Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah lukisan berlebar 2,7 meter terpampang menantang di depan pintu ruang pameran Erasmus Huis, Jakarta, pada 14 Mei-13 Juni lalu. Lukisan berjudul Ricefields with Mount Agung itu hadir mentereng dengan gunung berwarna oranye sebagai fokus. Di sisi-sisi gunung itu tampak sawah berundak, pohon-pohon dan perdu, serta meru yang menandai adanya pura. Pada latar depan kelihatan sejumlah orang sedang menaruh canang dan menata bebanten.
Itulah salah satu lukisan yang disajikan oleh Paul Husner dalam "Archetypes of Bali" (Purwarupa Bali), pameran tunggalnya yang ke-39. Tapi tak hanya dalam lukisan tersebut Gunung Agung diluhurkan. Lukisan Landscape in Sidemen with Mount Agung, Banyan Tree with Mount Agung, dan Offering Ceremony juga menawarkan sang gunung sebagai pokok pandangan. "Gunung Agung itu seperti kawan," kata Paul dengan nada yang senantiasa gembira.
Kegembiraan penerima medali Arti et Amicitiae-Amsterdam ini ternyata setara dengan yang terlihat dalam sifat dan sikap lukisannya. Karya Paul memang tampil bagai festival warna dan garis. Hura-hura warna dan garis itu lantas menggerakkan bentuk beragam benda dengan kepenuhan kebebasan, baik dalam deformasi maupun tata ruang yang berkait dengan perspektif dan sebagainya. Namun, meski karyanya tampak diimprovisasi dan menyorongkan semangat vibrasi vitae, Paul menegaskan bahwa lukisannya sangatlah konseptual.
"Saya menata elemen-elemen liar itu secara rinci satu per satu. Dari catatan, dari sketsa, dari serpihan-serpihan warna yang sudah terolah matang di papan palet. Meski kemudian di kanvas tampak spontan. Saya mencipta lukisan seperti para dewa melahirkan Bali," ujar seniman kelahiran Basel, Swiss, pada 1942 itu.
Menurut Paul, Bali menjadi luar biasa lantaran semuanya tersusun dari elemen-elemen liar yang muncul dari segala sisi lubang kosmik: tanah, langit, air, angin, api, bunyi, sinar, gelap, bahkan asap gaib. Ia meyakini Sang Hyang Widhi Wasa mengkomposisi semua unsur chaos itu secara konseptual sehingga terbentuk Bali.
Beratus-ratus lukisan tentang Bali sudah dihasilkan Paul, untuk kemudian dipamerkan di banyak negara di dunia. Sampai muncul anggapan bahwa Paul Husner adalah Bali. Sebutan itu tentu tak bisa ia tolak. Meskipun begitu, sebelum sampai di Bali, Paul pernah bermukim di banyak tempat di Indonesia. Bahkan di setiap wilayah itu ia menghayati lingkungan, meneliti aspek sosial dan kebudayaan, serta berdialog dengan orang-orang berpengetahuan dan para cendekiawan. "Semua yang tertatap dan tercerap saya kristalkan dalam lukisan," kata asisten profesor di Rijksakademie Amsterdam itu.
Paul Husner datang ke Indonesia pada 1983, dengan Medan sebagai kota pertama yang disapa. Ia datang ke kota itu karena Tine G. Ruiter, PhD, kekasihnya yang asal Amsterdam, sedang bertugas sebagai antropolog peneliti Batak. Di kemudian hari, dengan pendalaman yang didapat dari Tine, Profesor Mariam Daus, dan penyair Sitor Situmorang, seni lukis Paul terperangkap ke dalam pesona magisme kebudayaan Batak. Maka drawing yang merekam arsitektur, arca batu primitif, sampai patung-patung kayu Batak pun ia ciptakan. Karya ini pada 1985 dipamerkan di galeri Krikhaar, Amsterdam, dan diterbitkan sebagai buku, bersanding dengan karya maestro dunia Pablo Picasso serta Henri Moore.
Dari Medan, Paul merayap ke Jakarta dan tinggal di sebuah wisma di bilangan Jalan Teuku Umar. Di wisma itu, ia berjumpa dengan Dick O'Goedoe, pelukis Belanda yang kebetulan berada di Indonesia. Ujung dari pertemuan itu adalah Paul diminta memberikan workshop seni lukis di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Dari Jakarta, ia mengunjungi Borobudur, Prambanan, Dieng, dan Yogyakarta. Di sini Paul berjumpa dan bertukar pikir dengan Profesor Dr Sartono Kartodirdjo, sejarawan alumnus Universitas Amsterdam, kampus tempat Tine belajar. Dari pertemuan itu, ia diminta berkontribusi dalam Konferensi Indonesia-Belanda.
Pada 1986, Paul memberikan kejutan kepada Tine, yang masih bertugas di Medan. Pada suatu hari ia datang dari Swiss dengan membawa dua tiket ke Bali untuk bertamasya. Tine (meninggal pada 2012)-yang dipersembahkan pameran "Archetypes of Bali" oleh Paul-tentu saja terperangah. Maka dimulailah perjalanan surgawi itu. Di Pulau Dewata, Paul memilih tinggal di Ubud, di kediaman Cok Mas, ahli gamelan dan intelektual Bali yang memiliki perpustakaan besar. Dia pun memungut banyak pengetahuan tentang Bali. Antusiasme Paul untuk merekam Bali tak terbendung.
Ketika berkunjung lagi ke Jakarta, Paul menunjukkan setumpuk drawing miliknya itu kepada Rolf Verstrijden, Direktur Pusat Kebudayaan Belanda. Verstrijden meminta Paul memamerkan semua karyanya itu di gedung Erasmus Huis. Paul semula menyanggupi, tapi kemudian membatalkan rencana itu. "Saya harus mematangkannya lagi. Saya belum sepenuhnya menghayati taksu Bali," ucapnya.
Pameran di Erasmus Huis baru terlaksana pertama kali pada 1996. Sejumlah lukisan cat air dan cat minyak ia hadirkan dalam juluk "Bunyi dan Warna". Paket pameran ini pada bulan-bulan kemudian digelar di rumah gubernur di Haarlem, Belanda, dalam tajuk "Indonesia Memories".
Selama di Jakarta, Paul mengunjungi lagi LPKJ, yang sudah berubah nama menjadi Institut Kesenian Jakarta, atas undangan dosen Farida Srihadi. Di kampus ini, Farida memperkenalkan Paul kepada suaminya, Srihadi Soedarsono, yang lantas mengimbau Paul untuk berkunjung ke Institut Teknologi Bandung. Di Bandung, Paul banyak memetik inspirasi. Salah satunya dunia wayang golek, yang beberapa kali ia tonton di Jalan Braga. Dunia wayang golek ini banyak diabadikan ke dalam lukisan.
Syahdan, ikatan hati Paul dengan Bali semakin melarut. Ia telah keliling dunia dan sudah berdiam di berbagai tempat di Indonesia. Namun semua negeri, kota, dan desa itu tak bisa mengalihkan niatnya untuk terus menengok Bali, untuk berdiam di Bali, dan untuk berkreasi di Bali. "Sejak 1986, saya telah lebih dari 25 kali balik ke Eropa. Namun pelabuhan terakhir saya tetap saja Bali," katanya.
Di Bali, Paul menemukan banyak hal yang luar biasa. Temuannya yang paling utama adalah pendaran berbagai warna. Dan semua warna itu bersumber dari cahaya matahari tropis yang ajaib. Warna-warna itu berlainan dengan yang pernah ia lihat di Basel, Amsterdam, Paris, sampai Venesia. Bahkan berbeda dengan cahaya yang tertatap di Medan, Magelang, dan Jakarta.
"Di Medan mata saya ditumbur merah, di Magelang oleh hijau biru, dan di Jakarta oleh abu-abu, di Bali segala warna menjumpai penglihatan saya," ujar Paul, yang sejak usia 12 tahun meramu cat sendiri untuk memburu warna-warna khusus.
Kehadiran Paul Husner menambah perbendaharaan ensiklopedia ihwal kontribusi seniman Swiss atas Indonesia, yang sudah berlangsung selama 350 tahun. Dari Conrad Meyer (1618-1689), Frans Hurter (aktif pada 1820-an), Johannes Schiess (1799-1844), Jos Rud Albert Mousson (1805-1890), Paul Benedickt Sarasin (kelahiran 1856), Jean Charles Bernard (kelahiran 1876), Charles A. Egh (kelahiran 1890), sampai Johann Walther (kelahiran 1910).
Yang jadi harapan: Paul Husner bisa melebihi kebesaran Theo Meier (1908-1982), pelukis Swiss di Bali yang namanya mendunia lantaran melukis Indonesia.
Agus Dermawan T., Kritikus Seni Rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo