Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film Yang (Tak Pernah) Hilang merupakan film dokumenter tentang Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah.
Keduanya adalah eks mahasiswa Universitas Airlangga yang hilang pada 1998 saat menyuarakan penentangan terhadap pemerintah Orde Baru.
Kisah hidup kedua anak muda itu diceritakan kawan-kawannya, termasuk orang terakhir yang bertemu dengan Herman dan Bimo.
Dinding kusam rumah di Jalan Kedungtarukan II Nomor 22, Surabaya, Jawa Timur, itu menjadi awal yang sempurna untuk kisah getir film Yang (Tak Pernah) Hilang. Di rumah tua itulah embrio gerakan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Surabaya berawal pada 1996-1997.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah termasuk pemuda yang intens berdiskusi di sana. Mereka adalah mahasiswa jurusan Psikologi serta Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, Surabaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat-rapat persiapan serta evaluasi aksi demonstrasi gabungan mahasiswa dan buruh direka ulang. Deretan kursi dan meja nyaris sama dengan 27 tahun silam. Heru Krisdianto, mantan anggota SMID yang saat itu aktif dalam gerakan, memandu menggugah ingatan publik dalam dialog bersama mahasiswa era sekarang yang dia sebut tak paham politik.
“Jadi mahasiswa itu enak. Hanya kuliah, main, pacaran. Bayangkan petani, buruh, nelayan yang berjuang keras untuk dapat hidup. Mereka dimiskinkan oleh sistem politik Orde Baru yang menindas,” kata Heru.
Memoar itu dipertajam oleh testimoni mantan Ketua Rukun Tetangga tentang penggerebekan tentara dan polisi pada suatu malam. Seorang penghuni kontrakan bernama Syafii diseret ke mobil bak terbuka, tapi berhasil meloncat turun dan kabur. “Mereka dituduh PKI,” kata seorang warga yang diwawancarai dalam film tersebut.
Monumen yang dibuat sebagai penghormatan bagi Herman Hendrawan (kiri) dan Petrus Bimo Anugrah (kanan) di taman belakang FISIP Universitas Airlangga, 2019. Dok.UNAIR
Yang (Tak Pernah) Hilang adalah film dokumenter tanpa narasi. Sinema ini dijahit dari kesaksian demi kesaksian tentang sosok Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah alias Bimo Petrus yang hilang sejak Maret 1998. Herman dan Bimo tak muncul dalam film. Wujudnya diwakili serangkaian foto lama sejak mereka kecil, remaja, hingga mahasiswa.
Dari gang sempit Kedungtarukan II, cerita mengalir ke Pangkalpinang, Bangka Belitung, tanah kelahiran Herman Hendrawan, lalu ke Malang, Jawa Timur, kota kelahiran Bimo Petrus. Kesaksian tentang masa kecil mereka diambil dari kerabat dekat, teman main, dan agamawan. Di sini, film ini serasa flashback atas bangunan cerita yang diawali dari Kedungtarukan tadi.
Lepas dari cerita masa kecil, sosok Herman dan Bimo sebagai aktivis mulai diperlihatkan. Karikatur tentang kekerasan aparat serta kliping-kliping koran yang memuat aksi SMID dan Partai Rakyat Demokratik (PRD) di kawasan industri Tanjungsari, Surabaya, pada 1996 menjadi visualisasi penggalangan aksi massa gabungan mahasiswa dan buruh kala itu.
Budi Harjanto, umpamanya, mengisahkan tentara berseragam loreng yang mengejar Herman dan kawan-kawan ke rumahnya. Budi, yang saat itu aktivis Promega—gerakan akar rumput pendukung Megawati Soekarnoputri yang digulingkan Orde Baru dari pucuk pimpinan Partai Demokrasi Indonesia—melindungi Herman dari penangkapan. “Kaca rumah saya ditendang tentara sampai hancur. Tentara itu balas saya pukul. Saya minta ganti rugi,” kata Budi.
Ketajaman cerita kian terasa ketika Herman dan Bimo bertualang ke Jakarta karena penugasan organisasi. Raharja Waluya Jati menemani Bimo pulang ke Malang pada suatu malam untuk berpamitan kepada ayahnya, Utomo Raharjo. “Bimo perlu pamit karena konsekuensi ia pindah ke Jakarta ini meninggalkan kuliah. Ayahnya ternyata tak keberatan,” kata mantan anggota PRD itu dalam kesaksiannya.
Mulailah kesaksian demi kesaksian mantan-mantan aktivis SMID dan PRD silih berganti. Mereka tak lagi muda. Garis-garis usia mulai terlihat pada wajah mereka. Ilhamsah alias Boing sedikit mengungkapkan seperti apa sosok Bimo. Misalnya saat ia bersama Bimo dan seorang aktivis lain ditangkap tentara karena mengedarkan selebaran dan coretan tembok soal penggulingan Soeharto di Kampung Rambutan, Jakarta Timur.
“Kamu dan Herni (nama aktivis lain itu) diam saja. Jangan buka jaringan. Timpakan semua ini padaku,” kata Boing mengingat bisikan Bimo saat mereka dibawa mobil bak terbuka ke markas tentara dengan tangan terborgol.
Kesaksian Sereida Tambunan barangkali yang paling menyentuh. Ia bersama Bimo Petrus pada 30 Maret 1998. Pagi itu, Bimo pamit hendak menemui seseorang bernama Abduh di Terminal Grogol, Jakarta Barat. Sereida bermaksud menemani, tapi Bimo menolak karena mengkhawatirkan keselamatan temannya itu. “Kata-kata terakhir dia, jika sampai jam 13 saya tak mengirim kabar, berarti saya hilang,” kata Sereida dengan air mata berlinang. Dia menjadi orang terakhir yang mengaku melihat Bimo.
Ayah Petrus Bima Anugerah, Utomo Raharjo (kiri), Kakak Herman Hendrawan, Hera Haslinda menghadiri grand launching film dokumenter "Yang (Tak Pernah) Hilang" di auditorium kampus Untag Surabaya, 5 Maret 2024. TEMPO/Kukuh S. Wibowo
Film Yang (Tak Pernah) Hilang diluncurkan oleh komunitas #KawanHermanBimo di kampus Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya, pada Selasa malam, 5 Maret 2024. Jalinan cerita yang dijahit dari sejumlah kesaksian ini menjadi pengingat akan sejarah kelam yang cenderung dilupakan sebagian orang. Bagi kita yang hidup pada pengujung era Orde Baru, sinema ini menjadi obat penolak lupa.
Namun sulit mengkorelasikan pesan dalam film Yang (Tak Pernah) Hilang dengan generasi muda sekarang, termasuk yang disebut eks aktivis SMID dalam film sebagai mahasiswa yang tak paham politik. Perlu tambahan konteks dan informasi pendukung untuk menjelaskan kisah-kisah dalam film itu kepada penonton yang tidak mengetahui sejarah 1998.
Durasi film yang dua jam mungkin juga terlalu lama untuk kesaksian yang jumlah totalnya 35 orang. Susunan kesaksian itu sebenarnya cukup mengalir, tapi sebagian bisa dipotong sehingga penonton bisa lebih berfokus mendapatkan informasi utamanya.
Produser Yang (Tak Pernah) Hilang, Dandik Katjasungkana, mengatakan film ini dimaksudkan sebagai memoar terhadap Herman dan Bimo yang menjadi korban penghilangan paksa aparat. “Kami ingin film ini dapat menyapa, khususnya, para generasi muda, supaya belajar dari persoalan-persoalan masa lalu, terutama kasus penculikan aktivis,” kata Dandik. “Agar menjadi bagian dari gerakan yang ikut mencegah keberulangan kejadian serupa.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo