Dunia yang sesungguhnya bagi Oscar Imannuel Motuloh bukan di atas panggung. Dia merasa lebih nyaman berada di belakang layar atau lensa dan tidak banyak membuang kata. Karena itu, dia merasa risi jika ada wartawan yang berminat mewawancarainya. Kamera itu telah bergelantungan di antara 10 jarinya, menghasilkan empat buah karya fotografi berjudul Photojournalism (1991), East Timor: A Photographic Record (1992), dan Pengawal Samudra (1996). Karya-karyanya, terutama tentang Timor-Timur, menampilkan perkawinan antara foto jurnalistik dan estetika gambar yang seimbang. Sehari-hari, dia bekerja di LKBN Antara, tempatnya belajar fotografi secara otodidak sejak 1989 dan mendidik para fotografer muda di Galeri Foto Jurnalistik Antara. Kemal Jufri, fotografer yang kini sudah merambah ke media internasional, adalah salah satu muridnya.
Lajang kelahiran Surabaya pada 17 Agustus 1959 ini menyebut dirinya ”pemain baru” di wilayah foto jurnalistik. Awalnya ia berstatus reporter yang kemudian ditugasi menjadi pengganti seorang seniornya di biro foto pada 12 tahun lalu. Sejak itu, Oscar memutuskan untuk menyelam dalam fotografi dengan serius. ”Apa yang tak bisa saya sampaikan dengan kata-kata akan saya tuangkan melalui gambar,” kata Oscar. Awalnya, Oscar belajar secara otodidak lewat buku dan film dan tentu saja dari fotografer senior di kantornya, Sheng-li. Selanjutnya, ia memperdalam pengetahuannya di Hanoi (1991) dan Tokyo (1993). Sebagai fotografer, jejak karya Oscar bisa dijumpai dalam tiga pameran tunggalnya, Suara dari Angkor (1997) di Jakarta, Karnaval (1999), dan pameran berdua dengan Eky Tandyo, The End (2001, Yogyakarta), serta empat buku yang sudah dihasilkannya.
Dengan rambut gondrong tergerai yang hampir selalu berkeringat dan menutupi wajahnya yang tampan, Oscar tergolong fotografer yang bersahaja dan rendah hati. ”Apa yang sudah saya potret tak perlu dibicarakan, karena sudah lewat,” tuturnya. Dia mengaku lebih tertarik membicarakan proyek-proyek yang akan dilakukannya di masa yang akan datang.
Rencana Oscar di tahun-tahun mendatang adalah membuat dokumentasi masjid-masjid tua di Jakarta, peninggalan Wali Sanga, dan buku tentang perjalanan reformasi di Indonesia. ”Ini memang perlu untuk generasi yang lebih muda lagi agar mereka memiliki dokumen sejarah yang bisa dinikmati secara visual,” ujar dosen Jurusan Fotografi Institut Kesenian Jakarta ini.
Yusi A. Pareanom dan Levi Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini