Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Menggiring Penonton ke Dunia Seluloid

30 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Shanty Harmayn adalah "separuh" dari dynamic duo Shanty Harmayn Natacha Devillers. Mereka adalah dua perempuan pelopor Jiffest (Jakarta International Film Festival), yang mulai diselenggarakan di Jakarta tahun 1999 lalu. "Batman-Robin" inilah yang menggelar festival yang kemudian jadi ajang apresiasi film yang terkemuka di Indonesia saat ini. Tak sekadar putar film, Jiffest juga menggelar serangkaian seminar, dari soal sensor sampai soal hak asasi manusia dalam layar perak. Bayangkan, tahun ini jumlah penonton mencapai 44 ribu—artinya naik sekitar 35 persen dari festival tahun sebelumnya. Yang lebih menarik, tahun ini Jiffest berhasil mengundang sutradara Iran terkemuka, Jafar Panehi. Melihat membeludaknya penonton festival menunjukkan duo Shanty-Natacha telah berhasil memancing dan membangkitkan apresiasi film penonton Indonesia. Tentu saja Shanty patut merasa puas atas hasil festival film di tahun ketiganya ini. "Tahun ketiga menjadi tanda apakah ini bisa bertahan hingga tahun-tahun berikutnya. Ini indikator penting bagi kami," tutur Shanty. Lahir di Jakarta, 29 Juli 1967, sebagai anak tunggal dari pasangan Jenny dan Rusdy Harmayn, Shanty memang tidak berangkat dari kumpulan anak-anak perfilman di lingkaran Institut Kesenian Jakarta. Usai lulus dari Jurusan Komunikasi Massa Universitas Indonesia pada tahun 1990, Shanty meneruskan studi master di Universitas Stanford, Amerika Serikat (1992-1994), untuk bidang film dokumenter. Karyanya saat menempuh studi dokumenter film adalah Bedhaya: The Sacred Dance (1994), yang diikutsertakan dalam Margaret Mead Film Festival dua tahun sesudahnya. Ia juga pernah berduet dengan Nan T. Achnas menyutradarai Invisible Garments: Expensive Soles (1996), yang berkisah tentang pekerja pabrik sepatu Nike. Tahun ini, Shanty—dengan Salto Production pimpinannya—bekerja sama dengan Christine Hakim Film serta Harris Lasmana dari Camilla Internusa memproduksi film Pasir Berbisik karya Nan T. Achnas, yang berhasil meraih beberapa penghargaan dalam Festival Film Asia Pasifik. Namun, tantangan Shanty terbesar untuk tahun-tahun mendatang adalah mempertahankan Jiffest agar tetap menjadi festival yang selalu hidup dan ditunggu setiap tahun. Apalagi kemungkinan besar partner Shanty, Natacha Devillers, akan meninggalkan Indonesia untuk mengikuti suaminya. Toh, kerja sama mereka berdua akan tetap dipertahankan, walau Natacha berada di belahan dunia lain. Tahun 2002? Shanty menjanjikan segudang kegiatan Jiffest. "Secara organisatoris, Jiffest ini mempunyai tujuan yang bersifat sangat edukatif yang akan kita mulai tahun depan," kata staf pengajar Institut Kesenian Jakarta ini. Apa itu? Film dokumenter. Di meja Shanty tergeletak sebuah buku tentang dokumenter. "Banyak orang berpendapat dokumenter itu sangat kering dan berbau propaganda. Itu semua mitos." Obsesi lain? Shanty mengaku ingin memproduksi sebuah film. "Kali ini tentang seksualitas," katanya terus terang. Oups, itu sudah pasti menarik. Yusi A. Pareanom dan Gita W. Laksmini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus