Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
H. Misbach Yusa Biran
Ketika mampir ke Taman Ismail Marzuki pada 11 Maret 2001, di situ sedang diselenggarakan acara Memperingati Hari Film Nasional. Acara pokok hari itu diskusi mengenai standardisasi profesi pekerja film.
Lho, kok peringatan Hari Film pada 11 Maret? Lagi pula mengapa yang dibahas soal standardisasi? Saya sengaja melintas di antara peserta diskusi yang sedang jeda minum kopi, barangkali ada peserta yang bisa saya tanyai, lalu saya luruskan. Tapi tak ada yang saya kenal, juga tak ada yang mengenal saya. Mereka orang-orang baru film.
Hari Film sebenarnya mengacu pada hari ket-ika Usmar Ismail membuat film pertama, Darah dan Doa, pada 30 Maret 1950. Kepada pers, pendiri Per-usahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) ini kala itu menjelaskan bahwa ia ingin membuat film yang berbeda dari apa yang digarap orang pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang, yang tidak jelas kepribadiannya. Usmar ingin memproduksi film yang ceritanya mencerminkan kepribadian bangsa, national personality, dan terlahir sebagai karya seni yang ”bebas”. ”Bebas”, menurut Usmar, adalah tidak menjadi alat propaganda.
Inilah untuk pertama kali orang mengaitkan soal kebangsaan ke dalam kerja pembuatan film di nege-ri ini. Bisa dikatakan, baru sejak titik itulah sejarah film Indonesia dimulai. Adapun periode sebelumnya dicatat seba-gai sejarah pembuatan film di Indonesia.
Film Darah dan Doa sang-at menarik perhatian para kritikus. Tapi film dengan biaya produksi mencapai Rp 325.000 itu setelah satu setengah tahun ha-nya bisa menghasilkan Rp 329.715. Artinya, film itu hanya untung sebesar Rp 4.715. Pertanyaannya, apa produksi film Indonesia masih akan dilanjutkan? Usmar dan kawan-kawannya memutuskan: terus! Kumpul di sana seniman-seniman idealistis S. Sumanto, D. Djayakusuma, Basuki Resobowo, Gaus Siagian.
Pada waktu itu juga muncul dua kelompok pembuat film, yakni Persari, pimpinan Djamaludin Malik, yang ingin bikin film hiburan bagus. Kelompok lain adalah kelompok studio film milik Cina, yang tujuannya adalah mencari uang. Karena gagasan Usmar mengenai ideologi kebangsaan dalam film tidak mendapat gema, para produser Cina membuat film ala 1001 Malam, yang set dan kostumnya bisa diguna-kan oleh sekian banyak film. Shooting-nya pun tanpa skenario. Biaya produksi menjadi hanya sepertiga dari bujet film Usmar. Dan dalam distribusi, mereka lebih mudah dapat peluang dari para tauke pemilik bioskop.
Kongres Kebudayaan di Bandung pada 1952 hanya bisa memindahkan Badan Sensor Film dari tangan Kementerian Dalam Negeri ke Kementerian Pendidik-an dan Kebudayaan—karena, kata Asrul Sani, film ada-lah produk budaya. Tapi apa yang kemudian dilakukan oleh BSF tak lebih dari meneruskan waris-an pemerintah Belanda, yakni sekadar menjaga agar film tidak memberikan dampak negatif kepada penonton. Karena pegangannya adalah Film Ordonantie 1940.
Usaha Usmar memperbaiki film nasional mendapat sambutan yang sangat baik dari mahasiswa Universitas Indonesia. Liga Film Mahasiswa (LFM), klub film di kampus UI, ketika diketuai oleh Emil Salim, sangat erat dengan Usmar dkk. LFM bahkan memperjuangkan agar film Usmar bisa masuk bioskop kelas satu. Kebetulan salah satu putra pemilik bioskop Metropol adalah mahasiswa UI. Maka, masuklah film Krisis (1953) ke Metropol, yang ternyata bisa mendapat banyak penonton.
Kebetulan Krisis terhitung film ringan, komedi, dan pemainnya, Nurnaningsih, sedang bikin heboh. Tapi film-film Perfini lain, yang bertolak dari ideo-logi Usmar dan hasil diskusi dengan mahasiswa UI, susah dikunyah oleh penonton masa itu. Penonton tak bisa menangkap apa yang mau disampaikan oleh Lagi-lagi Krisis (1954) dan Tamu Agung (1955). Film yang pertama mengkritik soal perdukunan yang saat itu sedang mulai marak, dan film kedua menggambarkan kesia-siaan rakyat kecil di pegunungan yang mengharapkan bantuan partai mereka. Tamu Agung terpilih sebagai komedi terbaik pada Festival Film Asia, Hong Kong, pada 1956, tapi pemasarannya ambruk sehingga studio Perfini di kawasan Mampang, Jakarta, disita oleh bank.
Dalam keadaan berat itu Usmar membuat film hiburan Tiga Dara (1957), film hiburan tapi tetap ber-akar pada cerita keluarga Indonesia masa itu. Film ini laku keras, tapi mendapat hantaman keras dari kalangan ”kiri”, kalangan pro-perjuangan Partai Komunis Indonesia. Tuduhannya adalah film itu jip-lakan film Amerika.
Dicegat Politik
Sejak 1957, mulai terasa usaha yang amat kuat dari kalangan ”kiri” untuk menguasai bidang film setelah Lekra gagal mempengaruhi para seniman dari cabang lain. Ganjalannya adalah Usmar Ismail yang dituduh sebagai anggota PSI dan Djamaludin Malik, tokoh NU. Maka, merekalah yang menjadi bulan-bulanan ”ganyangan” kaum yang menamakan diri kalangan seniman progresif revolusioner.
Film Usmar, Pejuang (1960), yang memenangi gelar aktor terbaik di Festival Internasional Moskow 1961, tak mendapat tepuk tangan dari mereka. Film Asrul Sani, Pagar Kawat Berduri, diganyang supaya dita-rik oleh BSF. Film itu hanya bisa diselamatkan oleh Presiden Soekarno, tapi bioskop takut memutar karena semua pegawai bioskop adalah anggota Sarbufis (Sarikat Buruh Film dan Sandiwara).
Kedudukan PKI makin kuat pada tahun berikutnya. Ketika Konferensi Kerja antara Dewan Film Indonesia, Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPF), Persatuan Importir-Distributor Film Nasional (PIDFIN), Organisasi Pengusaha Bioskop, dan Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) pada 1962 menyepakati tanggal 30 Maret sebagai Hari Film, keputusan itu langsung mereka serang.
Muncul ide lain dari Produksi Film Negara (PFN) agar Hari Film ditetapkan pada 29 September karena pada 29 September 1945 awak film PFN berani me-rekam rapat akbar yang menampilkan Soeka-rno, sebulan setelah Proklamasi. Ide itu tak mendapat sam-butan karena lebih cocok untuk Hari Film Berita.
Lalu, muncul lagi gagasan tanggal 30 November ka-rena pada 30 November 1945 Jepang menyerahkan Nippon Eiga Sha kepada RI yang baru berdiri. Usul ini juga gugur karena kita justru menghindari tuduhan bahwa kemerdekaan kita ini hadiah dari J-epang.
Seniman film ”kiri” juga tidak setuju dengan ide Usmar bahwa film dibuat sebagai karya seni yang bebas. Menurut mereka, film harus berpihak kepada politik. Bagi kalangan komunis, ”politik adalah pang-lima”. Kata ”bebas” dalam gagasan Usmar bukan bebas sebagaimana dimaksud oleh semboyan ”seni untuk seni”, melainkan seni yang tidak menjadi alat propaganda yang dibebankan begitu saja ke pundak kita.
Usmar sendiri membuat film-film yang ber-pihak kepada orang kecil, seperti yang menonjol betul dalam Tamu Agung. Film orang kiri yang dibuat berdasarkan ideologi sosialisme realis tidak ada yang bagus, seperti Baja Membara, yang menampilkan segerombolan orang desa yang disuruh berteriak-teriak menuntut pembagian tanah. Film Bachtiar Siagian, tokoh Lekra, Piso Surit dan Violeta yang bagus, bukan lahir dari ideologi itu.
Berikutnya muncul tanggal 30 April 1964, bertepat-an dengan didirikannya Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (Papfias). Tanggal ini pernah diusulkan sebagai Hari Film, tapi tertelan oleh gemuruhnya perjuangan mengganyang Am-erika.
Tertolong Porno
Ketika Orde Baru berdiri, dunia film dalam kondisi sekarat. Separuh bioskop mati akibat aksi Papfias karena kekurangan film. Produksi film Indonesia tentu saja ikut mati. Amerika tidak mau memasok film, pihak Indonesia tidak mau membayar film-film Amerika yang dihancurkan oleh Papfias. Jalan ke-luar-nya adalah memasukkan film murah dari pasar loak Hong Kong, yakni film kekerasan dan porno.
Sensor harus tutup mata. Film Indonesia minta diberi juga ”kebebasan berkarya”. Hasilnya luar biasa, bioskop yang sudah mati bangkit kembali. Grafik produksi film melonjak, sejak Bernafas dalam Lumpur. Siapa yang mau diajak omong soal idealisme? Semua sedang berpesta-ria memanfaatkan kebebas-an berporno-porno. Lagi pula para penggarap film saat itu adalah orang-orang baru.
Mutu film kembali meningkat ketika pendidikan film oleh orang-orang lama membuahkan hasil pada pertengahan 1970-an. Film Indonesia terus membaik pada 1980-an. Film kita diundang ke berbagai festival internasional. Pada 1990-an pun orang film mulai bicara lagi mengenai Hari Film Nasional yang di-tetapkan Dewan Film Nasional pada 30 Maret.
Siuman Lagi
Ketika film untuk bioskop menggeliat lagi sejak awal 2000-an, orang kembali sadar bahwa me-reka membutuhkan landasan idiil dan suatu cita-cita i-diil yang harus diperjuangkan. Masak sih bikin film cuma buat menakuti-nakuti orang dengan jelangkung atau mempertanyakan apa itu cinta? Tapi pembuat film sekarang sebagian besar orang baru. Satu atau dua orang lama yang masih ingat sejarah Hari Film rupanya kehilangan jejak.
Hari Film diperingati dengan acara pokok makan malam. Tidak jelas apa yang mau diperingati. Acara di TIM pada 11 Maret itu berdiskusi soal standardi-sasi. Masalah ini sebenarnya sudah dimatangkan dan dibuat panduannya oleh organisasi Karyawan Film dan Televisi (KFT) 20 tahun lampau ketika saya menjadi Ketua Umum KFT. Kok, Ketua Umum KFT se-karang mengajukan paper mengenai perlunya standardisasi bagi karyawan film?
Yang diselenggarakan oleh Fakultas Film dan TV (FFTV) IKJ agak lumayan. Tanggalnya 27 Maret, cuma terpaut tiga hari, cincay. Acara pokoknya peluncuran buku. Saya diundang. Maklum, saya kan pernah mengajar di situ sejak berdiri sampai 1995. Tapi saya sudah memutuskan tak akan hadir karena sekarang saya tinggal jauh di luar Jakarta, apalagi badan sudah setua begini.
Pada 27 Maret siang, sekretaris FFTV menelepon. Saya jelaskan mengenai kesulitan transpor dari TIM pada malam hari. Si sekretaris mendesak betul, ka-ta-nya semua sangat mengharapkan saya bisa datang, untuk menjadi pembaca doa.
Bukit Sentul, 30 Maret 2006.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo