Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Profil kusam film indonesia

Pengarang: salim said jakarta: grafiti pers resensi oleh: julia i. suryakusuma. (bk)

5 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROFIL DUNIA FILM INDONESIA Oleh: Salim Said Penerbit: PT. Grafiti Pers MASALAH mutu, karakter dan kecenderungan film Indonesia adalah hal yang tak pernah selesai dibahas. Bagi orang perfilman, segala masalah juga lingkaran setan - yang harus dihadapi dalam pembuatan sebuah film, cukup difahami. Tetapi orang awam terpelajar, misalnya, yang hanya mau tahu hasil akhir, tak terlalu bermurah hati. Keputusan mereka: film Indonesia brengsek, dengan hanya sedikit perkecualian. Buku ini tidak ditulis sekedar untuk menjawab segala cemooh. Buku yang asal mulanya skripsi sarjana ini berusaha menjawab sejumlah pertanyaan dasar dari berbagai kalangan. Mengapa film Indonesia tidak menampilkan manusia dan persoalan Indonesia? Mengapa film Indonesia cuma tiruan film impor kelas dua atau tiga Mengapa kemewahan, seks dan kekerasan terlalu ditonjolkan? Mengikuti jejak perfilman Indonesia dari tahun 20-an, penulis mengungkapkan mengapa dan bagi nama perfilman Indonesia sampai pada bentuknya yang sekarang. Orientasi dalam gelas mendominasi sejarah perfilman Indonesia, karena memang orang-orang Tionghoa yang memelopori bidang bergerak semata-mata atas pertimbangan komersial. Setelah Indonesia merdeka, Usmar Ismail bersama kawan-kawan dalam Perfilman berusaha memulai suatu tradisi yang berorientasi pada movement neo-Realisme Itali. Yaitu film sebagai ekspresi, untuk menampilkan wajah Indonesia. Usaha ini gagal karena harus berkompromi dengan kenyataan kekurangan modal, sikap masyarakat yang belum siap menerima gambaran dirinya lewat layar putih, dan sensur yang ketat. Pola Tionghoa yang berakar pada genre Hollywood kembali unggul. Bahkan percobaan di akhir tahun 60-an untuk menembus cara kerja Tionghoa ini melalui Dewan Produksi Film Nasional (DPFN) hanya berakhir dengan pembubaran lembaga tersebut oleh pemerintah - dengan alasan pemborosan. Sampai saat ini peta bumi permasalahannya pada dasarnya masih sama. Unsur-unsur komersial, tujuan-tujuan artistik, kondisi masyarakat, peran pemermtah, saling bertarung dengan kekuatan yang sama sekali tak berimbang,dan tak menentu. Memang sejarah perfilman Indonesia adalah kisah yang sarat kompromi. Peniruan pada pola Hollywood yang berlandaskan pada standarisasi - formula pictures--resep-resep yang teruji popularitasnya, maupun star system, berasal dari sebuah industri raksasa yang tak hendak mengambil risiko dalam bentuk apa pun. Ia jelas jauh dari ideologi pendobrakan, sebaliknya malih memperkuat pola dan norma yang sudah ada. Implikasi dan efek orientasi dagang ini menyelusup ke mana-mana. Penjiplakan terhadap film asing murahan - Amerika, Mandarin ataupun India - menjadi kelaziman. Tema-tema musiman pun cukup dikenal publik: tema remaja, horor, cinta, kekerasan, komedi slap-stick dan lain-lain muncul dan berlalu bagai jamur. Apa saja, asal memenuhi selera publik, laku dan untung. Akhirnya film Indonesia jatuh menjadi sekadar hiburan, "dalam arti yang tidak selalu sehat" (hlm.3), tak berkarakter - setidaknya bukan karakter Indonesia - dan diperciki semangat "coba-coba", tapi selalu dalam batas-batas pola yang dikenal. Produsen film memang penjaja mimpi, tapi mimpinya juga "belum sebuah impian Indonesia" (hlm.6). Ia "tidak memijakkan kakinya di bumi Indonesia, sebab mimpi yang indah toh senatiasa berkisah mengenai dunia yang tidak selalu kita kenal" (hlm.3). Produser tampaknya memegang segala dan semuanya dalam film, mulai dari modal dan cara penggunaannya, castng, sampai pada cerita yang mereka karang sendiri - ramuan berbagai unsur pelaris. Tokoh-tokoh pun dibuat sebagai "salinan dari bintang luar . . . (yang) . . . menyebabkan film kita kehilangan watak" (hlm.5). Di antara produsen sendiri, yang relatif sedikit jumlahnya, terjadi semacam persekongkolan (Mafia?) yang sukar ditembus pihak-pihak lain. Prinsip "uanglah yang bicara" nyata benar dipraktekkan, apalagi karena sempitnya pasar di Indonesa (kurang lebih 2.000 bioskop). Sedang pembuat film, termasuk sutradaranya, merasa posisi dan peran produser itu wajar saja karena mereka memulai karier dari bawah (88,75%), "karena butuh kerja" (hlm.120), tidak seperti halnya dalam sastra, musik atau seni rupa yang setidaknya membutuhkan bakat dan idealisme. Proses sosialisasi itu, penyerapan nilai-nilai dan kebiasaan yang telah melembaga, membuat mereka mampu mengidentifikasikan diri hampir secara totar dengan keinginan, perhitungan maupun kesulitan para produser. "Ah, film ini betul-betul cuma tempat cari makan saja, bukan untuk memDerjuangkan cita-cita" hlm.109) - kata-kata para pembuat film. Mereka bukan selalu tidak sadar akan linkaran setan yang tidak terlalu mudah diputuskan. Kondisi perfilman Indonesia memang tidak bisa terlepas dari kondisi sosial, politik dan ekonomi umumnya. Apakah karena itu tidak pernah terdapat masa gemilan dalam perfilman Indonesia? Yang jelas, tampaknya polarisasi antara idealisme dan komersialisme yang disebut Salim Said dalam bukunya, sudah begitu saling mendekat, sehingga ibarat lelucon untu bicara tentang idealisme. Buku ini ditulis hampir semata-mata secara deskriptif, tanpa teori atau analisa yang terlalu mendaJam, meski tak bisa dihindari di sana sini penulis mengambil perbandingan dengan negara-negara lain --terutama Amerika, yang memang sumber terbesar berbagai pola media, tidak hanya film. Mungkin percuma jua berteori bila kondisi perfilman Indonesia yang masih sering disebut industri rumah itu begitu sederhana dan gamblang. Sayang penulis tidak memberikan perbandingan dengan negara-negara dari Dunia Ketiga, seperti Filipina atau India misalnya. Buku ini tidak dapat dikatakan memberikan sesuatu yang terlalu baru. Juga tidak terlalu lengkap. Tidak berbicara mengenai peran bookers misalnya. Atau mengenai pemasaran, pembinaan selera, tingginya pajak tontonan, atau Polcy pemerintah yang senantiasa berubah-ubah. Namun ia cukup berhasil menyusun gambaran profil (belum wajah) menjemukan dan kusam perfilman Indonesia - secara lugas, sederhana, singkat (seperti brosur), tidak teknis, tidak teoritis, agak tawar mungkin, tapi dengan penjelasan tentang mengapanya. Bar dapat disebut suatu pengantar. Tetapi karena langkanya bukubuku demikian, kehadirannya welcome juga. Julia I. Surgakusuma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus