HUJAN rintik-rintik membasahi arena Jak Jazz, setengah jam lepas tengah malam. Tapi, sekitar dua ribu penonton di Teater Mobil Ancol, Jakarta, Jumat pekan lalu itu tetap bertahan dan bergoyang di bawah panggung kelompok gitaris top dari AS, Lee Ritenour. "Apa Anda semua tidak repot kehujanan?" tanya Ritenour. "No, no," balas penonton. Lalu giliran Phil Perry yang piawai itu mengolah vokalnya. Ia meneriakkan nomor-nomor Night Rhythms, Latin Lover, dan Harlequin, yang sebagiannya memang sangat digemari anak-anak muda di sini. Semuanya enak dikunyah, sehingga menghangatkan badan. Nyaris semua penonton klojotan. "Selamanya, kau akan menjadi yang sebenarnya aku kehendaki ...," begitu Perry dalam lagu lain, Malibu. Grup ini tampaknya cocok dan diperlukan oleh kawula muda yang mencoba memulal mengenal lazz. Sebagai bahan apresiasi awal fusion -- dengan bumbu rock, funky, improvisasi -- seperti digenjot kelompok Ritenour itu, ibarat barang "halal" sebagai jembatan untuk mengenal lebih jauh mengenai jazz. Menurut Nick Mamahit, si motor jazz terkenal di Indonesia, itu merupakan keharusan sekarang. "Orang mau lihat yang bergoyang," katanya. Sementara itu, musik Kazumi Watanabe, juga, sebuah hidangan pamungkas. Ia di peringkat yang sama dengan karya-karya Ritenour tadi. Ya, itu karena gairah mayoriti golongan usia muda penggemar jazz di sini memang belum beranjak jauh dari musik diskotek. Yang mengentak, dan tubuh boleh berkelojot -- melepaskan ketegangan impitan pergaulan kota. Dan ini sah. Atau menurut Nick Mamahit, "Jazz itu harus mengena, hingga publik kena heart-nya." Dalam warna sejalur, tapi dengan gaya dan kemampuan berbeda, muncul musik-musik rombongan domestik, seperti Indonesia 6, Funk Section, dan Karimata. Idem pula dari negara tetangga, Jeramzee, Singapura. Mereka memiliki improvisasi, dan untuk dua yang terakhir dan domestik itu, matang. Kelemahan kelompok muda di sini, kata Tim Kantoso, seorang di antara penasihat panitia Jak Jazz itu, masih bermain seperti balap mobil, kejar-kejaran. Mereka masing-masing ingin berada di depan, tidak memberi kesempatan pada mitra panggungnya untuk tampil bergantian. Ini terasa, umpamanya, pada Indonesia 6 dan sedikit pada Funk Section. Jazz memang tak pernah menarik untuk bahan debat. Karena sejak dari awalnya, jazz adalah komoditi untuk dinikmati. Dan kalau sudah bicara kenikmatan, galibnya, para penggemar fusion bukannya kontan menolak bentuk jazz yang lain. Misalnya, terhadap nomor-nomor standar sebangsa Summertime dan Autumn Leaves bisa mereka serap. Dalam Jak Jazz '88 ini ada enam panggung di Teater Mobil, dua di antaranya akustik, ditambah satu Panggung Maxima di Dunia Fantasi. Nah, sekarang kita menikmati kelompok lain, di panggung dan diwaktu yang berbeda. Di panggung V (akustik), misalnya, bermain Itchy Finger. Kuartet saksofonis dari Inggris ini unik juga -- bukan hanya karena melulu mengandalkan saksofon, dari tenor, alto, sampai bariton dan bas. Cara mereka tampil pun kocak, sehingga cepat akrab dengan penonton. Malah, sewaktu mereka memainkan This Morning, ada adegan tidur di lantai panggung, sementara seorang di antara mereka meniup instrumennya yang melahirkan suara mendengkur. Ketika semuanya bangkit, masing-masing melahirkan improvisasi, mereka membentuk lingkaran, disusul dengan nada-nada riang. Gemuruh penonton menyambut. Ini bukan grup sembarangan. Di Inggris, pada 1986, mereka juara umum dalam kompetisi jazz tingkat nasional pertama. Sedangkan tiga dari empat anggotanya itu lulusan Royal Academy of Music. Dan mengenai musik mereka, menurut Howard Turner, seorang dalam grup itu yang dihubungi wartawan TEMPO Liston P. Siregar, mengatakan, "Kami tak senang bila musik kami dikotak-kotakkan. Kami bisa masuk dalam banyak kategori. Tapi banyak orang menyebut musik kami heavy metal bebop." Sebelum mereka, di panggung III tampil Igor Bril Ensemble dari Uni Soviet. Siapa sangka, di negeri sosialis yang relatif tertutup itu, ada grup jazz memainkan musik negeri kapitalis dengan memukau. Musik jazz di negeri itu sudah mulai sekitar 50 tahun lalu, tentu dengan sejumlah pasang surut, menurut iklim politik. Tapi Igor dan kawan-kawan telah membuktikan bahwa di sana jazz sanggup bertahan. "Dan menjadi musik elite," ujarnya. Rekaman terakhir mereka, Before the Sun Sets, bahkan beredar di AS. Malam itu Igor mengalir di jalur utama, main stream. Menggoyang swing, mengentakkan greget blues gaya New Orleans melalui denting pianonya yang jernih. Vokalisnya, Tatevik Oganesyan, yang bernyanyi dengan gaya Ella Fitzgerald, malah menambah warna. Penonton mengapresiasinya dengan baik -- sesuatu yang tampaknya tak disangka oleh Igor. Dan tepuk tangan makin kencang, ketika Igor membawa publik ke alam boogie-woogie. Suasana menjadi komplet ketika gitaris Alexander Kuznetsov menembakkan nomor abadi Summertime. Lagu yang tidak pernah lekang digemari oleh segala usia ini di tangannya, dalam gitar tunggal, nuansanya pun bertambah. Dimulainya dengan tempo lambat, lalu mengalir menjadi bertambah cepat. Diselingi ulah tangan Kuznetsov yang memukul senar, justru itu menghasilkan suara drum. Ia memang senior -- 20 tahun sebagai gitaris di Cinematography Orchestra, sebuah lembaga negara. Album solonya yang terakhir, Blue Coral, beredar di AS. Masih di Teater Mobil, kita bisa mendengarkan suguhan kelompok yang kendati masih membawa alam sekolahan, toh profesional -- paling tidak penampilannya. Itulah Don Burrows Conservatorium Big Band, dari Australia. Usia mereka sekitar 17-30 tahun itu, tapi grup dari New South Wales State Conservatorium of Music ini tak boleh diremehkan. Dan muridnya yang kemudian diperhitungkan adalah Indra Lesmana. Pada Jumat malam itu, Indra ikut mengisi piano yang lowong. Adapun kedatangan mereka ke sini tak lain memang sesuai dengan pesan almarhum Jack Lesmana pada panitia. Jika salah satu tujuan festival ini untuk menambah wawasan anak-anak muda penggemar jazz di sini, penampilan remaja sekolahan tersebut amat tepat: mengingatkan bahwa anak muda juga keren berkecimpung dalam mainstream, tidak harus fusion. Tak harus melulu mencontek sebangsa Kazumi Watanabe, yang malam itu ia juga menggebrak Panggung Maxima, hingga panas. Kelonggaran improvisasinya memang besar, 70-80%. Kepada wartawan TEMPO Bachtiar Adullah, Kazumi menegaskan, "Kendati banyak orang mengatakan saya fusion, saya tetap gitaris jazz. Saya mulai dengan jazz, lalu mengalir mengikuti jazz." Setelah itu, ia belajar pada Sadao Watanabe. Tapi orang ini bukanlah saudaranya. Apa pun jenisnya, memang semua warna layak tampil. Apalagi di arena Jak Jazz ini 18-20 November, yang mirip sebuah bazar jazz. Di Panggung Maxima, yang tenggelam bersama keriaan Dunia Fantasi itu, sambutan publik hangat sekali untuk Kazumi dan Walkaway dari Polandia. Bahkan kegembiraan serupa juga diberikan kepada Bubi Chen dan kawan-kawan ketika acara pembukaan. Bubi Chen kali ini ditemani Kiboud Maulana (gitar), Jeffry Tahalele (bas), drumer dari AS Douglas Verga, dan vokalis Negro Amerika Rebecca Lily, yang tampil jempolan. Melalui Lady Rebecca, bekas vokalis gereja yang secara autodidak itu mengembangkan diri. Autumn Leaves demikian menyodok kenangan. Dan hadirin juga boleh melupakan sejenak, bahwa panitia dengan anggaran lebih dan Rp650 juta berani ambil risiko untuk pesta yang belum tentu mendatangkan laba. Festival ini jangkauannya terlalu besar. Menurut Nick Mamahit (yang entah kenapa tidak diundang), kita ini seperti menunjukkan sebagai "orang yang berani mati". Tapi, tak apalah. "Festival ini layak dicatat," ujar Lee Ritenour. Ia senang bisa ikut acara di Jakarta ini. Mohamad Cholid dan Muchsin Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini