Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Digital choreography atau digital performance kini menjadi tren di dunia seni tari kontemporer. Berbagai kemungkinan baru yang disediakan dunia Internet menantang penciptaan tari. Pada 1980-an, koreografer ternama Amerika, Merce Cunningham, telah menyajikan karya dengan bantuan program komputer. Kini, dengan semakin canggihnya peralatan digital, koreografer bisa menyumbangkan permenungan tentang tubuh, jarak, dan waktu. Lewat bantuan Internet, menari bersama di dua tempat dimungkinkan. Dari sekian koreografer kita, agaknya baru Miroto yang tertarik menekuni ranah baru ini.
Dia menari di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, pada Sabtu, 16 April lalu, bersama Mugiyono Kasido dan Mila Rosinta. Ketiganya berinteraksi dengan I Wayan Adi Gunarta di Denpasar dan Susravita Loraviandi di Padang Panjang. Adi dan Lora hadir secara maya di layar. Koreografi ini pernah dicoba Miroto di studionya di Banjar Mili, Yogyakarta, Agustus tahun lalu. Ketika itu ia menari dengan Yutsen Liu, yang berada di Taipei, Kyla Barkin di New York, dan Ikko Suzuki di Tokyo.
Simulacra. Judul karya Miroto ini adalah istilah populer dalam dunia hiper-realitas. Pada 1981, filsuf Jean Baudrillard menulis esai Simulacra and Simulation. Intinya, dunia urban sekarang ini penuh realitas palsu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Sampai sejauh mana gagasan tersebut diolah dunia tari? Miroto menyebut pentasnya sebagai realitas bertambah (augmented reality). Ia membuat sebuah "kubangan" dan layar transparan dengan kemiringan 45 derajat. Tubuh Mila dan Miroto mula-mula berguling di "kolam" itu. Ada proyektor yang menyorotkan tubuh mereka ke layar. Hasilnya indah. Tubuh keduanya seolah-olah mengambang dengan gestur yang terlihat dari posisi aneh. Terlihat keduanya seperti melayang atau tenggelam dalam air.
Lalu muncul secara streaming Lora dengan gerak-gerak tangan seorang penari piring dan jurus silat. Juga Adi dengan gerak tradisional tari Bali lengkap dengan topengnya. Terjadi komunikasi antara Mila, Miroto, dan mereka. Miroto berusaha mengelindankan tubuh nyatanya dengan tubuh maya mereka. Sesekali Miroto keluar dari interaksi itu dan muncul bertopeng dengan gerak-gerik jemari saat seperti dia menarikan tari tunggal Penumbra yang menjadi trade mark terkenalnya.
"Saya hanya merespons teknologi yang kini sedang berkembang," ujar Miroto. Ia memanfaatkan sistem telepresensi video call. Bersama Multimedia Picture Style Cinema, ia juga mendatangkan layarnya dari Cina. Layar ini biasanya digunakan dalam pentas opera, teater, atau pertunjukan sulap di Cina. Gunanya untuk menampilkan aneka ilusi, yang biasa disebut pepper ghost.
"Karya saya ini lebih suatu telehologram. Jadi interaksi gerak yang hidup," kata Miroto. Seluruh adegan karya Miroto dilakukan lewat live streaming. Tidak ada yang direkam lebih dulu. Tapi mungkin patut diketahui, teknik merekam yang sering dipakai dalam dunia pertunjukan kerap juga menghasilkan efek yang tak terduga. Dalam pentas konser mengenang Chrisye beberapa tahun lalu, misalnya, Jay Subiyakto mampu menghadirkan kembali sosok Chrisye melalui tayangan video dan permainan canggih hologram. Chrisye yang sudah almarhum, bersama penyanyi yang masih hidup, menyanyikan lagu lama dan barunya. Menakjubkan.
Menurut Mugiyono, menari dengan tubuh maya live streaming cukup sulit. "Saya harus terus memantau gerak partner di sana supaya tidak menabrak gambar," tuturnya. Kecepatan Internet untuk mengirimkan gambar juga menjadi masalah utama. Tatkala Lora dan Adi menari, tampak gerak mereka di layar tersendat. Ini terjadi karena jaringan Internet, baik di Denpasar maupun Padang Panjang, kurang lancar. "Internet di Padang Panjang tak stabil. PLN sering mati," ujar Lora.
Pada salah satu adegan, mulut Adi di Denpasar menganga. Mulut itu membesar. Tubuh Miroto seperti hendak ditelan. Menarik. Namun efek imajis dan surealis demikian dapat dicapai dengan teknologi primitif. Pentas-pentas Putu Wijaya yang ditangani Rudjito (almarhum) mampu menyuguhkan imaji-imaji gigi taring raksasa atau binatang yang menelan para aktor Teater Mandiri. Sosok-sosok aneh tubuhnya membesar dan mengecil. Ada trisula dan lembing-lembing besar menancap ke tubuh liliput.
Dan itu semua hanya dilakukan dengan lampu-lampu sorot yang dipegang maju-mundur di belakang panggung. Sedangkan layarnya adalah kain putih bekas. Permainan tubuh riil dan tubuh digital dalam karya Miroto ini, meskipun mediumnya lebih canggih, tampak masih sebuah upaya penjelajahan kemungkinan. Bagaimanapun, ini sebuah fase baru bagi Miroto.
Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo