Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA mesin jahit itu menyeruak terus-menerus di ruangan. Seseorang seperti tengah menyelesaikan sebuah baju pesanan atau apa. Entah suara itu muncul dari bilik mana. Begitu masuk ruang pameran Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung, kita dihadapkan pada labirin sekat-sekat ruang batu bata putih. Sebuah jalan kecil meliuk-liuk menuntun kita menuju dinding-dinding yang menyajikan lukisan Hanafi di kanvas-kanvas persegi dan bulat. Sekilas di antara kanvas tersebut ada samar-samar gambar peniti atau gulungan benang.
"Suara itu saya bayangkan sebagai suara mesin jahit Ibu saat Ibu lembur mengerjakan kerudung atau apa," kata Hanafi, 54 tahun. Diatur dengan timer, instalasi bunyi itu menjadi kunci yang mengikat apa yang disajikan Hanafi di pameran berjudul "Oksigen Jawa" tersebut. Pameran ini menyodorkan kelebatan-kelebatan ingatan Hanafi yang bertolak dari rekaman masa lalunya di Purworejo.
Menurut Hanafi, kala ia kecil, ibunya sering menjahit hingga larut malam. Suara jegrek-jegrek mesin jahit itu terbawa sampai tidurnya. Antara terlelap dan terjaga, dalam diri Hanafi, suara itu sering membuat imaji-imaji. "Ibu sering bercerita bila malam ada angin ribut. Pohon-pohon tumbang. Hati-hati kalau melangkah ke luar." Itulah sebabnya, di ruangan pameran tergeletak potongan tunggul kayu.
Ibu dan ayah Hanafi adalah penjahit. Ayahnya veteran tentara yang di kala pensiun berwiraswasta membuat sarung bantal, taplak, dan seprai. Sang ayah pandai membordir kerudung dan menyulam pinggiran baju bayi. Adapun ibunya suka membuat pola gambar kupu-kupu dan bunga. Ayah Hanafi akan memilihkan warna-warna benang. Menurut Hanafi, sampai sekarang, bila ia sedang termangu, lelah, atau antara sadar dan tak sadar, sering terngiang-ngiang suara roda dan poros mesin jahit di rumahnya dulu yang sering diminyaki sang ayah. Atau kilatan benang-benang yang sebelum dimasukkan ke jarum sering dikulum di mulut ibunya.
Adalah menarik bila Hanafi berani membawa hal-hal kecil, personal dari biografinya, untuk sebuah pameran. Sebuah kenangan yang sama sekali tak bertautan dengan sejarah besar. Kita tahu beberapa perupa kita pernah membuat karya yang bertolak dari sebuah masa di keluarganya, tapi senantiasa relevan dengan masalah sosial. Tragedi pembantaian 1965, misalnya, pernah digunakan Dadang Christanto, yang ayahnya hilang pada masa-masa itu, untuk tema instalasi. Atau F.X. Harsono, yang ayahnya menjadi saksi pembantaian minoritas Cina di Blitar. Hanafi tidak tertarik menggeret ingatannya ke sejarah besar semacam itu. Purworejo kota pensiunan tentara. Ayah Hanafi, misalnya, menyimpan emblem, lencana, baju seragam tentara, atau topi baja era perjuangan yang sering dibuat bermain Hanafi saat kecil. Namun benda-benda itu tak diangkat Hanafi dalam konteks yang lebih besar.
Bila kita rasakan, pameran Hanafi juga kontras dengan suasana utama Bandung dua minggu terakhir ini. Jalan-jalanlah di Bandung, sekitar Hotel Savoy dan Gedung Merdeka, terasa kota itu semarak menyambut perayaan Konferensi Asia-Afrika. Wajah-wajah negarawan berwarna-warni menjadi citra spanduk dan baliho. Foto-foto heroik nostalgia pertemuan pada 1955 dipajang. Berkebalikan dengan suasana penuh gelora dan ide itu, Hanafi justru mengeluarkan di kanvasnya benda remeh-temeh: jarum atau gulungan benang. Itu pun bentuknya tidak utuh dan tidak menjadi fokus utama. Di sebuah kanvas, kita melihat ada gambar peniti di pojok kanan. Selebihnya, bidang permainan kosong. "Benda-benda itu hanya mengantar. Dan penyelesaiannya di luar kanvas," kata Hanafi.
Pun bila ia berbicara tentang ibunya, sosok sang ibu sama sekali tak muncul. Sosok ibunya hanya ditampilkan dalam tulisan di atas karton, "Umi Hani,-64 tahun-masuk 16 Februari-Purworejo", yang dicantolkan pada sebuah ranjang besi. Ini instalasi ranjang besi untuk mengenang saat ibunya harus dioperasi mata di Rumah Sakit Dr Jaap, Yogyakarta. "Ibu saya punya katarak. Ibu sangat terganggu saat menjahit," tuturnya. Hanafi juga menyajikan tumpukan peniti. "Kalau ibu saya pergi kondangan selalu pakai peniti. Ibu sering kehilangan penitinya. Di antara kakak dan adik, saya yang paling cepat menemukan peniti Ibu."
Baik ranjang maupun gundukan peniti itu disajikan Hanafi tanpa banyak diindah-indahkan. Juga labirin petak-petak batu di atas, yang mungkin dimetaforkan Hanafi sebagai petak RSS (rumah sangat sederhana)-potret padat, berdesak-desakan, tempat kebanyakan buruh tinggal. Kemampuan Hanafi menahan diri mendramatisasi benda-benda itu adalah hal menarik. Dia sangat menghindari ornamen. Sesungguhnya ia bisa saja mengolah bunga atau kupu-kupu yang sering menjadi motif sulaman ibunya. Tapi bunga atau kupu-kupu tentu tak muncul dalam kanvasnya. Kecuali bentuk kanvas bundar, yang baginya mengingatkan tatakan sulam. "Ibu saya punya banyak tatakan," ujarnya.
Semua bidang kanvas Hanafi didominasi warna monokrom. Permainan bidang hitam, abu-abu, kuning temaram, dan putih kotor yang intim. Dia terlihat menghindari sesuatu yang cerah. Di tangan Hanafi, akrilik yang sesungguhnya bahan yang cocok mengolah komposisi terang bisa mendapat karakter murung. "Matahari di Indonesia tidak pernah menimbulkan warna-warna Benetton," katanya. Sekali waktu, Rudjito (almarhum), ahli panggung teater tempat Hanafi berguru tentang konsep ruang, mengatakan ruang kosong di Jawa adalah ruang para cenayang. "Kosong itu tak melompong. Kosong itu ada isi." Agaknya itu berpengaruh bagi pemahaman Hanafi tentang bidang dan ruang.
Melengkapi instalasi, Hanafi membukukan "solilokui"-nya. Dari tulisan-tulisannya, kita tahu ia pernah bekerja menjadi tukang pelitur di Purworejo, tukang gambar jalanan, dan pembuat kartu ucapan selamat di depan Kantor Pos Pasar Baru, Jakarta. Dari "gumam"-nya itu, kita tahu seorang perempuan yang pernah dikasihi Hanafi dan kemudian meninggalkannya. Semuanya ditulis dengan nada kepedihan. Dalam catatan itu, ia sama sekali tak membicarakan tentang pergulatan estetika. Hanafi-lulusan Sekolah Seni Rupa Indonesia Yogyakarta-tak menyinggung bagaimana ia sampai ke gaya khasnya, yang oleh para pengamat disebut abstrak.
Terasa estetikanya tumbuh dari cara dia memandang peristiwa sehari-hari yang dijalaninya, bukan dari buku atau kredo estetika standar. Saat menjaga ibunya di Rumah Sakit Dr Jaap, misalnya, ia menulis:
"Aku tidak suka berada terlalu lama di ruang tunggu, ruang tunggu mana pun. Ruang tunggu apotek, ruang tunggu hotel, ruang tunggu dokter mata, sama saja.
Duduk di ruang tunggu aku harus merelakan potongan waktu yang besarnya tidak bisa aku tentukan sendiri. Aku tidak pernah bisa kerasan berdiam di sana. Tetapi kali ini aku tak bisa pergi begitu saja dari ruang tunggu yang membosankan ini…."
Ruangan Balai Galeri Soemardja bukan sejenis ruang tunggu yang membosankan. Justru jika kita duduk dan secara pelan-pelan mencoba menyerap situasi murung yang ditawarkan Hanafi, semua barang biasa itu bisa bermakna. Tumpukan peniti yang tergeletak begitu saja ternyata memiliki sejarah personalnya sendiri. Pada Hanafi, cara melihat jauh lebih penting dari cara melukis.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo