak mengerti. Memang waktu itu Departemen Penerangan mengusulkan beberapa judul, antara lain Nyoman, Nyoman dan Bapaknya, Nyoman dan Kita, Nyoman dan Merah Putih. Saya tak mau mengganti judul. Judul Nyoman dan Merah Putih ternyata tak disukai aparat Korps Polisi Militer. Saya dimarahi kalau memakai judul itu. Katanya, judul itu sangat berbau PKI .

Departemen Penerangan melarang judul Nyoman dan Presiden, sedangkan CPM gerah dengan judul Nyoman dan Merah Putih?

Ya. Yang menarik, ketika film itu diputar di kalangan pejabat Departemen Penerangan, ibu-ibu pejabat, dan aparat di Cilangkap (ditonton sekitar 30 perwira tinggi) semua mengatakan film itu bagus. Bahkan ketika diputar di depan ibu-ibu pejabat Dewan Film, mereka memberikan standing applause yang meriah.

Mengapa Anda ngotot mempertahankan judul itu?

Karena saya mengerti banget apa maksud judul itu. Kalau diganti, sangat tidak pas dengan cerita-nya. Film itu sebetulnya menggambarkan perjalanan anak manusia mencapai Tuhannya, istilahnya moksa. Pre-siden di situ sekadar simbol, yakni simbol keutamaan mencapai mo-ksa. Depar-temen Pene-rangan a-khirnya memberi judul Nyoman dan Merah Putih. Tapi saya menolak.

Film itu sempat diputar di bioskop?

Tak pernah. Tapi kita putar di desa-desa di Bali. Saya da-tang ke sana membawa proyektor.

Setelah Nyo-man dan Pre-si-den-, An-da tak pernah bikin film lagi?

Tak pernah. Sa-ya sudah te-lan-jur ke-cewa sa-ngat men-da-lam.

Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus