Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jika Rasa Mencari Laras

Makin banyak orang asing memainkan gamelan, makin beragam modifikasi. Menafsirkan energi bunyi.

18 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REYONG dipukul dengan ritme cepat, rancak, dinamis. Empat lelaki berkulit putih meniup trompet, membaurkan suara itu dengan pukulan kendang mengentak-entak. Di akhir tiap birama, terdengar gong menyalip.

Pada repertoar lain, berbagai instrumen bergabung: klarinet, saksofon, seruling, harpa, tabla, juga akordion. Tak ada kebaya, juga tak sanggul atawa surjan. Tubuh-tubuh jangkung itu sebagian berbaju kembar, batik biru. Sebagian lagi berbalut pakaian hitam.

Itulah penampilan One People Voice dalam Festival Gamelan Yogyakarta ke-10, di Taman Budaya Yogyakarta, dua pekan lalu. Kelompok musik asal Amerika Serikat ini memainkan gamelan Bali Bale Ganjur, dipadu jazz swing Spanyol, Bollywood India, lesno Serbia.

Pertunjukan itu semakin komplet dengan liukan dan kelincahan kaki para penari tap, kontemporer, dan hip-hop, serasi merespons musik. Satu jam penonton disuguhi pertunjukan atraktif dan ekspresif.

Memang bukan barang baru gamelan dimainkan orang asing. Yang menarik, mungkin, minat mereka terhadap gamelan terus bertambah. Dalam Festival Gamelan kemarin, makin banyak peserta dari luar negeri. One People Voice saja mengangkut 47 penabuh gamelan.

Festival kali ini diikuti 19 kelompok peserta. Enam dari luar negeri, yaitu dua dari Amerika Serikat, dan masing-masing satu dari Jepang, Australia, Prancis, dan Selandia Baru. Menurut ketua panitia festival, Sapto Raharjo, lebih dari 31 negara mengenal gamelan. Bahkan ada festival gamelan yang diselenggarakan pihak asing, seperti World Gamelan Festival di Kanada.

Musisi kontemporer Australia, Ron Reeves, menyatakan tak mengalami banyak kesulitan ketika pertama kali belajar gamelan, yaitu pada 1970-an. Hanya dalam tiga bulan, dia sudah bisa menabuh beberapa instrumen gamelan. Reeves, yang sebelumnya menguasai musik Barat, belajar gamelan secara otodidaktik.

Ketika digelar pertama kali pada 1974, Festival Gamelan Yogyakarta masih bagian dari Festival Kesenian Yogyakarta, dan disebut Konser Gamelan Kontemporer. Sapto terus berusaha menyelenggarakan festival gamelan setiap tahun—hanya absen pada 1998.

Pada 2001 didirikanlah PT Gamelan Hangeka Buwana, untuk mengelola penyelenggaraan festival secara lebih profesional. Sumbangan dana dari luar negeri—meskipun menurut Sapto tak banyak—bisa masuk mendukung keberlangsungan festival. Banyak pula musisi ikut menghidupkan festival, seperti Djadug Ferianto dan komponis gamelan I Wayan Sadra.

Upaya yang dilakukan Sapto dan kawan-kawan ditempuh juga oleh beberapa orang Indonesia. Sebutlah Dwiki Dharmawan, pentolan grup musik Krakatau, yang tiga bulan lalu membuka sekolah gamelan Farabi di Jakarta. Sasarannya mirip: menambah jumlah "orang asing"—maksudnya orang yang terbiasa dengan musik diatonik—belajar gamelan.

Artinya, gamelan memang bakal tahan uji dan tahan waktu? Jika mengutip pendapat Sujiwo Tejo, gamelan mampu menciptakan campuran rasa, sedih dan gembira, duka dan tawa. Ia berpendapat, gamelan yang pentatonik mampu melahirkan campuran rasa, sedangkan musik diatonik tidak. Sapto menerangkannya dengan ungkapan lain, "Saya ingin gamelan menjadi spirit, bukan sekadar alat."

Sadra sependapat dengan Sapto: gamelan bukan sekadar alat musik yang mengeluarkan bunyi, melainkan sebuah subkultur. Orang asing bisa dengan cepat memainkan gamelan. "Yang sulit, menafsirkan energi bunyi menjadi sebuah citra," kata Sadra.

Energi bunyi itu, oleh Djadug, diterjemahkan sebagai rasa. Djadug, yang sering mendapat kesempatan bergaul dengan orang asing yang belajar menabuh gamelan, mengatakan paling sulit adalah mengajarkan rasa itu.

Untuk menemukan dan mengolah rasa itulah, sejak 1977, Reeves harus bolak-balik ke Indonesia, mendalami budaya gamelan setempat, baik Bali, Jawa, maupun Sunda. "Bagi mereka, teknik bermain bukan masalah," kata Djadug, pemimpin grup musik Kua Etnika. "Tapi kepekaan rasa belum tentu dengan mudah dikuasai."

Tapi, menjaga genre murni gamelan di era serba diatonik kini tentu tak mudah. Orang Indonesia sendiri berusaha melakukan modifikasi: Sapto Raharjo dengan gamelan kontemporer, Manthous dengan meramu musik campursari, atau Djadug dengan Kua Etnika-nya.

Djadug punya ciri khas menggabungkan instrumen gamelan dengan instrumen musik diatonik, tanpa sedikit pun punya keinginan melaraskannya. Sebab, menurut dia, musik ibarat manusia, punya karakter masing-masing yang tidak mungkin dilaraskan. "Sekali-sekali senggol-senggolan," katanya.

Dalam campursari, nada pentatonik dan diatonik diseragamkan. Untuk instrumen campursari, pembuat gamelan harus menyetem secara khusus, dimiripkan nada-nada diatonik. Tak aneh jika menurut Sugeng Setyono, pembuat gamelan dari Sukoharjo, Jawa Tengah, membuat gamelan campursari lebih gampang ketimbang gamelan murni.

Campursari hanya menggunakan gender, saron, gong, kendang, dan siter, lalu digabungkan dengan keyboard. Lalu, bagaimana soal "rasa", yang disebut inti musik gamelan tadi?

Sadra berpendapat, pada prinsipnya jangan pernah menyamakan nada pentatonik dengan diatonik. "Kalau dipaksa, yang terjadi justru pemiskinan bunyi," kata Ketua Jurusan Karawitan STSI Solo ini.

Tapi, kedua jenis nada itu juga memiliki banyak kesesuaian. Untuk mencari, kedua alat musik—pentatonik dan diatonik—harus langsung dipertemukan dan dimainkan. "Ini tidak bisa dicari dengan teori, karena gamelan memiliki sistem embat, atau karakter bunyi yang tidak dimiliki alat musik Barat," katanya.

Dalam sebuah wawancara dengan Tempo, empu gamelan Jawa, Tjokrowasito, mengatakan musik gamelan dan musik modern tidak bisa disatukan karena tangga nadanya berbeda. Kalaupun dilakukan sinkronisasi, sebaiknya diambil sebagian instrumennya saja.

Dia juga tak setuju bila nada dasar gamelan disamakan dengan nada dasar musik diatonik. Apakah dua pendapat itu merupakan harga mati? Mungkin jawabannya terletak pada upaya mencari, antara lain lewat festival seperti di Yogyakarta kemarin.

L.N. Idayanie, Suseno, Heru C.N. (Yogyakarta), Imron Rosyid (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus