TUBUHNYA montok, seperti kebanyakan bintang film India. Kata
orang Jakarta: bahenol. Tinggi sekitar 1.65 cm. Meski usianya
sudah 43 tahun (lahir di Jakarta 1933), ukuran badannya tidak
mengurangi kepandaiannya berjoget. Di panggung, begitu
menggamit pengeras suara, begitu ia goyang.
Ellya Khadam, biduanita dangdut yang sudah berkubang di
bidangnya 22 tahun lalu, beranggapan bahwa goyang sebenarnya
terlarang. "Saya tidak menyebut haram. Bagaimana pun, dunia
panggung yang diisi dengan pakaian dan tingkah artis yang bisa
merangsang, lebih banyak buruknya daripada baiknya", katanya dua
pekan lalu.
Ia mengelak bicara lebih banyak perkara "merangsang" atau "buruk
dan baik". Yang bisa dicatat, tampaknya ia penganut agama yang
sebenarnya ingin tetap disiplin. Menjelang jam-jam pertunjukan,
kapan dan di mana pun, kalau datang waktu sembahyang ia selalu
berusaha menunaikannya.Ia mencela kalau ada penyanyi yang
sebelum beraksi di panggung lebih dulu mengatakan
"assalamu'alaikum."
"Ucapan assalamu'alaikum itu memang baik. Tapi kalau sesudah itu
lantas kita berjoget, itu tidak kena. Lebah-lebih kalau sebelum
nyanyi kita juga memperkenalkan diri sebagai muslim. Muslim atau
tidak, itu penilaian Tuhan. Kita tidak perlu mengaku-aku begitu
di muka orang banyak. Untuk dakwah? Tidak bisa. Tempat dakwah
bukan di panggung. Yang tepat di majelis". Itu pendapat Ellya
Iho, dan barangkali yang dimaksud adalah biduan Oma Irama
(TEMPO, 28 Pebruari 1976). Ellya juga tak bisa menerima kaset
mengaji diperjual-belikan. "Itu haram", katanya. Entah mengapa.
Pokoknya menurut Ellya, goyang pinggul di panggung itu karena
terpaksa. "Menyanyi tanpa goyang sebenarnya bisa saja. Tapi kita
'kan harus maklum penonton beli karcis ingin senang. Apa boleh
buat, kita berusaha menyenangkannya. Kalau tidak, masih mending
kalau disuruh turun. Kalau dilempar sandal atau batu, kan
gawat".
"Tuhan Itu Pengampun"
Katanya lagi: "menurut Islam, nyanyi tidak haram. Yang terlarang
itu embel-embelnya. Soal saya melakukan, selain terpaksa juga
karena dua perhitungan. Pertama, Tuhan maha pengampun. Saya,
selain habis nyanyi biasanya buru-buru sembahyang, dalam setiap
sembahyang juga tidak pernah lupa mohon ampun padaNya. Saya
tidak menggampangkan Tuhan. Tapi bagaimana pun, kesalahan kita
pada Tuhan toh bisa lebih cepat diselesaakan daripada kalau kita
punya salah atau melukai hati orang. Kesalahan kita pada orang
tidak akan diampuni Tuhan kalau kita sendiri belum mendapat
maaf dari orang yang bersangkutan. Kedua, saya sedang
mengumpulkan modal untuk pergi haji. Tekad saya, begitu jadi
haji, lantas menarik diri dari panggung. Seorang haji 'kan tidak
pantas jadi penyanyi".
Perkara ongkos pergi haji bagi Elly dan suaminya, Khadam, tidak
sulit "Tapi yang saya pikirkan, saya baru punya tanah dulu
untuk buka restoran. Jadi sebagai haji nanti betul-betul bisa,
pensiun sebagai artis tanpa kesulitan cari nafkah.
Rumahnya di jalan Dr Makaliwe II Gang I Grogol, Jakarta, lumayan
mentereng. Ukurannya yang 5 x 20 meter tak bisa dibilang kecil
sebab Ellya berumah-tangga cuma bersama suaminya seorang.
Mobilnya Toyota Corona model paling akhir. Dan tak jauh dari
Grogol, di Tomang sudah ada sepetak tanah yang dibelinya
beberapa waktu lalu seharga Rp 4 juta.
Berumah-tangga dengan Khadam sejak 8 tahun lalu, ia tak
menghasilkan anak. Khadam lahir di Medan ketika Hiroshima dibom
Sekutu 31 tahun yang lalu. Jadinya 12 tahun lebih muda dari
isterinya. Ia berdarah campuran Pakistan dan Aceh. Sejak belum
sekolah sudah yatim, Khadam tak sempat meneruskan sekolah
setamat SD tahun 1958. Mukim di Jakarta sejak 1965, sampai
menikah dengan Ellya tahun 1968 ia berdagang bola sepak bikinan
Bukitduri ke Jawa Tengah. Khadam bukan suami pertama. Sebelumnya
ada 3 laki-laki lain yang sudah menikahi Ellya. Dari yang
pertama punya 2 anak laki-laki: Muhammad Dahlan dan Muhamad
Yusuf, dan keduanya kini sudah berumah tangga dengan
masing-masing punya 2 anak pula.
Itulah sebabnya selama ini nama Ellya berubah-ubah. Mula-mula
Ellya Alwi, lantas Ellya Agus, dan sebelum Ellya Khadam tercatat
Ellya M. Harris. Semua embel-embel itu nama suaminya, kecuali
Alwi. Itu nama ayahnya, yang jumlah anaknya 2 orang: Ellya dan
Ellyna. Ellyna tergesa-gesa meninggal 10 tahun lalu. (Alwi, ayah
Ellya dan Ellyna itu, dulu seorang anemer, banyak bikin villa di
Puncak). Nama suami Ellya pertama tidak populer. Sebab Ellya
ketika itu belum jadi biduan. Kebetulan Ellya menikah pada usia
muda belia,14 tahun, dengan suami pilihan orang tua, tapi 2
tahun kemudian berantakan -- lantaran orang tua pula. Dan tentu
saja ia dongkol kalau ada orang menyebutnya sebagai tukang
kawin, sebagaimana pernah ditulis sebuah surat kabar di Jakarta.
"Wartawan itu tak tahu kisah saya yang sebenarnya. Kalau mereka
tahu mungkin tidak akan menulis seenaknya, atau boleh jadi akan
turut menghukum laki-laki yang suka mempermainkan perempuan",
katanya. Tetapi, "kisah yang lewat sudahlah. Saya harus
menghargai perasaan suami saya sekarang, sebab dialah yang
paling berjasa dalam hidup saya", katanya.
'Tanjung Katung'
Waktu di SD, jaman Jepang, Ellya memang dikenal murid yang
pandai nyanyi. Sebulan 2 kali sekolahnya (di daerah Kawi-Kawi,
Jakarta) sering memperagakan berbagai kebolehan murid-murid. Ada
2 murid perempuan menonjol sekali dalam perkara nyanyi. Yang
satu bernama Hamidah -- kini sudah meninggal -- dan satu lagi
Ellya.
Angka rapor Ellya dalam mata pelajaran yang satu ini konon tak
tanggung-tanggung: 9. Meski begitu ketika itu sedikit pun tak
pernah terlintas pada pikirannya untuk jadi biduan. "Saya
sendiri mungkin tak termasuk orang maju atau modern. Apalagi
orangtua saya jauh lebih kolot pikirannya. Sampai kelas 5 SD
saya sudah disuruh berhenti sekolah. Lantas dikawinkan".
Kecuali pandai nyanyi, menurut pengakuannya, ia juga pandai
mengaji. Kedua orang tuanya, Alwi dan Siti Hapsah suami-isteri,
adalah keluarga Betawi yang memang umumnya taat agama. Pagi
dimasukkan SD, sorenya Ellya ke madrasah. Sampai Ellya menjanda
pertama kali pada usia sekitar 17 tahun,sikap keras kedua orang
tua itu masih dirasakannya. Ketika itu mereka tinggal di jalan
Muria, daerah Kawi. Di sebelahnya adalah rumah penyanyi Lasmina,
yang lewat corong RRI lebih populer dengan nama Dian Seruni.
Lasmina suka membawakan lagu-lagu jenis Melayu, yang dulu
disebut irama Deli. Dengan orkesnya, penyanyi itu sering latihan
di rumah, seminggu 2 kali. Ellya sering mendengar.
Tapi lama-lama bahkan Dian sering mengajaknya hadir latihan.
Ellya pun minta izin dari ibunya. "Buat apa begitu-begituan? Itu
'kan ngamen, kerja brengsek!" kata ibunya marah. Tapi
lama-kelamaan hati sang ibu cair juga. Begitulah, mula-mula
nonton, terakhir ikut-ikutan nyanyi. Suara Ellya sih boleh
juga. Ia nyanyi lagu Tanjung Katung
Dian Seruni meminta Ellya nyanyi terus. Tentu saja ia menolak.
Sebab Ellya sendiri yang waktu itu berstatus janda, sebenarnya
menganggap tak cocok. "Mulut orang kan suka ada-ada saja bicara
tentang janda", katanya. Sampai pada suatu hari ketika ada orang
pesta. Bersama banyak wanita lain bekas temannya mengaji waktu
muda, Ellya hadir. Tak jelas awal ceritanya, kawan-kawannya
memintanya menyumbang suara bersama orkes Cahaya Muda pimpinan
Sarbini. Ellya ditarik-tarik, bahkan ada yang mendorong-dorong.
Apa boleh buat, ia pun naik ke panggung. "Lagi-lagi saya nyanyi
Tanjung Katung. Cuma satu lagu dan sekali saja. Dengan satu
lagu itu pun keringat dingin bukan main mengucur".
Habis itu kontan ia pulang. Anehnya, setiap ada pesta dan ia
hadir, orang pun tak ragu-ragu lagi memintanya tarik suara.
Kepalang basah maka ia pun, akhirnya bergabung dengan Cahaya
Muda. Bermula menghibur orang di tempat hajatan dari kampung ke
kampung, kemudian tampil bersama beberapa penyanyi (antara lain
Titiek Puspa dan Aminah Banowati) dalam sebuah pertunjukan di
stadion Ikada (kini lapangan Monas). Kemudian juga di Gedung
Kesenian (kini bioskop City).
Boneka Dari India
Ia nyanyi dengan rupa-rupa band, di panggung maupun di studio
rekaman. Kemudian sejak 6 tahun lalu membentuk grup sendiri: El
Sitara. Pemainnya 7 orangTapi untuk pertunjukan bila tidak ada
grup lain, biasanya ia membawa pemain lebih 10 orang.
Penyanyinya pun tidak cuma dia dan Rudy Anand, melainkan
ditambah beberapa yang lain. Soalnya, "Kalau sendirian, atau
berdua Rudy saja, kita dong yang capek". Pernah berduet dengan
Munif, Muchsin (suami Titiek Sandhora) dan Mansyur S (yang kini
punya OM Rhadesa), pasangan nyanyi Ellya kini memang Rudy Anand,
yang sejak SD katanya sudah mengagumi Boneka Dari India. "Saya
kagum, beberapa kali ingin kirim surat. Tapi baru setahun lalu
surat saya kirim. Saya ingin belajar nyanyi kepadanya", kata
Anand yang sekarang ini sudah berumah-tangga. Sementara itu
Khadam belakangan juga terseret ke dunia musik. Sejak setahun
ini bahkan bikin orkes sendiri, Orkes Melayu Anamika namanya.
Bahkan sudah pula rekaman. Penyanyinya antara lain Titin Satiri,
Eva Yusuf, Munif, Bahasoan dan Ahmad Alatas. Baik El Sitara
maupun Anamika tampaknya tak punya peralatan sendiri. Kalau ada
panggilan biasanya menyewa alat-alat dari Kumbang Cari
Mula-mula seperti halnya Lasmina alias Dian Seruni, Ellya sering
membawakan lagu-lagu Melayu Deli. Belakangan lagu Melayu seperti
sekarang: dangdut. Nah, 'boleh catat sayalah yang
memperkenalkan lagu-lagu Melayu, bahkan orkesnya yang seperti
sekarang. Ketika saya mulai, yang lain belum ada", katanya
bangga. "Nyanyi lagu Barat saya juga bisa. Menurut saya cukup
berhasil, tapi orang lain tak mustahil menilai lain. Mungkin
menganggap saya menyelewengkan lagu Barat menjadi
ke-Melayu-Melayu-an", katanya. ltu dikatakannya sehubungan
dengan kegemaran biduan-biduan pop yang sekarang turut
menyanyikan lagu Melayu. Sebab "warna pop dengan warna Melayu
itu lain. Yang bisa menilai lagu Melayu bagus adalah peminat
lagu Melayu itu sendiri".
Tahun 1957, untuk pertama kali suaranya masuk piringan hitam.
Lagunya Sinar Mesra ciptaan Husin Bawafie, diiringi oleh Orkes
Melayu siar Kemala pimpinan A. Kadir. Rekaman dilakukan di
Surabaya oleh suami almarhumah bintang film Titin Sumarni:
Bustari.
Dihitung-hitung, rekamannya sekarang terbilang ratusan. Menurut
pengakuannya tiap tahun ia menyelesaikan 7 ph a 10 lagu. Tapi
dari sekian banyak, yang dirasanya paling berhasil adalah Boneka
Dari India -- 20 tahun yang lalu. Dengan beredarnya lagu
tersebut, ditambah hasil berbagai pertunjukan, tahun 1962 ia
sempat memiliki sedan Fiat.
Lagu itu ciptaannya sendiri, tapi syairnya ditulis oleh Husin
Bawafie. Hampir semua lagu yang dinyanyikannya memang bukan
karya orang lain. Bikin lagu lantas nyanyi hanya didasarkan
sepenuhnya pada perasaan. Begitu kuat perasaannya, katanya,
hingga ia bisa cepat tahu kalau ada orkes pengiringnya satu
ketika nadanya nyeleweng. Sebulan ia bisa bikin lagu sampai 10
buah, tapi terkadang nihil. Atau paling banter 1 saja. Apa yang
disebut ilham, katanya datang di sembarang waktu. Biasanya
tatkala ia di rumah dan suaminya kebetulan sedang keluar.
Ia punya hobi masak di dapur dan sering merubah-rubah komposisi
pclabotan. Paling lambat 6 bulan sekali, misalnya kursi yang di
kamar tukar tempat dengan yang di beranda. Tak banyak bacaan
yang dibutuhkannya paling banter majalah hiburan. Di saat
itulah rupanya sang ilham kerap datang. Ia berdendang secara
bunyi-bunyian ngawur saja. Kalau ada yang dirasanya enak, nah,
dendang itu diulanginya beberapa kali. Untuk menjelmakannya jadi
sebuah lagu kemudian ia bikin judul.
Yang Cengeng Ada
"Saya bikin lagu ditentukan oleh judul itu. Tak ada lagu ciptaan
saya yang judul lagunya dibuat belakangan. Setelah cocok judul
dan lagu, baru saya bikin syairnya" -- sering dengan minta
bantuan suami atau kawannya. Tugas menyusun not kemudian
diserahkan pada Satiri, pemain El Sitara. "Kecuali saya, semua
anggota grup El Sitara menguasai not balok. Tak kecuali pemain
gendang. Setiap mereka main selalu memakai not" .
Mengapa lagu Melayu mesti ke-India-India-an? Menurut Ellya, yang
sudah muncul sebagai figuran di 20 film Indonesia, tak lain
karena membanjirnya film India itu. Meski begitu tak dengan
sendirinya Ellya diam kalau lagu Melayu disebut kampungan. "Yang
cengeng memang ada. Tapi tak semuanya", ia membela diri. Di lain
fihak ia mengaku termasuk orang yang tidak setuju kalau lagu
Melayu mengobral kata Tuhan dan Nabi, apalagi kalau kedua kata
itu dikaitkan dengan kata cinta atau asmara. Tapi komentarnya:
"Kalau lagu Melayu begitu-begitu saja, satu waktu sudah pasti
akan kehilangan peminat. Saya selalu berusaha mencari yang baru
dan meningkatkan mutu", katanya.
Tahun-tahun pertama main di tempat pesta, honornya paling-paling
Rp 50 ribu. Tarifnya sekarang, plus rombongan orkes komplit:
biasanya Rp 900.000 sekali pertunjukan. Kalau dipanggil untuk 2
malam atau 2 kali pertunjukan, ada potongan sedikit. Tapi
menurut pengakuannya kalau dipanggil untuk pertunjukan amal ada
kalanya ia menyerahkan sebagian honor yang diterimanya kepada
panitia. Sering datang pula orang ke rumahnya minta Ellya
nyanyi. Seorang ibu misalnya, berkata begini: "Neng El,
sebenarnya ibu malu datang ke sini". "Mengapa?" "Aminah, anak
saya, tidak mau kawin kalau neng El tidak datang. Ibu tak punya
uang. Cuma ada sekedarnya saja". Ellya mengerti maksud si ibu.
Berapa kesanggupan ibu, dipenuhi permintaannya. Yang datang
semacam si ibu itu, katanya banyak. Ada yang dari Jakarta. ada
yang dari daerah, katanya. Tapi ada saja pengalaman pahit.
"Yaitu kalau ada panitia penyelenggara yang brengsek", kata
Ellya. "Sekalipun saya tidak pernah menuntutnya. Misalnya
terjadi di Jambi, 4 tahun lalu. Selesai nyanyi jam 11 malam, tak
ada panitya seorang pun. Padahal kita baru dapat persekot saja.
Dulu pun sering terjadi misalnya di Jawa Timur. Tapi", katanya.
"sekarang panitia semacam itu mungkin tak ada"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini