Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Yang Bernasib Nahas

Beberapa film ini mengalami nasib tragis: digunting habis lembaga sensor dan baru bisa diputar beberapa tahun kemudian. Bahkan sebagian tak pernah boleh diputar di gedung bioskop. Berikut sinopsis keenam film:

10 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Romusha Pemain: Rofi’i Prabancana, Hamid Arief, Menzano, Mieke Widjaya, Alice Iskak. Skenario: Herman Nagara Sutradara: S.A. Karim Produksi: Sri Agung Utama Film, 1972

Pada 1943 dan 1944, Jepang mulai terkepung. Mereka mengumpul-kan pemuda pribumi untuk mem-bangun markas pertaha-nan di bawah tanah. Dengan janji m-u-luk, pemuda desa ditampung da-lam wadah yang disebut romusha, yang artinya sukarelawan. Nyata-nya, bertolak belakang de-ngan janji, mereka dipekerjakan di tempat tandus dan diperlakukan seperti budak.

Berbulan kemudian, muncul Rota (Rofi’i Prabancana), pemuda pemberani dan tak segan melawan mandor atau tentara Jepang yang kejam. Suatu hari Rota membunuh mandor yang telah menyiksa romusha tua. Ia ditahan dan di-siksa. Namun penyiksaan itu baginya adalah konsekuensi dari keberanian. Simpati datang bukan hanya dari kalangan F-ujingkay—sekelompok wanita yang menye-rahkan diri kepada Jepang—tapi juga muncul dari Tuan Akiro Kobayoshi (Hamid Arief), komandan tertinggi kamp penyiksaan.

Nari (Alice Iskak), Fujingkay yang suka mengantar makanan-, diam-diam kepada Rota menya-ta-kan seluruh temannya mendukung perjuangan Rota. Dalam sua-tu perayaan tradisional Jepang, Rota ditunjuk terjun di arena gulat melawan tentara Jepang. Rota menang. Kemenangan itu membawa dampak pada penyiksaan seluruh romusha oleh serdadu Jepang. Penyiksaan itu tanpa sepengetahu-an Akiro.

Kemarahan para romusha pun tak tertahankan. Akiro turun ta-ngan. Di bawah todongan senjata Nari, Akiro meminta tentara menyerah dan bersedia bekerja sama dengan para romusha. Akiro kemudian melakukan kehormatan tertinggi: harakiri.

Saijah dan Adinda (Max Havelaar) Pemain: Peter Faber, Maruli Sitompul Skenario: G. Soeteman Sutradara: Fons Rademaker Produksi: PT Mondial Motion Pictures (Indonesia) dan Fons Rademaker BV (Belanda), 1977

Saijah dan Adinda mengadopsi kisah Max Havelaar yang ditulis oleh Eduard Douwes Dekker. Film yang bercerita tentang penderi-ta-an rakyat Keresidenan Lebak, Banten, pada 1856 itu dibuat berdasar pengalaman Dekker semasa menjadi asisten residen di tempat itu.

Persis seperti Dekker, semangat Havelaar (Peter Faber) membara saat ditugasi di pos baru di Lebak. Namun, korupsi dan kesewenang-wenangan menumpulkan daya. Pe-jabat sebelumnya mati diracun karena niatnya melakukan pembaharuan. Ketika ia mau mengadu, Gubernur Jenderal Duymaer van Twist, yang sedang bisul kaki-nya, tak mau ketemu. Havelaar pun berang di depan foto Raja Belanda Willem III. ”Tiga puluh juta rakyatmu diperas, dianiaya atas namamu!”

Havelaar di film dilukiskan berhati mulia. Sementara Bupati, sebagai wakil pribumi, justru ber-lagak pilon terhadap penderitaan warga. Demang (Maruli Sitompul) perampas kerbau dan pembunuh rakyat.

Film ini menyuguhkan gambar-gambar yang indah. Dilukiskan situasi pedesaan Banten de-ngan sawah yang hijau. Salah satu adegan menarik adalah adegan perkelahian antara kerbau dan macan. Produser menyewa macan sirkus dan membuat kerbau buatan untuk adegan itu. Berbeda dari tulisan Dekker yang meledak-ledak, penuh sindiran dan kritik, film Saijah dan Adinda tampil linier dan cenderung sederhana.

Yang Muda yang Bercinta Pemain: W.S Rendra, Yati Octavia, Maruli Sitompul, Soekarno M. Noer Skenario: Umar Kayam Sutradara: Sjuman Djaja Produksi: PT Raviman Films, Jakarta, 1978

Cerita bergulir dari sebuah jendela kampus di Jakarta, saat Sony (diperankan W.S. Rendra) membacakan sajak. Rambutnya agak gondrong, sorot matanya tajam, suaranya lantang meneriakkan protes lewat sajaknya. Sony muncul sebagai sosok yang bergerak di antara sejumlah kenyataan sosial.

Sony adalah seorang mahasiswa merangkap penyair. Ia datang dari keluarga priayi Jawa yang hidup pas-pasan. Ayahnya (Maruli Sitompul) seorang pensiunan juru tulis dan bekas pejuang 45 yang jujur serta bersahaja. Sang ayah sangat berambisi mendorong anaknya menjadi sarjana demi mendongkrak martabat keluarga-nya.

Demi memenuhi kebutuhannya, Sony yang melarat itu menyandarkan hidup pada pamannya (Soe-karno M. Noer) nan kaya-raya. Kebetulan, pamannya memang sangat sayang kepada Sony. Itu membuatnya begitu mengagumi dan mengidolakan pamannya.

Belakangan diketahui, sang paman yang dermawan dan diido-la-kannya itu ternyata seorang germo kelas tinggi. Sony terguncang. Dan kegamangan Sony kian memuncak setelah mengetahui pacarnya hamil. Sony ”lari” ke ru-mah neneknya di Yogyakarta, tapi kemudian kembali ke Jakarta. Di ujung cerita, Sony kembali ke pelukan sang pacar di Jakarta. ”Delapan ratus kilometer akan kukebut untuk memelukmu!” pekik Sony.

Bung Kecil Pemain: Frans Tumbuan, Widyawati, Zaenal Abidin, Rahayu Effendi, Bambang Irawan, Kaharuddin Syah Skenario: Deddy Armand Sutradara: Sophan Sophiaan Produksi: PT Dipa Jaya Film, 1978

Film ini bertutur tentang anak muda yang melawan feodalisme di lingkungannya. Ia menentang ayahnya sendiri, pemilik pabrik benang yang mantan pejuang kemerdekaan namun membelot da-ri cita-cita perjuangannya dulu. Sang ayah berubah menjadi sa-ngat kapitalis, mendewakan materi.

Dikisahkan, Raden Mas Ha-r-ry Notokoesoemo (Frans Tumbu-an) pulang sekolah dari Amerika. Ia sangat diharapkan sang ayah, Raden Mas Soedjarwo Notokoesoemo (Zaenal Abidin), untuk menggantikan posisinya. Namun, pandangan anak bungsunya itu berbeda. Ia justru membela nasib buruh pabrik ayahnya yang menuntut kenaikan upah.

Hubungan cinta dengan Ira (Widyawati), penyanyi yang tak jelas asal-usulnya, ditentang keras sang ayah. Berbagai cobaan dihadapi Harry ketika melawan sikap feodalistis ayahnya. Setelah ayahnya meninggal, Harry sibuk dengan kegiatan memberi ceramah di kampus mengenai berjuang demi kepentingan umum.

Ia makin sibuk, tak memperhatikan keluarga. Anak Harry kemudian sakit dan meninggal. ”Aku akan berubah kalau sekitarku su-dah berubah,” katanya. Puncaknya, istri Harry meng-alami kecelakaan dan tewas. Harry pun dihadapkan pada situasi baru: ia harus berubah demi dirinya sendi-ri.

Petualang-petualang Pemain: Abdul Rahman Saleh, Christine Hakim, Cok Simbara Sutradara: Arifin C. Noer Produksi: PT Jaya Bersaudara Film, 1978

Diproduksi PT Jaya Bersaudara Film pada 1978, film yang di-sutradarai Arifin C. Noer ini ber-kisah tentang korupsi besar-besaran, dari korupsi uang, waktu, hingga korupsi moral. ”Hanya anjing saja yang tidak korupsi di film ini,” ucap Jajang C. Noer, istri mendiang Arifin.

Film yang berjudul asli Koruptor-koruptor itu menceritakan sebuah perusahaan yang digerogoti korupsi dari dalam. Salah satu direktur dalam perusahaan itu, Lukman (Abdul Rahman Saleh, sekarang menjadi Jaksa Agung), memiliki istri, Sarah (Christine Hakim), yang berselingkuh de-ngan Franky (Cok Simbara).

Dalam rapat tahunan perusaha-an, terjadi aksi saling tuding. Sebagian lantas berkonspirasi ingin melenyapkan kelompok lawan. Ke-jar-kejaran terjadi, ditimpali adeg-an melarikan diri. Di akhir cerita, semua tokoh tewas diberondong peluru. Yang masih hidup hanya si anjing. Dia setia menunggu tuannya pulang. Tuannya sendiri, kasir rendahan di perusahaan itu, ikut tewas bersama para tuan besar koruptor lainnya.

Nyoman dan Presiden Pemain: Putu Wijaya, Yatti Surachman, Dewa Gde Badung Sumartha Sutradara: Judy Soebroto Produksi: PT Jantera Sidha Dyatmika Film, Jakarta, 1989

Namanya Nyoman. Usianya sebelas tahun. Anak itu lahir dari keluarga miskin di Bali: ayahnya sopir truk (diperankan Putu Wijaya) dan ibunya (Yatti Surachman) adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Mereka hidup di sebuah desa terpencil di selatan Pulau Dewata.

Tapi Nyoman (Dewa Gde Badung Sumartha) cukup unik. Ia sangat mengagumi sosok kepala negara, termasuk Presiden Soeharto. Di dinding kamarnya yang lusuh terpampang sebidang papan ditempeli guntingan gambar-gambar presiden sejumlah negara, yang diambilnya dari koran. Mata Nyoman terus lekat memanda-ngi guntingan gambar itu dengan se-gumpal khayalan dan impian.

Tatkala Lebaran tiba, Nyoman berkirim surat kepada Presiden Soeharto. Tak dinyana, selang beberapa waktu kemudian datang surat balasan, berisi foto Presiden dan ucapan Selamat Galungan. Su-rat itu bikin geger seluruh warga desa. Sampai-sampai, kepala desa merasa terusik dan kemudian menyita surat itu.

Akhirnya, melalui lika-liku ce-rita, Nyoman pergi Yogyakarta untuk menemui Soeharto yang te-ngah meresmikan Monumen Yogya Kembali. Nyoman berteriak memanggil-manggil Presiden. Di layar, Soeharto tampak menoleh seraya tersenyum kepadanya. Dan seketika kamera stop motion, lalu adegan cepat berpindah ke Bali. Keluarga Nyoman yang tengah bekerja di sawah tampak tertawa bahagia.

Nurdin Kalim, Evieta Fadjar, Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus