Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Revolusi melawan kaum pandir

Penerjemah : bambang supriady jakarta : lp3es, 1988 resensi oleh : sori siregar.

26 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INTELEKTUAL MASYARAKAT BERKEMBANG Oleh: Syed Hussein Alatas Penerjemah: Bambang Supriady Penerbit: LP3ES, Jakarta, 1988, 198 halaman NASIB kaum intelektual di negara berkernbang cukup malang dibandingkan rekan-rekan mereka di negara maju. Penyebabnya banyak. Antara lain: iklim yang tidak mendukung, prasarana kehidupan intelektual sedikit, dan keharusan adanya kaum intelektual tidak diakui. Buat Syed Hussein Alatas, ada yang lebih mengganggu: bebalisme. Bebalisme yang dimaksudnya bukanlah ideologi yang disadari atau sistem kepercayaan, tetapi semata-mata merupakan sikap yang tidak menghormati ilmu pengetahuan dan pandangan ilmiah. Pada gilirannya, sikap ini tidak menghargai keterangan logis dan empiris atau pemikiran nasional. Bebalisme ini memperlihatkan sifat yang menonjol. Misalnya, kesalahan dilakukan akibat kebodohan, tetapi pelakunya tidak merasa malu dengan kesalahan yang dilakukannya itu. Umumnya pula, orang yang dlsebut bebalis bersikap otoriter, tidak reflektif, dan antieksperimen. Mungkin ini tidak dapat dilepaskan dari persepsi para penguasa di negara-negara berkembang tentang fungsi pendidikan. Di negara berkembang pada umumnya, pendidikan lebih dianggap sebagai sarana peningkatan pengetahuan semata atau latihan untuk suatu profesi. Universitas lebih dipandang sebagai tempat merebut gelar, tapi didirikan tanpa semangat intelektual. Dengan kondisi demikian, pendidikan di negara berkembang tidak mempengaruhi restrukturisasi mental yang ada. Akibatnya, ceruk-ceruk pemikiran tradisional tetap tak dapat diguncang. Oleh Al-Afghani, inilah yang disebut pendidikan tanpa semangat menyelidiki. Kalau kemudian timbul celaan terhadap cara berpikir logis dan metodis dan menganggap pendekatan filosofis hanya sesuai dengan masalah-masalah abstrak, janganlah mengira celaan itu datangnya dari kelas bawah. Justru sebaliknya, kelas menengah dan golongan terpelajarlah yang melakukannya. Mengapa demikian? Karena ilmu pengetahuan modern semata-mata dikenal secara lahiriah, hasilnya dipakai, tetapi orientasi ilmiahnya terhadap kehidupan tidak dikenal. Pada bagian akhir buku ini, Syed Hussein Alatas membeberkan situasi muram di negara berkembang yang merintangi lahirnya iklim dan kelompok intelektual. Misalnya, media massa dikuasai pemerintah atau golongan yang cenderung tidak intelektual. Keberadaan kaum intelektual tidak dirasa perlu. Universitas tidak mengembuskan iklim intelektual, dan rumah tangga pun tidak berfungsi sebagai lembaga yang mengkondisikan intelektualisme. Para penulis dan penerbit, yang diharapkan mendorong bangkitnya minat intelektual, melempem. Situasi seperti ini tentu tidak dapat dibiarkan. Terobosan untuk menimbulkan pembaruan perlu dilakukan. Karena itu, pengarang buku ini menganjurkan agar kaum intelektual di negara berkembang -- khususnya Asia -- menuntut hak mereka untuk hidup dan berfungsi sebagaimana mestinya. Pokoknya, revolusi intelektual harus dicetuskan untuk melawan kaum pandir. Mengapa kaum intelektual harus berbuat begitu dan apakah dunia berkembang memang sangat membutuhkan mereka? Meski Syed Hussein Alatas bersikeras mengatakan bahwa keberadaan mereka merupakan keharusan, ia tidak dapat mengutarakan fungsi intelektual secara tuntas. Ia punya argumentasi kuat untuk itu: prestasi kerja kaum intelektual tidak dapat langsung dirasakan dan sering tidak dapat dihargai pada waktunya. Betapapun Syed Hussein Alatas prihatin dengan kondisi kaum intelektual di negara berkembang, ia tetap sadar, kelompok intelektual akan tetap merupakan bagian kecil dari masyarakatnya. Kaum intelektual selalu berupaya melihat masalah dalam perspektif yang luas, yang berhubung-hubungan secara total. Dan tidak semua orang dapat seperti itu. Tapi, betapapun kecilnya, kelompok intelektual harus ada di negara berkembang, karena tanpa kelompok itu, perubahan fundamental tidak akan pernah terjadi. Kelompok itu harus berfungsi sebagaimana mestinya. Ini tidak ada kaitannya dengan Barat, karena sepak terjang kaum intelektual adalah tuntutan universal. Negara berkembang tidak harus berpikir bahwa pembentukan kelompok seperti itu adalah peniruan dari Barat. Bukankah sejarah membuktikan betapa kebudayaan Hindu, Budha, dan Islam di masa lampau sangat mendorong minat akan ilmu pengetahuan, filsafat, dan pencarian intelektual? Sayangnya, sejak abad ke-18 minat ini merosot dan nyaris padam. Tiadanya semangat intelektual atau tidak berfungsinya kaum intelektual di negara berkembang akan besar sekali pengaruhnya terhadap kepemimpinan yang menentukan hidup matinya suatu bangsa. Dengan tepat Afghani mengatakan, apabila kepemimpinan masyarakat tidak diisi dengan semangat ilmu pengetahuan, modernisasi tidak akan dapat menjadi sarana perubahan yang berhasil dalam mengubah akhlak rakyat. Sejarah mencatat, kaum intelektual tidak begitu menonjol kalau tidak dalam krisis revolusi, atau dalam gerakan massa. Bagaimana dalam keadaan normal dan rutin? Apa yang harus mereka buat? Satu-satunya jalan, kata pengarang buku ini, adalah menulis, menerbitkan, dan memberikan ceramah, melakukan pertemuan kelompok kecil, dan menangani masalah yang telantar dengan cara tidak menentang para spesialis dan teknokrat. Selain itu, mereka yang sedang mengajar harus membangkitkan semangat intelektual di kalangan mahasiswanya. Ini menjadi bukti, mereka tetap penting. Sori Sragar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus