Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Ekonomi padi dan tebu

Pengarang: sajogyo penerbit: yayasan obor indonesia, ipb, 1982 resensi oleh: winarno zain. (bk)

5 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUNGA RAMPAI PEREKONOMIA DESA Penyunting: Sajogyo Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, IPB, 1982, 299 halaman. Perekonomian desa di Indonesia masih punya tempat tersendiri rupanya. Yayasan Obor Indonesia dan IPB menerbitkan 15 karangan yang disunting oleh Sajogyo. Mula-mula pembaca diperkenalkan dengan polemik tentang dualisme ekonomi di Indonesia yang dimulai oleh tesis Dr. Boeke tiga puluh tahun lalu. Empat karangan disajikan tentang hal ini. Dua karangan membahas hasil "revolusi" hijau di Indonesia, dua karangan lagi membahas masalah kredit di desa. Juga ada artikel tentang gula dan tebu, tentang swasembada beras, dan BUUD. Tulisan Boeke yang terkenal tentang dualisme ekonomi diambil dari karangannya, Economic Policy of Dal Societies as Exemplified By Indonesia, yang diterbitkan pada 1953. Tesis Boeke adalah, di negara terbelakang terdapat dua sistem ekonomi yang satu tradisional dan subsisten, yang lain kapitalistis dan modern. Dua sistem ini beroperasi dengan cara sendiri-sendiri, bergerak secara terpisah dan saling tak mempengaruhi. Implikasi terpenting untuk kebijaksanaan dari analisa Boeke adalah seperti yang dikatakan Vernon Ruttan: "tidak ada gunanya memperkenalkan teknologi dan lembaga-lembaga Barat ke Indonesia, dan tidak mungkin merumuskan kebijaksanaan ekonomi yang berlaku untuk seluruh negara." Sadli rnengakui kebenaran beberapa teori Boeke, sekalipun curiga tentang adanya motif politik di belakangnya. Benjamin Higgins sebenarnya dengan meyakinkan menentang teori Boeke. Dia meraRukan ketepatan analisis empirik Boeke, dan menunjukkan beberapa kasus bisa digunakannya analisis ekonomi neoklasik Barat untu menganalisa ekonomi negara kurang maju. Sayang sekali penyunting tidak memasukkan tulisan Higgins ini. Mubyarto masih menunjukkan, karangan-karangannya yang terbaik masih tetap tentang gula dan tebu rakyat. Salah satu makalahnya yang dimuat penyunting menyimpulkan, sekalipun tebu memberi penghasilan lebih banyak dibanding beras, biaya dan risiko yang ditanggung petani juga lebih besar. Karenanya Mubyarto menekankan perlunya kebijaksanaan yang memberi kepastian harga gula. Dua artikel membahas respons petani terhadap program modernisasi di bidang pertanian. Soewardi melihat berhasilnya modernisasi pertanian di Jawa Barat karena para petani sudah cukup punya persiapan dalam tahun-tahun sebelumnya, dengan ikut sertanya mereka dalam berbagai program intensifikasi. Sedang Deuster melihat, bagaimana revolusi hijau berhasil di Sumater Barat dan gagal di Sulawesi Selatan karena faktor kultural: di Sumatera Barat petaninya lebih terdidik, lebih banyak melakukan perjalanan, dan sikapnya lebih terbuka. Sebaliknya petani di Sulawesi Selatan pendidikannya lebih rendah, tak banyak keluar kampung, dan sikapnya lebih tertutup. Dengan latar belakang ini, petani Sumatera Barat lebih efisien menggunakan faktor produksi. Dua artikel membahas struktur perkreditan di bidang pertanian. Sudjanadi Ronodiwiryo, setelah melakukan penelitian di Karawang, berkesimpulan bahwa kredi massal a la Inmas dan Bimas punya banyak kelemahan. Karenanya harus di gunakan untuk keadaan darurat saja seperti kebutuhan menaikkan produksi beras. Ace Partadireja, berdasarkan penelitian tentang ijon di 16 desa di Jawa, membuat uraian menarik tentang macam ijon, sifatnya, dan keuntungan serta risikonya bagi si pelepas uang serta biaya bagi si petani peminjam. Ace memperingatkan agar penghapusan ijon dilakukan hati-hati karena tindakan drastis bisa menimbulkan disrupsi oleh adanya hubungan sosiologis antara petam dan pengiion. Ace mengusulkan pendekatan tak langsung - kebijaksanaan yang meningkatkan penghasilan tani - dan menjaga stabilitas harga pertanian. Bila ini berhasil, kebutuhan akan ijon dengan sendirinya akan berkurang. Soedarsono Hadisapoetro (sekarang Menteri Pertanian) bersama Suprapto Gunawan dan Djuwari, dalam karangan yang diterbitkan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, mencoba memberi penilaian awal tentang BUUD - yang pertama kali diperkenalkan pada musim tanam 1969/1970. Atas dasar penelitian mereka terhadap beberapa BUUD di sekitar Yogyakarta, mereka mencatat beberapa kelemahan BUUD: kedudukan hukumnya yang kurang jelas, karena sebenarnya cuma federasi Koperta, sedang transaksi yang dilakukan meliputi jumlah besar. Kurang adanya hubungan langsung dengan petani, karena petani hanya anggota Koperta. Namun mereka mencatat beberapa sumbangan positifnya: menambah penghasilan petani dan memperluas kesempatan kerja. Mereka mengusulkan bimbingan pemerintah, tapi bukan intervensi. D.H. Penny dan Masri Singarimbun mencoba mengemukakan model hubungan antara kenaikan pendapatan dan konsumsi beras untuk Indonesia berdasarkan data-data BPS 1967 dan 1969. Kesimpulan yang diambil: pada satu tingkat pendapatan tertentu, kenaikan konsumsi beras tak besar lagi. Menurut mereka, rumus swasembada yang lebih memuaskan adalah bila elastisitas pendapatan terhadap permintaan beras maksimum 0,01. Penulis memperingatkan, usaha swasembada akan tertumbuk faktor kultural: petani ini Jawa condong memproduksikan beras sebanyak yang perlu untuk konsumsinya sendiri. Mereka tak berminat memproduksikan lebih untuk konsumsi pasar. Bagi petani Jawa yang sifatnya terlutup, pasar adalah dunia luar yang asing, yang sejak zaman penjajahan membebani mereka dengan tanaman paksa, pajak, inflasi, dan jatuh-bangunnya harga ber1s. "Pasar" telah meninggalkan trauma yang, membekas. Mereka condong menghindarinya. Buku ini diterbitkan pada 1982. Tapi sayang karangan yang dikumpulkan agak ketinggalan, karena data yang digunakan penulis kebanyakan data sekitar awal 19-an Banyak perubahan telah terjadi di sektor pertanian dan di desa sendiri, yang memerlukan pengamatan lagi. Winarno Zain

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus