Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Esha Tegar Putra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
-untuk Kambang Aruih
Gelondong surian, Kambang, gelondong batang surian
kini mulai diturunkan kembali
setelah 60 tahun pasak rumah orang larikan
pangkal tiang orang olengkan
pada rusuk serta dinding pelupuh itu segala macam tinggam
orang tinggalkan.
Gelondong surian, Kambang, dihela digulingkan
dari balik bukit
dari 60 tahun rimbun ladang-ladang kina tak terurus
ladang yang mengendapkan gedebum punggung jatuh
dan kretak tulang patah
ladang yang menggaungkan hasrat siamang berkawin
ladang dengan dahan patah, masa lalu rengkah, dan ingatan bergetah.
Mabuk mengkudu, engku, dulu kita mabuk mengkudu
sebelum malam membikin renggang tenun sarung
dan dingin dari arah tepian bersabung letusan senapan.
Gelondong batang surian, Kambang
setelah 60 tahun rumah-rumah papan dibakar dihanguskan
orang-orang bermigrasi dari dusun tersuruk ke kota lain amuk
mereka mengganti nama, mengubah silsilah, menghapus rajah
menelan pahit getah nasib dari lidah hingga pangkal tembusu
melupakan jendela yang pernah tiap malam dihumban batu
mengendapkan kelat nasib dalam gigitan peria mentah
dalam rebusan pucuk pepaya muda
dan melulu mengenang dengan harubiru tentang dusun terbakar
di kedai nasi, di lepau kopi, dari lapak-lapak kaki lima
hingga los-los bumbu pasar pagi.
Hari lalu, engku, mari kita mengenang hari lalu
sebelum 60 tahun lesap ke dalam amuk baru
dan ingatan tentang rumah terbakar, dusun dengan api berkobar.
Dan kini gelondong batang surian kembali diturunkan
dihela dari rimba raya, ditarik dari balik bukit berlapis.
Rumah baru, kami ingin rumah dengan segala yang baru
jauh dari bumbung api, jauh hari lalu mengharubiru.
Pada Kota Ini
Kembali pada kota ini
-gairah ingin menggigit daging perawas mengkal di batang
lintasan ke arah muara masih begitu juga
terkepung bila air naik
terendam bila air turun
"Bila,
kita akan bahagia?"
Kembali pada kota ini
-hasrat hendak meremas jantung pisang genting tampuk
Kota di mana orang-orang dengan kurenah masih begitu juga
bila bertemu bertolak punggung
dan bila berpisah berhitung untung
Telah aku cintai aku kangeni setiap jalur
dengan caraku sendiri
jalur di mana tiap orang berhimpun
di sana limbubu membikin mata rabun
jalur di mana tua-muda terus menjaga bara hidup
dalam liang-gerongong lambung gadangnya.
Dan kembali ke sini
serupa kembali ke dalam larik dendang lama
harum pala lembab dari punggung gadis bermata sembab
gairah tungkai kaki kuda bendi berlari pada pagi hari
dan dentang lonceng berkali di minggu tinggi.
Kota ini, jalur ini, udara penuh harap cemas
menerabas sampai ke samudera lepas. Kota ini
jalur ini, pengharapan masa depan dengan garik dahan angsana
melulu bikin kita terhempas.
"Bila,
kita akan benar-benar bahagia?"
Ketika Anak Demam
Sudah kita gantung kapal lipat kertas
pada paku-paku bumbungan rumah
seperti kita gantung tinggi dan jauh
hasrat untuk berpindah
Dan kau demam, anakku
demam tak tertanggungkan
dan aku jauh dari dipan
di mana dongeng ganjil tentang paus berkepala lembu
atau hantu dalam lubang pintu
selalu digenapkan dengan gelung sarung hingga bahu.
"Ayah, aku ingin seember besar pasir warna amber
sekop plastik mini berbentuk ladam kuda
dan telapak kaki kera"
Sudah pula kita selipkan belahan limau muda
di lubang-lubang jendela
agar angin buruk tidak lagi bisa masuk
agar serbuk cuaca yang kian menggila terhisap dalam ke ruas
hingga serat daging masam limau muda
dan menjauhlah asma
menjauhlah radang pada liang dada
diamlah perut yang kembang-kempis menahan tangis!
Esha Tegar Putra kelahiran Solok, Sumatera Barat, 29 April 1985. Buku puisi terbarunya Sarinah (2016). Kini tinggal di Padang, mengelola Ruang Kerja Budaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo