Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pungutan Haram di Seberang

Ditengarai melakukan pungutan liar, beberapa staf kedutaan dan konsulat Indonesia di Malaysia dilaporkan ke KPK. Duta besar pun diduga kecipratan.

12 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri, Slamet Santoso Mustofa, terdengar kesal menjawab telepon wartawan majalah ini, pekan lalu. ”Saya selalu ditanya apa benar ada indikasi. Ini bukan indikasi lagi. Sudah betul temuan saya, kok,” katanya. ”Saya bekerja atas bukti hitam di atas putih. Ini bukan dugaan lagi,” ujarnya dengan nada suara agak tinggi.

Yang menjadi topik pembicaraan adalah kasus pungutan liar di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Penang dan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, Malaysia.

Kasus ini mulai terendus pada akhir Oktober lalu. Sebuah laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengejutkan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. PPATK menemukan adanya transfer uang dalam jumlah yang amat besar dari rekening seorang pegawai di KJRI Penang.

Tanpa membuang-buang waktu, Menteri Hassan Wirajuda lalu mengirim tim di bawah pimpinan Slamet untuk melakukan penyelidikan pada seluruh perwakilan RI di Malaysia. Hasilnya? Ditemukan bukti-bukti penyelewengan yang jumlahnya mencengangkan.

Dalam dua tahun terakhir saja, misalnya, dana batil hasil pungutan liar di Penang mencapai Rp 13,8 miliar. Departemen Luar Negeri hanya berhasil menyita Rp 1,58 miliar, dan sisanya masih raib. Di KBRI malah lebih besar lagi, mencapai Rp 27,85 miliar. Namun, cuma Rp 1,55 miliar yang bisa diamankan.

Uang haram yang kebanyakan dikeruk dari kantong para pekerja Indonesia itu umumnya ”dijarah” dengan menggelembungkan biaya pembaharuan paspor, surat jalan laksana paspor, amendemen paspor, dan visa. Atau, dengan menciptakan pungutan baru, misalnya untuk percepatan pengurusan surat-surat. Penggelembungan biaya ini bisa dua kali lipat tarif resmi.

”Berdasarkan temuan saya, sih, sudah jelas yang terlibat adalah atase imigrasi dan staf teknis imigrasinya,” ujar Slamet. Begitu penyelidikan Slamet dan timnya selesai, pejabat-pejabat yang dimaksud—yang merupakan pegawai Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia—langsung ditarik pulang ke Jakarta.

Bukan berarti mereka lantas bebas. Akhir bulan lalu Departemen Luar Negeri menyerahkan hasil penyelidikan itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan menurut Erry Riyana Hardjapamekas, Wakil Ketua KPK, dokumen itu kini ditelaah secara serius. Cuma, untuk sementara, ”Belum ada yang dapat dilaporkan atau dikonfirmasi,” demikian ia menulis dalam pesan pendek via telepon genggam kepada Tempo.

Sebenarnya, pungutan liar ini telah lama dipermasalahkan masyarakat Indonesia di Malaysia. Pada 2 Juli lalu, misalnya, sebuah surat kaleng mampir ke KBRI. Isinya mempertanyakan biaya pengurusan paspor hilang yang berbeda-beda, ada yang RM 200 (Rp 520 ribu), ada yang mencapai RM 500 (Rp 1,3 juta).

Akibat surat kaleng itu, seorang staf lokal bidang imigrasi, Roja Suryo, dipecat secara tidak hormat pada 18 Oktober lalu. Merasa dijadikan kambing hitam, Roja menulis surat pengaduan kepada Irjen Departemen Luar Negeri pada 26 Oktober, mengatakan pungutan itu dilakukan atas perintah Kepala Bidang Imigrasi KBRI. ”Uang pembayaran tersebut semuanya kami serahkan kepada petugas keuangan,” Roja menuliskan.

Temuan Slamet dan timnya ketika menelusuri jalur uang itu malah menemukan jaringan yang lebih luas. Bukan cuma kepala bidang imigrasi, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Rusdihardjo, pun kecipratan uang batil itu. ”Cuma, saya belum bisa menyebutkan jumlahnya karena itu masih harus diproses secara akurat,” ujar Slamet.

Tapi tuduhan itu dibantah Rusdihardjo. Ketika ditemui Tempo di Kuala Lumpur, dia mengatakan penyelewengan itu dilakukan oleh staf imigrasi. Kendati demikian, dia menyatakan siap diperiksa. ”Kami siap diperiksa sesuai dengan aturan dan hukum yang ada,” ujar bekas Kepala Polisi RI itu.

Pemeriksaan hukum kasus di Malaysia memang sedang bergulir. Ini cara penanganan yang berbeda dibandingkan dengan pada kasus pungutan liar yang sebelumnya dilaporkan terjadi di KBRI Stockholm, Swedia. Ketika itu, karena jumlah uang yang ”dijarah” tak sampai satu miliar rupiah, Departemen Luar Negeri memilih menyelesaikannya secara internal. Hasilnya: dua orang staf lokal dipecat dan seorang pegawai dipulangkan ke Jakarta.

Lantas, bagaimana akhir dari kasus pungutan liar di Malaysia ini? ”Kita tunggu saja hasil penyelidikan KPK,” ujar Slamet.

Philipus Parera, Titis Setianingtyas, Taufiq Salengke (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus