Aura magis terasa kuat di panggung Teater Besar
Taman Ismail Marzuki, Rabu lalu. Aroma asap dupa dan gelapnya lorong menuju panggung pementasan membuat para penonton pertunjukan tari berjudul
Museum II: Ridden itu agak gemetaran.
Museum II: Ridden merupakan salah satu bagian dari seri Kampana dalam pergelaran Indonesian Dance Festival 2022. Tarian itu dimainkan oleh tiga penari, yakni Leu Wijee dan Syanine Prameswari dari Indonesia serta Mio Ishida dari Jepang.
Suasana makin mencekam ketika suara berdenting muncul dari pukulan singing bowl. Mio memukul singing bowl berkali-kali sembari berjalan cepat mengelilingi tepi panggung pertunjukan berukuran sekitar 7 x 7 meter tersebut.
Di tengah panggung ada Leu dan Syanine yang berjalan mondar-mandir menyeret sapu lidi yang diikat dengan rantai besi. Meski terkesan berjalan asal-asalan, keduanya membentuk ritme yang sama.
Lampu sorot panggung yang meredup hingga gelap total makin menambah seram suasana. Meski gelap, derap langkah trio penari berbaju terusan hitam itu masih terdengar jelas plus dentingan singing bowl.
Gerakan mondar-mandir trio penari tersebut berlangsung sekitar 10 menit. Selanjutnya, Leu Wijee beraksi sendiri. Sorot lampu tertuju pada penari sekaligus koreografer berusia 24 tahun itu. Leu menampilkan gerakan singkat patah-patah yang sekilas mirip gerakan breakdance, tapi lebih sederhana.
Penampilan Syanine Prameswari. Kitapoleng Bali/ DF 2022
Tanpa diiringi musik, gerakan tubuh Leu meluncur dinamis. Tatapan mata nan kosong dari penari asal Palu itu menambah suasana mencekam pertunjukan. Selanjutnya, giliran Mio dan Syanine yang tampil.
Kedua penari perempuan itu berfokus mengeksplorasi sapu lidi. Mulanya mereka membuang ikat dan rantai yang mengekang batang-batang lidi yang berkelir hijau itu ke lantai. Suara lidi yang jatuh satu per satu terdengar ke seluruh ruangan pertunjukan.
Tak sampai habis, sejumlah batang lidi yang tersisa mereka genggam erat dengan kedua tangan menyilang di depan dada. Selanjutnya, Mio dan Syanine mengentak-entakkan lidi sembari menggerakkan kaki maju-mundur.
Entakan kaki mereka pun berirama. Kadang pelan, kadang kencang seperti kuda lumping. Namun tak asal bergerak, entakan kaki dan tangan keduanya begitu terukur serta kompak.
Sembari bergerak, Mio dan Syanine sesekali berteriak seperti atlet karate saat beraksi memperagakan pukulan dan tendangan. Lagi-lagi permainan lampu yang meredup menambah kesan magis dalam penampilan Mio dan Syanine.
Koreografer
Museum II: Ridden, Leu Wijee, mengatakan karya tarinya merupakan bentuk eksplorasi dari gerak tubuh manusia, terutama menanggapi bencana alam. Ia sempat melakukan riset terhadap masyarakat
Palu saat bencana gempa bumi dan tsunami pada 2018.
Leu mengibaratkan batang-batang lidi sebagai gambaran tubuh manusia pasca-terjadi bencana alam. Menurut dia, secara alami, tubuh manusia lengkap dengan pergerakannya merupakan adaptasi dari apa yang dialami nenek moyang. Sebab, Indonesia punya tingkat bencana alam tinggi, maka secara otomatis tubuh orang Indonesia punya gerakan dasar kesiapsiagaan.
Eksplorasi Leu berkembang hingga ke Jepang. Sebab, Negeri Matahari Terbit itu mirip dengan Indonesia yang punya potensi bencana alam tinggi. Menariknya, Leu menemukan gerakan kesiapsiagaan yang lebih kuat dari gerak tubuh orang Jepang.
Leu Wijee. Kazuyuki Matsumoto
"Saya lebih ingin membagi gerakan melalui karya ini. Ini sebuah refleksi mungkin gerakan itu hampir punya arti dan tidak punya arti," kata Leu. Selain itu, Leu memasukkan unsur ikebana atau seni merangkai bunga, rumput, dan tanaman menjadi kesenian nan indah. Penyusunan lidi juga terinspirasi dari ikebana.
Leu mempersiapkan karya ini selama tiga bulan di Bali. Di Pulau Dewata itu, Leu dan Mio menggabungkan inti gerakan masyarakat Indonesia serta Jepang. Di Bali pula, Leu dan Mio bertemu dengan Syanine yang akhirnya diajak terlibat dalam karya tersebut. "Saya merasakan betul perbedaan kehidupan masyarakat Indonesia dan Jepang. Tapi tetap ada garis yang sama," tutur Mio.
Indonesian Dance Festival 2022 berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 22-28 Oktober 2022. Pesta tari itu pertama kali digelar pada 1992. Dalam gelaran ke-30 ini, Indonesian Dance Festival menghadirkan para seniman tari dari berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara. Acara diisi dengan pertunjukan,
workshop, dan diskusi. Ada pula pameran arsip tari yang merekam beragam karya tari dari dalam dan luar negeri yang pernah tampil dalam festival.
Selain trio Leu, Mio, dan Syanine, pentas di Teater Besar TIM, Rabu lalu, menghadirkan penari Thailand, Kornkarn Rungsawang. Perempuan berusia 34 tahun itu menampilkan Dance Offering, semacam tarian bertema persembahan kepada Tuhan. Kornkarn memakai pakaian khas Negeri Gajah Putih dengan ciri topi berbentuk kerucut tinggi.
Penari asal Thailand, Kornkarn Rungsawang saat melakukan tarian tradisi dengan menggabungkan denga teknologo VA di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 26 Oktober 2022. TEMPO/Magang/Martin Yogi Pardamean
Tak asal menari, Kornkarn berinteraksi dengan dua penonton. Mulanya, ia menari sambil bernyanyi dengan bahasa Thailand. Setelah itu, dia menarikan dua tarian singkat bertema ayam dan zebra. "Ayam itu lambang persahabatan, sedangkan zebra atau kuda itu lambang kekuatan," kata Kornkarn.
Kornkarn juga memadukan tarian dengan teknologi
augmented reality. Ia memakai
headset virtual reality (VR) saat menari. Gerakan tari Kornkarn ditampilkan dalam bentuk animasi yang disorot layar proyektor. Bagi Kornkarn, terobosan ini ia dapat ketika mengalami keterbatasan saat pandemi Covid-19.
Karena tak bisa tampil secara luring, Kornkarn tertarik memanfaatkan teknologi virtual reality agar tariannya bisa dinikmati penonton secara daring. Selain itu, pengguna virtual reality bisa menambah kesan khusyuk dalam tarian doa yang disampaikan Kornkarn. "Virtual reality ini seakan-akan membuat kita menari dan berdoa di kuil digital."
INDRA WIJAYA