Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalimba, ooh kalimba, play me a tune
Kalimba, ooh kalimba, I'm glad I found you....
Penggemar Earth, Wind & Fire, band yang ngetop pada 1970-an, pasti tak asing dengan lagu berjudul Kalimba Story itu. Lagu yang dirilis pada 1974 itu berisi ungkapan kekaguman Maurice White dan kawan-kawan terhadap alat musik perkusi bernama kalimba. Tak mengherankan jika alat musik asal Afrika itu akhirnya menjadi instrumen wajib yang menghiasi semua album dan konser grup asal Chicago, Amerika Serikat, itu. Walhasil, kalimba semakin populer di segenap penjuru jagat.
Sebelum dipopulerkan Earth, Wind & Fire, kalimba diperkenalkan ke dunia pada 1950-an oleh Hugh Tracey, pria Inggris yang telah 50 tahun tinggal di Afrika. Dia mendirikan perusahaan African Musical Instrument dan menyetel tangga nada do-re-mi-fa-sol versi Barat ke kalimba. Tak hanya sebagai alat musik, bentuk kalimba yang mungil juga sangat cocok dijadikan buah tangan.
Banyaknya orang yang jatuh hati pada kalimba membawa berkah bagi Supriyanto. Sejak 2004, warga Dusun Bolot, Desa Aliyan, Banyuwangi, ini membuat kalimba dan menuai kesuksesan. Produk kerajinannya dipasarkan secara rutin untuk turis di Bali, plus diekspor ke Jamaika, Turki, dan lain-lain. Kalimba buatan Supriyanto menyita perhatian pengunjung pameran yang digelar di sela-sela International Surfing Competition 2014 di Pulau Merah, Banyuwangi, akhir bulan lalu.
"Bila terdengar merdu, berarti sudah bagus," kata Supriyanto saat ditemui Tempo di rumahnya, Selasa dua pekan lalu. Siang itu pria 52 tahun ini sedang mengetes kualitas suara ratusan alat musik yang lazim disebut piano jempol itu-karena cara memainkannya cukup dengan dua jempol tangan. Kalimba buatan Supriyanto memiliki tujuh lempeng logam sebagai sumber suara. Menurut literatur, ada pula kalimba yang memilki lempeng 8, 11, 15, atau lebih.
Saat ini Supriyanto tengah mengerjakan order 100 ribu kalimba dari kedai seni kerajinan di Bali. Dari jumlah itu, separuhnya akan dikirim ke Jamaika, separuh sisanya ke Turki. Dalam sepekan Supriyanto dan anak buahnya bisa merampungkan paling sedikit 15 ribu kalimba. Walhasil, pesanan untuk tujuh bulan ke depan sudah penuh.
Kalimba Supriyanto terbuat dari potongan tempurung kelapa yang diberi tutup. Tutup berbahan kayu ini memiliki lubang di tengah dengan diameter tiga sentimeter. Di atas lubang, berjejer tujuh lempeng besi dengan bilah tengah paling panjang, yakni 10 sentimeter. Untuk mengetes kualitas suaranya, itu tadi, Supriyanto memetik bilah tersebut dengan kedua jempolnya.
Tak ada pendidikan khusus yang diikuti Supriyanto untuk bisa menghasilkan kalimba berkualitas. Keterampilan suami Lamiah ini didapat secara otodidak. Perkenalannya dengan kalimba terjadi saat dia pergi ke Bali pada 2003, sehari setelah bangkrut sebagai perajin patung dan anyaman bambu. Untuk membayar utang, pria yang tidak lulus sekolah dasar ini harus bekerja serabutan selama sekitar satu tahun, seperti menjadi tukang bangunan, tenaga penjualan buku tulis, dan pengepul kerajinan untuk kedai seni alias art shop.
Saat menjadi pengepul itulah ayah dua anak ini melihat kalimba buatan Bandung. Dia tertarik meniru lantaran kerajinan ini diminati turis. Setelah berhasil mengumpulkan duit dan utang lunas, ia pulang ke Banyuwangi dengan sisa uang di tangan Rp 300 ribu.
Dengan modal itu, Supriyanto merintis kerajinan kalimba pada 2004. Selama tiga bulan dia membuat sendiri alat musik itu. Begitu merampungkan 100 kalimba, bersama istrinya, ia pergi lagi ke Bali dan keluar-masuk ke 20 kedai seni di sana untuk menitipkan kalimbanya. Saat itu satu buah kalimba dibanderol Rp 7.000.
Setelah sepekan menunggu, kabar baik akhirnya datang. Dua kedai seni memesan kalimba 600 buah. Supriyanto seperti mendapat durian runtuh. Sejak saat itulah permintaan kalimba terus mengalir. Setiap bulan dia rutin mengirim paling sedikit 15 ribu kalimba ke 15 kedai seni di Bali. Kini omzetnya lebih dari Rp 200 juta sebulan. "Saat itu saya sudah bertekad, kalau gagal dari bidang kerajinan, saya harus bangkit dari bidang kerajinan juga," katanya.
Ada tiga jenis kalimba yang dibuat Supriyanto. Jenis paling mahal adalah kalimba dengan penutup kayu sonokeling, yang dibanderol Rp 20 ribu per buah. Kalimba jenis ini paling mahal karena sonokeling tergolong kayu kelas atas, dengan harga hingga Rp 4 juta per meter kubik. Kelebihannya, selain keras, serat kayu sonokeling terlihat kontras sehingga membuat tampilan kalimba lebih menarik.
Jenis kedua adalah medium, yakni kalimba dengan hiasan dari cat warna-warni, yang dipatok Rp 15 ribu per buah. Hiasannya berupa bintik-bintik cat yang membentuk bunga-bunga. Sedangkan jenis termurah adalah kalimba dengan penutup kayu mahoni polos, yang bisa ditebus dengan harga Rp 12.500 per buah.
Saban bulan Supriyanto butuh sekitar 80 ribu tempurung. Cangkang buah kelapa itu dipasok oleh pengepul dari beberapa desa di Banyuwangi dengan harga Rp 1.000 per buah. Tempurung yang dipakai untuk membuat kalimba dipilih yang sudah tua dan berdiameter 12-15 sentimeter.
Bahan baku penting lainnya adalah jeruji sepeda, yang akan dipakai sebagai bilah sumber suara. Setiap bulan ia memesan sekitar seribu jeruji buatan Cina, yang harganya Rp 60 ribu per 50 gross atau 12 lusin jeruji. Pembuatan bilah agar menghasilkan nada yang pas merupakan bagian yang paling sulit karena jeruji harus dipipihkan sampai ketebalan 0,1 sentimeter. Lantaran tingkat kesulitannya tinggi, pembuatan bilah ini dikerjakan oleh satu karyawan khusus dengan upah Rp 100 ribu sehari.
Supriyanto mempekerjakan 10 pemuda desa dengan sistem borongan. Satu kalimba dihargai Rp 1.750. Ahmad Sholeh, salah satu pekerja, mengaku butuh waktu tiga bulan untuk bisa mahir membuat kalimba. Saat ini pria 34 tahun itu sudah bisa menghasilkan 350 kalimba dalam sepekan. Penghasilannya paling sedikit Rp 1,5 juta per bulan. "Kalau sudah terbiasa, bikinnya gampang, asal telaten," kata Sholeh, yang sudah satu tahun bekerja pada Supriyanto.
Untuk membuat kalimba, potongan tempurung kelapa diampelas hingga halus dan bersih dari serabut. Setelah itu, potong papan kayu berbentuk lingkaran sesuai dengan diameter tempurung. Kayu kemudian dilem sebagai penutup tempurung. Di atas kayu penutup, dua potongan kayu ditempelkan sebagai dudukan bilah. Agar tampak lebih menarik, permukaan tempurung dan kayu difernis hingga mengkilap. "Proses terakhir adalah pemasangan lempengan besi," katanya.
Ketelatenan dan kecermatan Supriyanto dalam membuat kalimba itu tak sia-sia. Hasil kerajinan Supriyanto mendapat pujian dari pemilik kedai seni di Bali karena kualitasnya jempolan. "Hasilnya bagus, halus," kata Imam Arifin, pemilik Imam Artshop, yang sudah 10 tahun bekerja sama dengan Supriyanto. Bahkan, menurut dia, kalimba Supriyanto lebih bagus dibanding kalimba buatan perajin dari Bali dan Bandung. Pada kalimba lain, misalnya, ada yang lempeng besinya cepat berkarat atau penutupnya hanya dari tripleks.
Di Bali harga kalimba bisa melambung hingga tiga kali lipat. Kalimba dari kayu sonokeling, misalnya, harganya meroket menjadi Rp 60 ribu. Selain menjual di kedai seni, Imam mengirim ribuan kalimba setiap pekan ke Eropa, Amerika, dan Asia Tengah. Di Eropa, harga kalimba bisa menembus Rp 205 ribu per buah.
Kepala Bidang Usaha Kecil Menengah pada Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Banyuwangi, Made Mahartha, memberi apresiasi terhadap Supriyanto. Untuk itu, Dinas gencar mempromosikan melalui berbagai pameran, termasuk dalam International Surfing Competition 2014. Dengan cara itu, kata dia, "Orang akan mengenal bahwa kalimba sesungguhnya adalah produk Banyuwangi, bukan Bali."
Dwi Wiyana, Ika Ningtyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo