Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Momen

16 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MA Perintahkan KPK Bayar Terdakwa

Majelis kasasi Mahkamah Agung memvonis Komisi Pemberantasan Korupsi membayar Rp 100 juta kepada bekas hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syarifuddin Umar. Anggota majelis kasasi perkara itu, Syamsul Maarif, mengatakan perkara kasasi tersebut telah diputus pada 13 Maret 2014.

"Majelis secara suara bulat memutuskan mengabulkan kasasi Syarifuddin dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," ujar Syamsul, Jumat pekan lalu. Perkara ini diputus majelis kasasi yang diketuai Valerine J.L. Kriekhoff dengan anggota Syamsul dan Hamdan.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Syarifuddin empat tahun penjara dan denda Rp 150 juta pada 28 Februari 2012. Majelis hakim menyatakan Syarifuddin terbukti menerima suap Rp 250 juta dari kurator PT Skycamping Indonesia, Puguh Wirawan, ketika mengurus kepailitan perusahaan garmen itu. Pengadilan Tinggi Jakarta menolak upaya banding Syarifuddin. MA juga menolak permohonan kasasinya sehingga ia tetap menjalani hukuman empat tahun penjara. Tapi, dalam putusan kasasi itu, MA sependapat dengan Pengadilan Tipikor, yang memerintahkan KPK mengembalikan barang bukti milik Syarifuddin yang tak berkaitan dengan perkara suap.

Syarifuddin lalu menggugat praperadilan KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia menganggap penggeledahan oleh KPK tak sesuai dengan prosedur hukum sehingga beberapa harta kekayaan yang tak terkait dengan kasus itu disita KPK. Syarifuddin menggugat KPK membayar ganti rugi Rp 60 juta dan kerugian imateriil Rp 5 miliar. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Syarifuddin pada 19 April 2012, tapi majelis hakim menolak ganti rugi Rp 60 juta karena tak terinci serta berdasarkan perkiraan dan asumsi. Adapun kerugian imateriil dapat dikabulkan tapi tidak sebesar Rp 5 miliar.

KPK pun mengajukan permohonan banding. Pengadilan Tinggi menganulir kemenangan Syarifuddin karena majelis hakim menganggap penggeledahan oleh KPK sudah tepat dan sesuai dengan prosedur hukum. Giliran Syarifuddin mengajukan permohonan kasasi dan dimenangkan MA, yang memvonis KPK membayar Rp 100 juta kepada Syarifuddin. "Pertimbangan PN Jaksel telah tepat dan benar," kata Syamsul.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan akan mempelajari lebih dulu putusan MA. "Saya akan membaca itu, kemudian mengambil sikap," ujarnya. Ia mengatakan tak tertutup kemungkinan KPK mengajukan permohonan peninjauan kembali. Menurut dia, selama ini KPK beranggapan apa yang dilakukan lembaganya sudah sesuai dengan prosedur.


Jejak Perkara Sang Hakim

1 Juni 2011.
KPK menangkap tangan Syarifuddin di rumahnya di kawasan Sunter, Jakarta Utara, karena diduga menerima suap Rp 250 juta dari Puguh Wirawan, kurator PT Skycamping Indonesia.

2 Februari 2012.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menuntut Syarifuddin hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.

28 Februari 2012.
Pengadilan Tipikor memvonis Syarifuddin empat tahun penjara dan denda Rp 150 juta.

19 April 2012.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan gugatan praperadilan Syarifuddin. KPK mengajukan permohonan banding dan Pengadilan Tinggi menganulir kemenangan Syarifuddin. Ia pun mengajukan permohonan kasasi.

12 Oktober 2012.
MA menolak kasasi perkara pidana Syarifuddin. Ia tetap menjalani hukuman empat tahun penjara seperti putusan Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi.

13 Maret 2014.
MA mengabulkan permohonan kasasi perdata Syarifuddin. KPK divonis membayar Syarifuddin Rp 100 juta.

Akil Akui Bertemu dengan Atut di Singapura

Bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar mengakui bertemu dengan Gubernur Banten nonaktif Atut Chosiyah di Singapura. Pertemuan terjadi di kantor imigrasi Bandar Udara Singapura, bukan di lobi Hotel JW Marriott. Akil menyampaikan pengakuannya itu dalam persidangan dengan terdakwa Atut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis pekan lalu.

Dalam persidangan 6 Maret lalu, jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan Atut dan adiknya, Chaeri Wardana alias Wawan, bertemu dengan Akil di lobi Hotel JW Marriott Singapura untuk meminta bantuan pemenangan perkara sengketa pemilihan kepala daerah Lebak. Atut dan Wawan didakwa menyuap Akil sebesar Rp 1 miliar melalui pengacara Susi Tur Andayani untuk menangani gugatan itu.

Akil mengatakan, dalam pertemuan di Negeri Singa tersebut, tak ada pembicaraan soal janji pemberian uang untuk menangani perkara di Mahkamah Konstitusi pada 2013 itu. "Terdakwa mengatakan mohon perhatian pilkada di wilayah Banten. Saya bilang, kita lihat saja nanti," kata Akil.

KPI Semprit Dua Stasiun TV

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merekomendasikan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika agar tak memperpanjang izin siaran dua stasiun televisi. KPI juga memutuskan melayangkan surat teguran kepada kedua stasiun televisi berita yang dianggap memihak salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Komisioner KPI Fajar Arifianto Isnugroho mengatakan lembaga ini sebelumnya sudah menegur stasiun televisi yang tak menyajikan pemberitaan berimbang. Tapi ada stasiun televisi yang tak mematuhi teguran itu. "Kami meminta Menkominfo melakukan evaluasi atas izin siar kedua stasiun yang dianggap bandel itu," kata Fajar, Senin pekan lalu. Tapi dia tak menyebutkan nama kedua stasiun televisi itu.

Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum menyatakan stasiun televisi TV One telah melanggar ketentuan penyiaran kampanye karena menayangkan langsung dialog politik pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Anggota Bawaslu, Nelson Simanjuntak, mengatakan dialog itu termasuk pelanggaran kampanye karena disiarkan pada 1 Juni lalu atau tiga hari sebelum masa kampanye pemilu presiden.

Rumah bagi Mantan Presiden

Lima bulan sebelum mengakhiri masa jabatannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan peraturan presiden tentang pemberian rumah bagi mantan presiden dan wakil presiden. Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2014 itu ditandatangani Yudhoyono pada Selasa pekan lalu. Aturan ini merupakan perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 81 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2007.

Periode maksimal pengadaan rumah berubah dari sebelumnya enam bulan setelah tak menjabat menjadi harus sudah tersedia sebelum lengser. Mantan presiden dan wakil presiden hanya berhak mendapatkan rumah maksimal satu kali, termasuk yang menjalani masa jabatan lebih dari satu periode (pasal 1). Yang berhak mendapatkan rumah hanya yang berhenti secara hormat. Bila mantan presiden dan wakil presiden sudah meninggal, jatah rumah diberikan kepada ahli warisnya.

Peraturan ini menyebutkan rumah bagi mantan presiden dan wakil presiden harus berada di wilayah Republik Indonesia serta lokasinya mudah dijangkau jalan memadai. Pelaksanaan pengadaannya dilakukan Menteri-Sekretaris Negara dan nilai rumah akan diatur lebih lanjut dalam peraturan Menteri Keuangan. "Anggaran rumah mantan presiden dan wakil presiden dibebankan kepada negara," kata juru bicara presiden, Julian Aldrin Pasha, Kamis pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus