Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Yang Muda tentang Kekuasaan

Tampak perbedaan antara generasi muda dan tua dalam mempersepsi kekuasaan.

16 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Biba Dolbi Sakula. Perupa yang tengah kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta ini berumur 24 tahun. Ia masih berusia delapan tahun saat Jenderal Besar Soeharto tumbang dari kekuasaannya pada 1998.

Lihatlah bagaimana ia merefleksikan situasi saat itu. Enam karya grafisnya dengan teknik cetak saring di atas kertas bertajuk Past Life Regression menampilkan sejumlah citraan figur tentara dengan senjata laras panjang, mobil polisi dengan dua water canon, logo Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia), dan sebagainya. Berbagai simbol yang eksis di masa Orde Baru itu muncul lewat warna-warna primer seperti warna permen yang mampu meneteskan air liur anak-anak.

Bilba adalah salah satu perupa yang diundang pameran besar ArtJog 2014 di Taman Budaya Jogja (7-22 Juni). Dalam pameran bertema "Legacies of Power" itu, kurator Bambang Toko Witjaksono menghadirkan 103 perupa dari generasi sebelum Orde Baru sampai pasca-Soeharto. Tapi mayoritas yang dipilih Bambang adalah perupa muda umur 20-30 tahun.

Di sana kita menyaksikan generasi yang tak bersinggungan dengan hal-hal represif ini cenderung lebih santai melihat fenomena kekuasaan. Mereka dengan kemampuan tinggi menggarap elemen kebentukan dan menggunakan idiom budaya massa yang lekat dengan konsumerisme. Ekspresi mereka jauh dari pekikan yel atau metafor yang menyengat.

Ini bedanya dengan generasi lawas. Lihatlah Go to Hell Crocodile. Ini lukisan baru perupa Djoko Pekik. Seekor buaya yang tubuhnya sangat panjang-mungkin berkilo-kilometer-dikerumuni penonton. Ini seperti seri karya celeng. Sementara pada karya celengnya orang-orang digambarkan Pekik berebutan menyusu, kini orang-orang menyemut sampai ke ujung ekor sang buaya. Karya Pekik yang dibanderol Rp 6 miliar ini segera dapat kita maknai sebagai satir.

Adapun pematung kawakan Edhi Sunarso menghadirkan sebuah patung utuh Sukarno. Berpeci, berdiri dengan berwibawa (tapi agak kaku), tangan kirinya terangkat membawa jas. Wajahnya serius. Sama sekali tak menyungging senyum. Edhi memberi judul patungnya Soekarno dari Pengasingan Pulau Ende. Di samping karya ini, ada film dokumenter yang menampilkan wawancara Edhi Sunarso tentang masa lalunya sebagai gerilyawan Divisi I Batalion Siliwangi. Pada usia 14 tahun, ia dipenjara Belanda. Jelas ini monumen yang mengumandangkan kekaguman sang pematung terhadap figur pemimpin yang tanpa cela.

Bandingkan dengan perupa lain seumuran Biba. Tengoklah karya Dhany Sanjaya, Ilusi Kebebasan. Ia menampilkan delapan kotak yang ditaruh di atas sebuah tatakan bertopang tiang kayu. Di tiap kotak ada lubang intip, yang bila kita intip akan terlihat berbagai situasi absurd. Ada patung-patung kecil menampilkan sebuah kepala terbenam di pasir, seseorang naik tangga, dan seseorang yang memasukkan tangannya ke atap. Menarik.

Atau simaklah karya Olga Rindang Amesti, Mind and Boxes. Ia menghadirkan sejumlah kotak kayu yang berisi boneka-boneka kapuk. Boneka itu seolah-olah tercampak, terbuang dan tercabik-cabik. Sedangkan Ahmad Syahbandi menampilkan mixed media di atas sebuah kanvas berjudul Tua Semakin Kuat. Kanvasnya disapu barik-barik hijau. Tapi di sudut atasnya ada miniatur tiga dimensi sebuah balkon. Kita melihat di belakang balkon itu hujan deras-air betul-betul seperti tercurah. Karya ini sangat puitik.

Amati karya Hendra "HeHe" Harsono, yang terpaut enam tahun usianya dengan Biba, yang melukis Death by Rice. Bergaya street art, ia merefleksikan jargon kebijakan pangan Soeharto, yang mengklaim melakukan revolusi agraria yang mengubah Indonesia dari pengimpor beras terbesar di dunia pada 1966 menjadi swasembada beras pada 1984. Tapi tak ada yang tampak suram pada karyanya. Ia menggunakan warna-warna cerah. Bahkan citraan tengkorak-yang banyak dipakai seniman street art-pada karya lukis itu pun tampak tidak menakutkan. Karya ini mengingatkan orang pada gambar tempel potret diri Soeharto dengan senyumnya yang khas disertai teks: "Enak jamanku to?".

Perupa berumur 30 tahunan lain, Jompet, merefleksikan lenyapnya penyair Wiji Thukul. Tiga kain merah terkulai di lantai. Kain itu tiba-tiba bergerak sendiri dan kemudian berkibar-kibar. Jompet memberi judul karyanya Ruang Sunyi Puisi Thukul. Memang karya ini sunyi. Hal yang sama terjadi pada karya Theresia Agus Sitompul: Igau. Ia menyajikan tiga bantal hitam tapi dengan lubang besar di tengah. Pada sebuah bantal lubang itu berjeruji. Dan di belakang jeruji itu ada video seorang berjilbab yang terlihat gusar.

Yang menarik adalah karya Eldwin Pradipta, Liquefaction of Mooi. Edwin menampilkan video sederetan lukisan pemandangan yang dijual di tepi jalan. Tiba-tiba lukisan itu meleleh. Gunung dalam lukisan itu memyemburkan api. Seluruh panorama sawah di depannya terbakar. Sungguh karya yang cerdas.

Akan halnya Samsul Arifin, 35 tahun, menampilkan 150 boneka karung goni yang disusun di teras berundak dengan latar belakang pilar-pilar kokoh seperti istana presiden. Karya Samsul ini adalah ikon ArtJog 2014. Karya ini dipesan khusus oleh panitia Art Jog. Karena diletakkan di halaman Taman Budaya menutupi ruang pameran, karya ini paling banyak difoto oleh penonton. Meski "Kabinet Goni" ini merupakan satir terhadap politikus yang duduk di kabinet, Samsul terlihat tak ingin "berteriak keras". Sosok boneka goni itu sama sekali tak tampak munafik, hipokrit, atau apa-apa, tapi justru lucu-lucu.

Pada generasi perupa yang merasakan langsung bagaimana kekuasaan dioperasikan pada masa Orde Baru, memang kritik sosial cepat kita tangkap. Amrus Natalsya menampilkan lukisan pabrik dengan cerobong asapnya dan kerumunan buruh. Karya Amrus itu berjudul Tanah Airku-judul yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh perupa generasi Hendra "HeHe" Harsono.

F.X. Harsono, kini 64 tahun, dalam pameran ini pun masih mengusung karya yang pernah dipamerkan pada 1977, berjudul Apa yang Kamu Lakukan Bila Krupuk Ini Menjadi Pistol Beneran?. Karya itu berupa tumpukan 3.000 kerupuk yang dibentuk menjadi bentuk pistol. Harsono menulis: "Saat Indonesia berada di bawah pemerintahan Soeharto yang penuh dengan kebijakan politik yang represif, peran militer dalam membungkam suara menjatuhkan banyak korban, baik yang mati maupun yang dipenjara."

Seniman Jepang, Midori Hita, menyajikan puluhan foto orang tua di Bali, Blitar, sampai Filipina yang pernah merasakan hidup saat penjajahan Jepang. Foto-foto hitam-putih itu dibingkai dengan pigura antik dan dipasang di dinding. Foto yang melemparkan kita ke suasana pedih para saksi mata pendudukan Jepang.

Persepsi terhadap kekuasaan sendiri dengan hadirnya anak-anak muda ini menjadi lebih beragam. Ichwan Noor menghadirkan sebuah replika mobil formula dari kayu. Mobil ini utuh. Kita tak tahu apa hubungan karya ini dengan tema suksesi. Tapi keterampilan Ichwan yang luar biasa membuat karya ini mencolok.

Juga demikian karya Angki Purbandono, 43 tahun. Ia menampilkan susunan potret benda konsumsi sehari-hari berupa tulang hewan (mungkin ayam), pembersih telinga, dan kawat pembersih gigi dalam sebuah komposisi. "Susah" memahami relevansi karya ini dengan pemilihan umum, legitimasi presiden, atau renungan mengenai politik sebagaimana tema Art Jog kali ini. "Yang saya miliki adalah benda-benda yang mungkin mampu membantu melihat masa lalu dan masa depan," katanya.

Raihul Fadjri, Seno Joko Suyono


Dot Merah Marina

Titik merah itu berpindah-pindah. Dari ubun-ubun seorang anak ke pelipis anak lain. Bocah-bocah yang masih berumur 6-10 tahun itu tengah tertidur. Mereka mengenakan seragam loreng. Mereka adalah tentara anak-anak. Titik merah (Red Dot) itu menggambarkan mereka sasaran tembak. Seorang sniper dari kejauhan mengintai mereka.

Salah satu keberhasilan ArtJog 2014 adalah mampu mendatangkan karya Marina Abramovic. Perempuan kelahiran Beograd, Yugoslavia (kini Serbia), ini bukan sembarang seniman. Ia dikenal sebagai grandmother of performance art. Umurnya 68 tahun. Ia tak bisa hadir tapi mengirim karya mengenai kekerasan perang sipil di Laos. Kita tahu, pada 1945 Raja Sisavang Vong di Luang Prabang mengumumkan kemerdekaan Laos dari kolonialisme Prancis. Pada 1975, Pathet Lao, Partai Komunis Laos, melakukan kudeta. Korban berjatuhan. Pathet Leo mendirikan pemerintahan komunis Laos sampai sekarang.

Karya Marina berupa lima panel video instalasi yang menampilkan seri foto statik bocah lelaki dan perempuan membawa senjata di kelas, tidur dengan senjata di barak. Karya ini dibuat Marina di Luang Prabang, Laos, pada 2008. Ia menggunakan anak-anak sekolah di Desa Ban Done sebagai aktor video. Marina yang mengalami suasana perpecahan Yugoslavia terasa memiliki sensibilitas. Tampak, di satu foto, Marina duduk berpose di tengah-tengah puluhan anak bersenjata.

Marina memberi judul karyanya 8 Lessons on Emptiness with a Happy End. Sebuah judul yang sangat Buddhis. Adakah judul itu mengandaikan harapan agar penonton saat melihat karyanya bisa mengosongkan diri dari hasrat kekerasan? Yang jelas, karya itu bisa membuat kita miris. Kita bisa membayangkan, begitu pelatuk ditarik, kepala anak-anak itu hancur.

Pesan karya itu cukup berhasil tersampaikan karena, oleh ArtJog, instalasi video Marina diletakkan di sebuah ruang gelap tersendiri. Ruang itu cukup lebar, membuat leluasa penonton merenung. Kelebihan ArtJog kali ini memang adalah mampu menyediakan ruang tersendiri untuk beberapa instalasi video. Kelompok Tromarama dari Bandung, misalnya, yang menampilkan visual pistol mainan dan kursi pada sebuah layar, juga dibuatkan sebuah ruang tesendiri.

Begitu pula dengan Mella Jaarsma yang menampilkan karya Lubang Buaya. Dua kulit buaya digantung di dinding sebuah "kamar" yang cukup luas. Dua laki-laki berdiri memasukkan kepalanya ke mulut buaya. Tubuh mereka yang membelakangi penonton menampilkan punggung bekas kerokan. Di dinding lain dipasang dua video berisi adegan saat dua lelaki itu dikeroki. Ternyata itu dilakukan seraya mempercakapkan benar-tidaknya kup PKI pada 1965.

Di samping menampilkan Mariana, ArtJog 2014 sukses menghadirkan kelompok perupa digital Jepang terkenal bernama TeamLab. Mereka menampilkan video dengan resolusi piksel sangat tinggi. Video ini terinspirasi oleh karya Ito Jakuchu (1716-1800), pelukis tradisional Jepang yang hidup pada zaman Edo. Ito terkenal dengan lukisan unggas. Tapi, menurut TeamLab, yang fenomenal adalah Ito pernah menggambar dengan bahan dasar puluhan ribu gambar balok kecil berwarna. Itu menghasilkan ilusi perspektif. Ito memahami efek optik jauh sebelum pointilisme muncul di Eropa.

Memasuki ruangan hitam, kita melihat deretan televisi plasma dengan dua lapis. Lapis pertama ribuan balok kotak kecil warna-warni. Kotak itu sama sekali tak bergerak. Tapi di belakangnya-lapis kedua-ada gambar angsa, menjangan, ayam, nuri, beo, kakak tua, hilir-mudik. Sungguh sensasional.

Bahkan Melati Suryodarmo mengkonstruksi sebuah ruang di samping pintu masuk. Ruang itu bagaikan sebuah bunker. Di situ Melati-selama kurang-lebih dua jam pada hari pembukaan-bergerak dengan mengenakan topeng paku dan kostum penuh klinthingan. Menarik karena ia dikenal sebagai murid Marina Abramovic di Hochschule fur Bildende Kunste Braunschweig, Jerman. "Dua puluh kilo beratnya kostumku," kata Melati.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus