Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKUMPULAN batu es dalam ukuran kecil dituang ke lantai dari karung plastik. Waldemar Tatarzcuk dari Polandia duduk bersila membelakangi cermin besar berbingkai ukiran, mirip sebuah jendela. Ia lalu melempar sebuah batu besar ke arah kumpulan batu es hingga timbunan batu es itu berantakan memecah ruangan.
Kemudian Waldemar mulai menyusun batu-batu di atas serakan batu es itu. Mempertemukan dua batu yang berlawanan: batu berwarna hitam, padat, keras, dan berat dengan batu es yang ringan, bening, dan mencair perlahan-lahan. Cermin lalu didekatkan, diletakkan berdiri menutupi tumpukan batu itu. Kini penonton hanya bisa melihat bagian belakang cermin yang berlapis kayu. Waldemar duduk berhadap-hadapan dengan tumpukan batu dan cermin. Lalu batu-batu itu mulai dilempar ke arah berlawanan, terus-menerus hingga tumpukan batu itu habis. Setiap lemparan diakhiri bunyi bel yang dipukul dengan halus.
Waldemar sebelumnya seorang pelukis. Dia meninggalkan seni lukis karena merasa setiap melukis seperti telah membunuh seseorang, membekukan kehidupan seseorang. Performance art baginya membawa persoalan waktu yang lain. Setiap aksi yang dilakukannya dalam performance art baginya menjelma menjadi peristiwa yang berlalu. Rasanya seseorang ikut mati dalam peristiwa yang berlalu itu.
Melempar batu secara terus-menerus ke arah berlawanan dalam pertunjukannya itu seperti pernyataan tentang yang selalu berlalu dan berlalu berulang-ulang. Repetisi tentang yang selalu berlalu itu sangat provokatif, baik karena bentuk maupun suara batu yang jatuh di lantai. Suara batu yang dilempar dan bunyi bel halus setiap lemparan batu dilakukan seperti sesuatu yang runtuh dari dalam tubuh seseorang. Pertunjukan Waldemar itu seolah tengah membersihkan tubuh dari doktrin dan nilai-nilai yang membatu dalam tubuh.
Marilyn Arsem dari Amerika Seikat bertolak dari pandangan berbeda. Dalam presentasinya, dia memberikan tiga daun kering kepada tiga peserta Performance Art Laboratory Project (Pala). Ia kemudian mulai menggali tanah. Lalu meminta komentar kepada ketiga penerima daun kering itu tentang daun kering yang kini sudah berada di tangan mereka masing-masing. Setelah komentar disampaikan, Marilyn meremas daun dan ranting kering itu, lalu menguburnya ke tanah yang ia gali.
Cara itu ia lakukan dilatari anggapan hidup itu baginya begitu singkat. Karena itu, bertemu dengan kenangan atau membuat kenangan untuknya menjadi berarti. Kenangan akan tetap hidup setelah ia dinyatakan. Presentasinya tersebut untuk memperlihatkan bagaimana kenangan dibuat dalam jarak yang intim, dan merajut hubungan rahasia dengan ketiga penerima daun kering itu lewat kenangan tersebut. Semua aksi dalam pertunjukan memang menjadi peristiwa yang berlalu. Tapi ia tidak hilang. Ia tersimpan dalam kenangan penonton yang dijalin selama pertunjukan berlangsung.
Akan halnya Sandra Johnston dari Irlandia menggunakan materi air mineral dalam gelas plastik. Gelas diletakkan terbalik di telapak tangannya. Air mulai menetes di antara sela-sela jari tangannya hingga habis. Gelas plastik itu mulai diremasnya. Dan tiba-tiba, dalam gerakan cepat, gelas yang sudah diremas-remas itu dimasukkan ke mulutnya. Sandra kemudian meletakkan kepalanya di atas tanah becek. Hujan sedang turun. Air hujan menetes ke dalam mulutnya yang sudah tersumbat gelas plastik. Dan lumpur dari tanah becek itu kemudian dimasukkan ke mulutnya.
Pertunjukan Sandra itu menjadikan tubuhnya sebagai terminal untuk berlangsungnya pertemuan antara gelas plastik (produk pabrik) dan alam (hujan serta lumpur). Pertunjukan yang juga bisa dibaca bagaimana industri memperkosa tubuh kita. Prinsip pertemuan serta perpindahan itu, antara benda dan tubuh, dilakukan Sandra dengan gerak dan gesture tubuhnya yang unik, mirip laba-laba yang menunggu mangsa di antara tekukan kaki dan tangannya. Tubuh yang rasanya belum ada namanya.
Prinsip pertemuan dan perpindahan itu berlangsung sangat intens dan intim, dilakukan Boris Nieslony dari Jerman bersama Sandra Johnston. Pertunjukan mereka dilakukan dalam sebuah celah dari saluran air yang sedang kering. Kantong celana Boris berisi butir-butir beras. Butir-butir beras itu satu per satu mulai dipindahkan Boris ke tangan Sandra dengan gerakan halus antara jari jempol dan jari telunjuk yang menjepit sebutir beras, terkontrol, hingga seluruh butir beras itu berpindah satu per satu ke tangan Sandra. Menjadi irama dan menjadi puisi yang berlangsung terus-menerus tanpa akhir. Pertunjukan dilakukan hampir empat jam dengan posisi yang tidak berubah.
Dalam Undisclosed Territory tahun lalu, unsur bahasa menjadi fenomena lain yang berjalan bersama tubuh. Dilakukan antara lain oleh Jacques van Poppel (Belanda) dan Kaori Haba (Jepang). Keduanya sama-sama menarasikan tubuh kolonial: Poppel menggunakan video pertunjukan musik rock ‘n’ roll (Tilman Brothers) dari Bandung ketika mentas di Belanda pada 1958. Kaori menggunakan cerita tentang tentara muda Jepang selama pendudukan di Indonesia yang menerjemahkan nyanyian Bengawan Solo ke bahasa Jepang menjadi nyanyian cinta. Keduanya mengubah sejarah menjadi biografi melalui musik dan bahasa.
Dalam Undisclosed Territory tahun ini, Ray Langenbach dari Amerika Serikat/Malaysia juga menggunakan bahasa. Pertunjukannya menggunakan semacam ruang tamu dengan meja dan kursi plastik berwarna merah. Percakapan dalam bahasa Thailand antara ayah dan anak ditayangkan melalui video. Percakapan ini berkisar bagaimana sejarah politik bercampur-aduk dengan sejarah keluarga. Sedangkan di ruang tamu, percakapan yang sama dilakukan dalam bahasa Indonesia menggunakan presenter perempuan dan lelaki Indonesia.
Pertunjukan itu memperlihatkan fenomena tubuh Asia sebagai tubuh kolonial yang tertanam dalam struktur politik etnis yang pernah ditanamkan pada masa kolonialisasi. Setelah kolonialisasi berakhir, struktur itu masih bekerja dalam tubuh sub-sub-etnik dan religi yang terpecah serta tidak bisa bertemu satu sama lainnya, memakan satu sama lainnya setelah kolonialisasi berakhir. Tubuh kolonial yang percaya bahwa identitas terletak pada tradisi dan agama yang ditanamkan pada tubuh mereka. Dan bukan sesuatu yang personal.
Forum Pala dan Undisclosed Territory ini dikurasi Melati Suryodarmo dan Boris Nieslony dari Jerman. Peserta lain melibatkan Halim H.D., Iwan Wijono, Djarot B. Darsono, Yudha Cokelat, Suprato Suryodarmo, Fitri Setyaningsih, Zulkifli Pagesa, Guh S. Mana, dan Elyandra Widharta dari Indonesia. Angie Seah (Singapura), Alan Schacher (Australia), Yuenjie Maru (Hong Kong), Yingmei Duan (Cina), dan Aor Nopawan (Thailand).
Performance art pada gilirannya memang sebuah ruang pertemuan dalam jarak yang minimal, di mana ia tidak didefinisikan melalui dirinya sendiri, melainkan melalui apa yang dipikirkan dan dikerjakan seorang seniman performance art dalam pertunjukan yang dilakukannya. Bahwa tempat maupun materi yang mereka gunakan, juga penonton, bukanlah media kosong. Semuanya memiliki cerita dan sejarah masing-masing, yang bisa dirajut kembali. Menempatkan antara mengingat dan melupakan dalam gravitasi waktu.
Afrizal Malna, penyair
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo