Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumat sore, 12 November 2010. Sebuah pesan pendek masuk ke telepon seluler Hanung Bramantyo. Pesan yang dikirim seorang kawan sekampusnya itu sungguh mengejutkan. Komite Seleksi Festival Film Indonesia baru saja mengumumkan film-film yang lolos seleksi. Sang Pencerah yang sukses di pasar dan menuai banyak pujian sama sekali tak disebut.
Kepastian terlemparnya film tentang kehidupan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, dari festival makin menguat ketika sejumlah wartawan media online menghubunginya. Kepada mereka, Hanung, yang sebelumnya optimistis filmnya mampu bersaing dengan film-film lain, mencari tahu alasan panitia. ”Saya kecewa, saya ingin protes dan marah, rasanya ingin boikot saja, tapi itu hanya sebatas membatin,” kata Hanung. Sore itu juga, melalui pesan pendek, dia meminta para pemain dan kru tidak bereaksi berlebihan.
Komite Seleksi Festival Film Indonesia yang terdiri atas praktisi dan pengamat film: Viva Westi, Abduh Aziz, German G. Mintapradja, Totot Indrarto, dan Dedi Setiadi, memang sudah membuat keputusan. Pada penyelenggaraan FFI 2010 ini, 58 film mendaftar. Dari jumlah tersebut, yang dinilai hanya 54 film. Satu film, yakni Darah Garuda, didiskualifikasi karena satu dari dua sutradaranya berkewarganegaraan asing. Pengumuman nominasi FFI 2010 akan digelar di Batam pada 28 November, sedangkan malam penganugerahan Piala Citra FFI 2010 akan dilangsungkan di Jakarta pada 6 Desember mendatang.
Ketua Komite Seleksi FFI 2010 Viva Westi menjelaskan Komite Seleksi sudah bekerja keras menyeleksi secara ketat film yang mendaftar, bahkan hingga beberapa menit sebelum diumumkan kepada wartawan. Awalnya Komite Seleksi FFI 2010 mengumumkan, dari 54 judul film yang dinilai itu, hanya delapan judul yang pantas bersaing memperebutkan Piala Citra. Kedelapan judul film itu adalah 3 Hati 3 Dunia 1 Cinta, 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita, Alangkah Lucunya (Negeri Ini), Cinta 2 HatiØDilema, HeartBreak.Com, Hari untuk Amanda, I Know What You Did on Facebook, dan Minggu Pagi di Victoria Park.
Empat hari berselang, Komite Seleksi menambah dua judul film lagi, Red Cobex dan Sehidup (Tak) Semati. Keputusan itu diambil setelah muncul protes agar panitia FFI mematuhi ketentuan dalam Pedoman Pelaksanaan FFI 2010 Bab III Pasal 3 butir 5, yang mengatur bahwa Komite Seleksi menetapkan sekurang-kurangnya 10 judul film dan sebanyak-banyaknya 15 judul film pilihan. ”Film-film itu terpilih karena secara utuh dianggap baik, yaitu memiliki gagasan bagus, disampaikan melalui cerita menarik, dan disajikan dengan standar kualitas sinematik yang terjaga,” Viva menjelaskan.
Alasan itu pulalah yang membuat Komite Seleksi dengan berat hati tidak meloloskan Sang Pencerah. Meskipun mungkin memiliki unsur-unsur yang cukup baik, film ini secara utuh banyak memiliki kelemahan. Sebagai film yang mengangkat biografi, Sang Pencerah baru terbatas pada penggambaran sejumlah peristiwa penting sang tokoh, KH Ahmad Dahlan. Sang Pencerah juga dinilai tidak menghadirkan visi dan tafsir yang lebih terbuka mengenai kompleksitas karakter yang diangkat. ”Banyak fakta sejarah yang seharusnya bisa diungkap, tapi dilakukan di film ini. Banyak juga data sejarah yang meleset,” ujar Viva. Kesalahan fakta-fakta historis itu otomatis mengurangi kredibilitas film tersebut.
Hanung sendiri menolak alasan Komite yang menyatakan filmnya tidak memiliki keakuratan sejarah. ”Apa para penyeleksi ini pernah ngopi bareng Ahmad Dahlan, kok sampai yakin sekali sejarahnya enggak akurat,” katanya. Dalam membuat film ini, Hanung mengaku sudah melakukan riset secara maksimal, termasuk meminta masukan dari Muhammadiyah dan keluarga Ahmad Dahlan.
Hanung menyayangkan sikap Komite Seleksi yang terkesan menutup mata dengan elemen pendukung film tersebut yang masih layak dinilai, seperti kualitas akting pemain, artistik, dan scoring musik. Kalaupun alasan kegagalan filmnya masuk FFI adalah FFI tidak menerima film sejarah, dan hanya menerima film-film fiksi, dia masih bisa menerima. ”Bilang saja dengan tegas bahwa FFI tidak menerima film-film sejarah. Alasan itu lebih jelas. Jadi produser tidak usah repot-repot mendaftar,” ujarnya. Hanung mengaku mencium adanya indikasi kecurangan dalam proses penyeleksian. ”Saya curiga ada pihak yang secara personal tidak suka pada film ini karena berbasis Muhammadiyah dan saya secara pribadi, dan ini kemudian dipolitisasi,” katanya.
Komite Seleksi pun enggan menjelaskan secara terperinci keputusan mereka tidak meloloskan Sang Pencerah. ”Maaf, saat ini saya memilih tidak memberikan komentar yang berkaitan dengan substansi penjurian,” ujar anggota Komite Seleksi, Totot Indrarto. Sekretaris Komite Seleksi Abduh Aziz juga tidak bersedia berkomentar.
Pengamat media Veven Sp. Wardhana mengatakan, secara sistematis, keputusan itu memang tidak bisa diganggu gugat, tapi bisa didiskusikan. Apalagi, menurut dia, alasan tentang sesuai-tidaknya biografi dan akurasi sejarah itu terdengar lucu.
”Ini (FFI) kan ajang perfilman, bukan festival sejarah dan agama. Jadi yang lebih pantas dinilai adalah sinematografinya ketimbang mempersoalkan sejarah. Lagi pula yang pantas bicara tentang akurasi sejarah ya ahli sejarah, kan,” katanya.
Nunuy Nurhayati, Aguslia Hidayah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo