Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wise men say, only fools rush in, but I can’t help falling in love with you…
Shall I stay, would it be a sin, if I can’t help falling in love with you...
LAGU Can’t Help Falling in Love yang dibawakan penyanyi legendaris Elvis Presley memecah kesunyian panggung. Beberapa menit kemudian, sebuah layar monitor berukuran 3 x 3 meter diturunkan dari langit-langit di tengah panggung. Layar monitor itu menyajikan potongan-potongan rekaman gambar kegiatan sehari-hari penata tari terkenal asal Jepang, Kazuo Ohno, pada 2006 atau empat tahun sebelum wafat.
Dari balik tirai, Yoshito Ohno perlahan-lahan muncul. Bersama sebuah boneka mungil, yang wajahnya amat mirip mendiang ayahnya itu, dia berdansa mengelilingi panggung. Di tangannya, boneka kecil itu terasa hidup. Terkadang lelaki berkepala plontos itu sengaja bersembunyi di balik pilar panggung dan membiarkan sang boneka menyembul sendirian seolah menyapa penonton. ”Saya ingin penonton seolah-olah merasakan kehadiran ayah saya,” katanya seusai pementasan.
Inilah adegan terakhir yang disuguhkan Yoshito Ohno lewat sajian tari berjudul Kuu (emptiness). Tarian yang dibawakan Yoshito secara solo itu pertama kali dipentaskan pada Oktober 2007 dalam acara 100th Anniversary of Japan Society New York sekaligus merayakan hari jadi Kazuo Ohno ke-101. Di depan penonton yang memenuhi Drama Centre Theatre, Victoria Street, Singapura, Sabtu malam dua pekan lalu, Yoshito kembali menunjukkan kepiawaiannya.
Kuu (emptiness) bukanlah jenis tarian biasa. Kuu menyajikan gerak tari butoh, yang diciptakan Tatsumi Hijikata. Butoh mulai dikenal ke seluruh dunia setelah dipentaskan oleh Tatsumi dan Kazuo Ohno di Tokyo pada 1959. Kuu yang dipentaskan dua malam berturut-turut itu menjadi salah satu pertunjukan menarik dalam rangkaian kegiatan tahunan Festival Seni Singapura, yang digelar selama tiga pekan, dari 13 Mei hingga 5 Juni 2011.
Kuu sebagaimana tarian butoh menyajikan adegan-adegan sederhana, seperti berdiri, berjalan, berlari, dan berputar. Pada adegan pembuka pertunjukan yang berlangsung sekitar satu jam itu, misalnya, selama sepuluh menit Yoshito hanya berdiri membelakangi penonton sambil menundukkan kepala. ”Dalam butoh, kita tak hanya berdiri, berjalan, berlari, dan berputar, tapi juga mencoba memahami lebih dalam arti masing-masing posisi dan gerakan itu. Terlihat sederhana tapi sebetulnya amat rumit,” ujar Yoshito, yang pertama kali tampil di panggung bersama ayahnya pada 1959.
Kuu didedikasikan untuk mengenang Kazuo Ohno, yang meninggal pada 2010. Hal ini sejalan dengan tema Festival Seni Singapura tahun ini, yakni ”I Want to Remember” (kuingin mengenang). ”Festival ini berusaha menghubungkan kembali kita dengan kenangan, tempat, serta sejarah yang telah lama hilang,” ujar Low Kee Hong, General Manager Festival Seni Singapura. Lebih dari 60 pertunjukan—sebagian disajikan secara gratis—meramaikan festival seni yang berlangsung sejak 1977 itu.
Kuu hanyalah salah satu karya yang didedikasikan bagi para maestro tari yang berpulang sepanjang 2009 hingga 2010. Tarian bertajuk Out of Context, yang dibawakan kelompok tari asal Belgia, Les Ballet C de la B, dipersembahkan untuk mengenang koreografer tari asal Jerman, Pina Bausch. Demikian juga tari Flip Book karya koreografer Prancis, Boris Charmatz, yang dipentaskan khusus untuk mengenang Merce Cunningham. ”Kami memang memberi penghormatan khusus untuk ketiga maestro tari itu, yang pengaruh karyanya ke dunia seni sangat besar,” tutur Kee Hong, yang sebelumnya menjabat General Manager Singapore Biennale.
Mengacu pada tema ”I Want to Remember”, festival seni yang digelar National Arts Singapore ini terbagi dalam lima tema kuratorial, yakni Dance Greats, Histories, Lost Languages and Memories, Personal Memories, serta Sites.Sights.Sounds. Selain menampilkan berbagai bentuk seni pertunjukan, Festival Seni Singapura menggelar Festival Village di Esplanade Park, yang mencakup Kids Arts Village, yang berisi acara, aktivitas, dan pameran yang dipilih, ditampilkan, serta dikelola oleh dan untuk anak-anak.
Pertunjukan Life and Times dan Memory II: Hunger, misalnya, terangkum dalam subtema kuratorial Personal Memories. Dalam Life and Times, yang dibawakan kelompok teater asal Amerika Serikat, Nature Theater of Oklahoma, di ruang teater gedung School of The Arts, kenangan masa kecil disajikan dalam bentuk pertunjukan musikal yang ceria. Selama tiga setengah jam, sambil melakukan gerakan-gerakan komikal—kebanyakan sambil bergoyang menekuk-nekukkan dengkul kaki—tiap personal menyampaikan kenangan masa kecil mereka. Dari ketahuan mengompol sampai kisah pertama jatuh cinta ke teman sekelas.
Suasana ceria itu sama sekali tak terasa dalam pertunjukan Memory II: Hunger, yang digelar di gedung yang sama. Pertunjukan yang dipersembahkan kelompok teater asal Cina, Living Dance Studio, ini menyuguhkan suasana serba muram dan penuh kesedihan. Disajikan dalam durasi amat panjang, delapan jam tanpa jeda, Memory II: Hunger merangkum kenangan sejumlah orang tentang kelaparan hebat di Cina pada 1959 hingga 1961. Tak hanya berupa film dokumenter berisi hasil wawancara dengan sejumlah orang tua di berbagai provinsi di Cina, kenangan itu juga disampaikan 13 pemain dengan gerakan-gerakan amat menguras energi. Mulai bergerak sambil berbaring tengkurap di lantai hingga bertumpuk membentuk piramida manusia.
Tapi Festival Seni Singapura tak melulu menyajikan pertunjukan tari dan teater. Dalam pertunjukan bertajuk A Throw of Dice, penonton yang memenuhi Esplanade Concert Hall memperoleh pengalaman berbeda. Terangkum pada subtema kuratorial Sites.Sights.Sounds, A Throw of Dice memadukan pertunjukan film bisu dengan pengiring yang dimainkan secara langsung.
Komposer dan musisi ternama Nitin Sawhney bersama Singapore Festival Orchestra mampu memberi roh pada film bisu klasik buatan 1929 berjudul Prapancha Pash (A Throw of Dice). Film India yang berkisah tentang cinta segitiga dua raja dengan seorang gadis desa itu merupakan karya besar sutradara Jerman, Franz Onsten. Lelaki asal Inggris itu mampu menyelaraskan alunan musik bergaya Barat dengan adegan-adegan dalam film yang terinspirasi oleh adegan perjudian dalam kisah klasik India, Mahabharata.
Nunuy Nurhayati (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo