SUDAH lebih dari empat puluh hari Sri Sultan Hamengku Buwono IX meninggalkan kita dengan nuansa-nuansa kenangan yang tak habis-habisnya. Sebagai pemimpin bangsa, beliau sering dibandingkan dengan Hatta, salah seorang sahabat karibnya. Keduanya hampir-hampir tanpa cacat. Keduanya teguh dalam pendirian, lurus dalam berpikir dan bertindak. Keduanya adalah nurani bangsa yang mempesona. Mempesona lantaran integritas kepribadiannya yang utuh dan kukuh. Beliau berdua adalah pohon pelindung yang rindang dan menyejukkan. Sri Sultan adalah puncak kearifan Jawa Islam. Pandangannya yang jernih dan menembus jauh ke depan telah menempatkan Sri Sultan sebagai tokoh bangsa yang berakar kuat. Sekalipun beliau raja Jawa, anak seberang mencintainya sebagai salah seorang bapak bangsa. Dan cinta mereka itu sangat tulus dan bening. Sri Sultan tampaknya menyadari kenyataan ini dengan pengertian yang dalam. Pergaulan beliau yang luas dan akrab, khususnya sesudah proklamasi kemerdekaan, dengan tokoh-tokoh bangsa yang berasal dari seberang (luar Jawa) telah semakin meyakinkan kita tentang betapa Raja demokrat ini bukan hanya milik wong Yogya, tapi juga milik tiyang sabrang. Kenyataan ini menjelaskan kepada kita betapa strategisnya posisi kepemimpinan yang dimiliki Sri Sultan. Kalaulah seorang pemimpin tipe ini dapat muncul lagi pada masa-masa mendatang dan diberi posisi puncak, rasanya bangsa kita akan menunjukkan kepatuhan yang tulus dan rasional, tidak peduli dari suku mana ia berasal. Sri Sultan, dengan latar belakang pendidikannya yang cukup tinggi, mungkin merupakan salah satu modal baginya untuk tampil sebagai pemimpin yang berwawasan luas, arif, dan sabar. Tidak setiap orang yang berpendidikan tinggi punya wawasan dan kearifan seperti Sri Sultan. Dalam sejarah kontemporer Indonesia, tidak sedikit orang yang berpendidikan tinggi, dan sebagian pernah dimunculkan sebagai pemimpin bangsa, tapi kemudian pamornya redup, bahkan kemudian tidak jarang menjadi bulan-bulanan. Di samping itu, ada pula tipe pemimpin yang cukup berakar di hati bangsa, tapi iklim politik mungkin tidak kondusif baginya untuk tampil. Tipe pemimpin ini akan tetap dihormati orang, sekalipun mungkin tidak secara terang-terangan, karena ada risiko politiknya yang tidak seronok. Sri Sultan, dalam menghadapi masa-masa tertentu yang kritis dalam sejarah Indonesia modern, bisa saja termasuk tipe pemimpin yang terakhir ini, sekiranya beliau vokal dalam menyampaikan pandangan-pandangan politiknya. Tapi beliau memilih untuk diam. Kemampuan beliau untuk meredam rasa tidak setujunya, setidak-tidaknya di depan-publik, terhadap suatu kebijaksanaan pemerintah memang luar biasa. Mungkin di sinilah terletak salah satu kekuatan beliau, sekalipun tentu tidak memuaskan banyak orang, khususnya mereka yang kurang sabar. Segi-segi kehidupan bangsa yang mendapat perhatian Sri Sultan begitu banyak dan luas. Olahraga dan kepramukaan termasuk dunia yang telah lama digelutinya. Beliau bukan sekadar simbol di kedua lapangan itu. Beliau benar-benar terjun secara aktif ke dalamnya. Segi lain yang mendapat perhatian Sri Sultan ialah budaya dan kesenian. Belum banyak yang diungkapkan orang tentang ini. Beliau pencipta tari. Tapi ada satu hal yang menarik untuk direnungkan dalam hal tari ini, yaitu gagasan Sultan yang revolusioner. Koreografer Bagong Kussudiardjo, dalam diskusi mengenai buku Sri Sultan di Yogyakarta pekan lalu, mengungkapkan, Sri Sultan pernah mengusulkan agar tari Jawa yang lemah gemulai itu dipadukan dengan unsur budaya sabrang dan Sunda. Dari sabrang, Sri Sultan menyebut pencak kembang Minang yang memikat itu untuk dimasukkan ke dalam tari Jawa. Sedangkan dari Bumi Siliwangi, beliau terkesan dengan kendang Sunda yang terkenal tangkas itu. Pendek kata, Sri Sultan ingin pembaruan dan penyegaran. Beliau tidak suka kepada yang mandek dan statis. Menurut saya, terobosan budaya Sri Sultan adalah terobosan simbolik yang tidak hanya terbatas pada pentas tari dalam artinya yang murni. Terobosan itu juga menyeruak ke pentas tari yang lain, yaitu "tari" politik. Budaya Jawa yang lamban, tapi penuh kearifan, perlu dipadukan dengan budaya sabrang yang dinamis, tapi terkesan tergopoh-gopoh. Bila asumsi ini benar, dapat kita katakan bahwa beliau adalah seorang budayawan antisipatif dalam rangka menyiapkan kebudayaan nasional yang segar dan anggun buat masa depan bangsa secara keseluruhan. Akhirnya, perkawinan Sri Sultan dengan Ny. Norma, wanita Shwarna Bhumi yang lincah, yang tidak mempercayai adanya benda keramat di Keraton, juga merupakan terobosan budaya beliau dalam mengubah tradisi lama yang penuh seremoni dan tak jarang membosankan itu. Dampaknya akan dirasakan pada masa-masa mendatang. Keraton Yogya kini sedang dihadapkan kepada perubahan-perubahan yang mendasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini