Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Saatnya Berpesta Vitamin C

Kabupaten Magetan dan Malang memproduksi jeruk pamelo dan jeruk baby. Produksi dan harga yang stabil membuatnya bisa bersaing dengan jeruk impor.

16 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ini bulan-bulan kaya vitamin C. Ladang di Kabupaten Magetan dan Malang melimpahi pasar dengan jeruk ranum bercita rasa ahay…! Magetan adalah produsen andalan jeruk pamelo (Citrus grandis). Sedangkan Kabupaten Malang merupakan sentra jeruk baby atau disebut juga jeruk Pacitan (Citrus sinensis). Jenisnya yang bermacam-macam menawarkan rasa yang beragam pula. Mencarinya tak sulit, karena bisa ditemukan di pasar-pasar.

Jeruk pamelo adalah jeruk besar. Orang menyebutnya jeruk bali atau jeruk macan. Ukurannya sedikit lebih kecil dari bola voli. "Varietasnya ada tujuh. Bali merah, bali putih, adas duku, adas nambangan, adas gulung, adas jawa, dan sri nyonya," kata Imron Sumakno, 55 tahun, petani Desa/Kecamatan Sukomoro, Magetan, Ahad pekan lalu.

Hortikultura ini banyak tumbuh di Kecamatan Bendo, Takeran, Sukomoro, dan Kawedanan (Betasuka), Magetan. Lahannya 900 hektare dengan 360 ribu pohon. Warga menanamnya sejak puluhan tahun silam. Saat ini hampir semua lahan pertanian yang dulunya ditanami padi sudah diganti. Pekarangan rumah juga dipenuhi tanaman ini.

Masa panen jeruk pamelo setahun sekali, sekitar Januari-Juni. Selama panen, pembudi daya jeruk pamelo mandi rezeki. Pengepul membeli dengan sistem borongan, harganya Rp 3.000-6.000 per buah, bergantung pada ukuran, bentuk, dan kualitasnya.

Dengan kisaran harga itu, petani bisa meraih puluhan juta rupiah. Satu pohon bisa menghasilkan 100-200 buah. Imron, misalnya, pada masa panen tahun ini mendapat Rp 37 juta dari penjualan 8.300 buah jeruk. Ribuan jeruk itu hasil panen 68 batang pohon di atas lahan 1.800 meter. Oleh pengepul, setiap buah jeruk milik Imron dihargai Rp 4.500.

Imron memanen pamelo sejak 2009. Semakin tua pohonnya, semakin banyak hasilnya. Pada panen pertama, penjualan jeruknya hanya Rp 10-12 juta. "Buah di setiap pohonnya belum banyak seperti sekarang," kata Imron di rumahnya. Keuntungannya lebih baik daripada tebu dan padi. Dari lahan tebu 1.800 meter persegi, hasilnya hanya Rp 5-6 juta setiap panen per tahun. Tanaman padi pun hasilnya minim. Padahal biaya produksinya tinggi karena pengerjaannya bertahap-tahap.

Pamelo hanya perlu bibit, pupuk, dan air yang tak terlalu banyak pada awal tanam. Waktu tanam hingga panen sekitar tiga tahun. Perawatannya pun sekadar disiangi, dikurangi rantingnya, dan dipupuk.

Pamelo mulai jadi primadona Sukomoro sejak 2005 berkat promosi pemerintah desa. Imron membeli 68 bibit cangkokan Rp 1,36 juta per batang. Saban musim panen, pengepul memborong jeruknya yang masih di pohon dengan uang muka. Setelah ada permintaan dari tengkukak besar, jeruk dipanen dan kekurangannya dibayar dalam tempo kurang dari tiga hari.

Darno, 39 tahun, pengepul dari Desa Duwet, Kecamatan Bendo, mengatakan sebelum membayar persekot ia blusukan ke kebun untuk memastikan kualitas, bentuk, dan ukuran jeruk yang diincar. Kalau cocok, pemetikannya tinggal menunggu pesanan dari pembeli atau tengkulak.

Kesulitan pengepul, kata Darno, adalah persaingan di pasar yang kian ketat. Jeruk dari Sulawesi membuat komoditas serupa asal Magetan keteteran. "Jeruk Sulawesi lebih besar dengan harga yang sama, Rp 4.000-6.000." Karena itu, tengkulak luar kota belum banyak meminta kiriman dari petani seperti Darno.

Saat ini tengkulak dari Solo, Demak, dan Rembang yang sudah meminta dikirim. Padahal tahun-tahun sebelumnya pesanan datang dari Cirebon, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Pasar tentu memilih jeruk yang besar dengan harga yang sama. "Padahal rasa pamelo Magetan sebenarnya lebih unggul," kata Darno.

Muhammad Malik, 35 tahun, juga mengeluh. Pada musim panen ini, pria asal Solo ini hanya mengirim jeruk ke toko swalayan 100-150 buah per tiga hari. Jeruk tidak langsung diambil dari Magetan, tapi dari pedagang Solo. Berbeda dengan musim panen tahun sebelumnya, Malik meminta kirim langsung dari Darno. "Sekarang pasar sepi. Saya ngambil tak banyak. Permintaan toko swalayan juga sedikit."

Tak semua petani mengandalkan pengepul. Sukimin, 61 tahun, dari Desa Tambakmas, Kecamatan Sukomoro, menjual pamelonya langsung ke manajemen toko swalayan di Solo. Sebanyak 7.000 buah jeruk diborong seharga Rp 56 juta. Pihak toko swalayan, menurut dia, juga melakukan pengambilan langsung ke petani lain. Hal itu terjadi karena ada warga yang menawarkan jeruk ke toko swalayan.

Pembelian langsung menguntungkan petani karena harga lebih bagus. Harganya Rp 8.000 per buah, jauh lebih tinggi dibanding harga pengepul Rp 3.000-5.000. Namun pelunasan toko swalayan lebih lama, yakni tujuh hari.

Pada musim panen tahun ini nasib baik tak berpihak. "Sampai sekarang pihak toko swalayan belum ke sini." Karena itu Sukimin memasarkan sendiri. "Sudah mulai jalan, sekali permintaan ada yang 100-200 buah," kata pensiunan pegawai negeri Kabupaten Magetan ini. Temannya di Surabaya dan Jakarta pun memesan. Hanya, jumlahnya tidak sebanyak permintaan toko swalayan. Ia berharap pengepul tertarik membeli jeruknya. "Asal harga cocok, saya lepas." Hingga Ahad lalu, sekitar 5.000 jeruknya belum dipetik.

Akan halnya jeruk manis Pacitan mudah ditemukan di toko swalayan sejak 1997. Petani menjualnya melalui tengkulak. Tengkulak menjualnya ke distributor supermarket dan pasar tradisional di Jakarta. Sebanyak 30 persen masuk ke supermarket. Petani melepas jeruk kualitas supermarket dengan harga Rp 4.500 per kilogram ke tengkulak dan Rp 3.000 per kilogram ke pasar tradisional Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Solo.

Bagi tengkulak, memasok jeruk ke supermarket lebih menguntungkan. Distributor membayar dengan harga lebih stabil. Pembayarannya pun lebih terjamin, meski harus dipotong 21 persen untuk kebutuhan promosi. "Risiko lebih rendah. Jika memasok ke pasar tradisional sering tertipu," ujar Hermanto, tengkulak yang memasok jeruk baby Pacitan 5 ton per pekan kepada distributor di Jakarta.

Awalnya jeruk Pacitan sulit bersaing karena petani tak bisa menjaga keajekan produksi dan kualitas yang layak supermarket. Namun, mulai 2000, jeruk Pacitan bisa merebut pasar. Rasanya yang segar dan manis, dengan harga kompetitif, mengalahkan jeruk impor. Apalagi sejak Kementerian Perdagangan menghentikan impor buah.

Petani berupaya menjaga kualitas produk dengan menyiapkan bibit berkualitas dan merawat tanaman dari serangan hama, seperti trip, ulat, kutu sisik, dan lalat buah. Cuaca tak menentu yang disertai angin kencang dan hujan juga menyebabkan jeruk membusuk. "Tapi petani berpengalaman mengatasi hama penyakit. Penyuluh lapangan juga sering memberi pendampingan," kata Suwaji, pemilik dua hektare lahan jeruk di Desa Selorejo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Senin pekan lalu.

Kuantitas dan kualitas produksi yang terjaga membuat bisnis ini lancar. Dalam empat tahun terakhir harga jual stabil. Setiap hektare lahan jeruk baby membutuhkan biaya perawatan Rp 80 juta per tahun. Namun keuntungan petani bisa mencapai Rp 100 juta. Luas lahan jeruk baby di Selorejo mencapai 600 hektare dengan produksi 40 ton saat panen pada Juni-Agustus. "Idealnya, satu pohon menghasilkan 300 buah," ujar peneliti dari Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika Kementerian Pertanian, Harwanto.

Toh, petani berharap akses langsung ke supermarket. Mereka juga membutuhkan gudang penyimpanan atau lapak di pasar buah Jakarta sebagai etalase untuk memamerkan produk. Sejauh ini petani mencari sendiri jalur pemasaran. Gabungan Kelompok Tani Mitra Dua Selorejo, misalnya, mempromosikannya melalui agrowisata petik jeruk di lahan seluas dua hektare sejak lima tahun lalu. Kunjungan wisata ramai pada libur panjang, libur sekolah, atau akhir pekan. Tiap bulan sekitar 200 turis Nusantara dan asing datang ke Selorejo.

Akan halnya Kepala Dinas Pertanian Magetan Eddy Suseno mengatakan lebih berfokus pada peningkatan kualitas dan kuantitas jeruk dengan bibit gratis dan pendampingan petani. Target produksi 27 juta buah atau 40,5 ton per tahun. "Jarang mencapai target karena tergantung cuaca. Jika kemarau panjang, jeruknya lebih sedikit," ujarnya.

Dinas memamerkan produk andalan itu dalam Pekan Nasional XIV Kontak Tani Nelayan Andalan di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, ke Pasar Lelang Komoditas Pertanian Jawa Timur, dan pameran lain hingga tingkat nasional. Pemerintah Magetan pun menggelar kontes jeruk pamelo setahun sekali di kawasan Telaga Sarangan agar dikenal pelancong.

Endri Kurniawati, Eko Widianto, Nofika Dian Nugroho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus