Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Farabi, Menjinakkan Gamelan

18 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEN Syakira Wangsaatmadja masih berusia enam tahun. Baru tiga bulan pula siswi SD Al-Izhar, Pondok Labu, itu ikut sekolah gamelan Sunda di Farabi, sekolah milik musisi Dwiki Dharmawan. Tapi Ken, yang juga belajar piano klasik, sudah mampu memainkan tiga jenis instrumen gamelan: saron 1, saron 2, dan bonang.

Bani Ratmilia, ibu empat anak, juga murid di Farabi. Meski berusaha keras, pukulannya pada bilah-bilah saron masih sering meleset. Sesekali terdengar tawanya yang renyah. Pelipis mantan pramugari dan presenter TVRI itu kadang berpeluh. "Ternyata tidak gampang main gamelan," katanya.

Ken dan Bani orang Jakarta: tak akrab dengan gamelan. Mereka hidup di dunia yang didominasi nada diatonik musik pop, rock, dan hip hop. Untuk menghampiri dan memainkan nada-nada pentatonik gamelan, butuh upaya cukup keras.

Untuk itulah mereka belajar di Farabi, sekolah musik yang membuka jurusan khusus gamelan sejak tiga bulan lalu, yang terletak di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan.

Selama ini memang belum ada sekolah atau lembaga kursus musik yang punya jurusan khusus gamelan. Alat musik tradisional Jawa, Sunda, atau Bali itu biasanya dipelajari di perguruan tinggi khusus, di sanggar, atau kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.

Farabi, sekolah musik yang sejak 1997 sudah mengajarkan instrumen musik Barat, memang punya misi menjaring murid yang asing sama sekali dengan gamelan. "Semuanya masih tingkat basic," kata Rony Rostiadi, pengajar di Farabi.

Di sini para siswa harus belajar serius, karena Farabi tidak sama dengan tempat latihan pengisi waktu luang. Para pengajarnya sarjana karawitan. "Lewat kelas gamelan ini saya ingin generasi muda bisa belajar dan mengenal gamelan," kata Dwiki.

Salah satu pendiri Krakatau, kelompok musik yang akrab dengan penggunaan nada-nada pentatonik sejak awal 1990-an ini memang punya harapan besar dari sekolah gamelannya. Tapi, bisa diduga, peminat kursus gamelan Farabi tidaklah sebanyak kursus lainnya seperti piano dan gitar.

Sejak dibuka pada April lalu, tak sampai 15 orang yang belajar di sana. Mereka dibagi dalam tiga kelompok: anak-anak, dewasa, dan kelas pemusik untuk yang sudah memiliki kelompok musik.

Meskipun terlihat sederhana, tidaklah mudah "menjinakkan" gamelan. Najib Ali, manajer dan anggota Debu, kelompok musik pelantun tembang-tembang sufistik, merasakan hal itu. Najib, yang terbilang pemusik kawakan, belajar gamelan di Farabi bersama dua anggota Debu lainnya.

Mereka ingin memperkaya bunyi tradisonal lain yang sudah mereka jelajahi, seperti santur dari Iran, tambur Turki, dan gedok-gedok Sulawesi Selatan, dengan nada-nada pentatonik gamelan.

Dalam gamelan, tidak ada satu alat yang bisa lebih dominan ketimbang lainnya. Semuanya harus berjalan dalam harmoni. "Jika hanya menabuh, orang bisa mahir dalam tiga bulan," kata I Wayan Sadra, komponis ternama Sekolah Tinggi Seni Indonesia Solo, kepada Imron Rosyid dari Tempo. "Tapi, untuk menafsirkan energi bunyi menjadi sebuah citra, tidaklah mudah."

Suseno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus