Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Goyang, habis sudah kepalang

Ellya khadam, 43, beranggapan bahwa goyang sebenarnya terlarang, ia penganut agama yang disiplin. menyanyi untuk mengumpulkan modal naik haji. ingin berhenti dari panggung setelah naik haji. (tk)

12 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUBUHNYA montok, seperti kebanyakan bintang film India. Kata orang Jakarta: bahenol. Tinggi sekitar 1.65 cm. Meski usianya sudah 43 tahun (lahir di Jakarta 1933), ukuran badannya tidak mengurangi kepandaiannya berjoget. Di panggung, begitu menggamit pengeras suara, begitu ia goyang. Ellya Khadam, biduanita dangdut yang sudah berkubang di bidangnya 22 tahun lalu, beranggapan bahwa goyang sebenarnya terlarang. "Saya tidak menyebut haram. Bagaimana pun, dunia panggung yang diisi dengan pakaian dan tingkah artis yang bisa merangsang, lebih banyak buruknya daripada baiknya", katanya dua pekan lalu. Ia mengelak bicara lebih banyak perkara "merangsang" atau "buruk dan baik". Yang bisa dicatat, tampaknya ia penganut agama yang sebenarnya ingin tetap disiplin. Menjelang jam-jam pertunjukan, kapan dan di mana pun, kalau datang waktu sembahyang ia selalu berusaha menunaikannya.Ia mencela kalau ada penyanyi yang sebelum beraksi di panggung lebih dulu mengatakan "assalamu'alaikum." "Ucapan assalamu'alaikum itu memang baik. Tapi kalau sesudah itu lantas kita berjoget, itu tidak kena. Lebah-lebih kalau sebelum nyanyi kita juga memperkenalkan diri sebagai muslim. Muslim atau tidak, itu penilaian Tuhan. Kita tidak perlu mengaku-aku begitu di muka orang banyak. Untuk dakwah? Tidak bisa. Tempat dakwah bukan di panggung. Yang tepat di majelis". Itu pendapat Ellya Iho, dan barangkali yang dimaksud adalah biduan Oma Irama (TEMPO, 28 Pebruari 1976). Ellya juga tak bisa menerima kaset mengaji diperjual-belikan. "Itu haram", katanya. Entah mengapa. Pokoknya menurut Ellya, goyang pinggul di panggung itu karena terpaksa. "Menyanyi tanpa goyang sebenarnya bisa saja. Tapi kita 'kan harus maklum penonton beli karcis ingin senang. Apa boleh buat, kita berusaha menyenangkannya. Kalau tidak, masih mending kalau disuruh turun. Kalau dilempar sandal atau batu, kan gawat". "Tuhan Itu Pengampun" Katanya lagi: "menurut Islam, nyanyi tidak haram. Yang terlarang itu embel-embelnya. Soal saya melakukan, selain terpaksa juga karena dua perhitungan. Pertama, Tuhan maha pengampun. Saya, selain habis nyanyi biasanya buru-buru sembahyang, dalam setiap sembahyang juga tidak pernah lupa mohon ampun padaNya. Saya tidak menggampangkan Tuhan. Tapi bagaimana pun, kesalahan kita pada Tuhan toh bisa lebih cepat diselesaakan daripada kalau kita punya salah atau melukai hati orang. Kesalahan kita pada orang tidak akan diampuni Tuhan kalau kita sendiri belum mendapat maaf dari orang yang bersangkutan. Kedua, saya sedang mengumpulkan modal untuk pergi haji. Tekad saya, begitu jadi haji, lantas menarik diri dari panggung. Seorang haji 'kan tidak pantas jadi penyanyi". Perkara ongkos pergi haji bagi Elly dan suaminya, Khadam, tidak sulit "Tapi yang saya pikirkan, saya baru punya tanah dulu untuk buka restoran. Jadi sebagai haji nanti betul-betul bisa, pensiun sebagai artis tanpa kesulitan cari nafkah. Rumahnya di jalan Dr Makaliwe II Gang I Grogol, Jakarta, lumayan mentereng. Ukurannya yang 5 x 20 meter tak bisa dibilang kecil sebab Ellya berumah-tangga cuma bersama suaminya seorang. Mobilnya Toyota Corona model paling akhir. Dan tak jauh dari Grogol, di Tomang sudah ada sepetak tanah yang dibelinya beberapa waktu lalu seharga Rp 4 juta. Berumah-tangga dengan Khadam sejak 8 tahun lalu, ia tak menghasilkan anak. Khadam lahir di Medan ketika Hiroshima dibom Sekutu 31 tahun yang lalu. Jadinya 12 tahun lebih muda dari isterinya. Ia berdarah campuran Pakistan dan Aceh. Sejak belum sekolah sudah yatim, Khadam tak sempat meneruskan sekolah setamat SD tahun 1958. Mukim di Jakarta sejak 1965, sampai menikah dengan Ellya tahun 1968 ia berdagang bola sepak bikinan Bukitduri ke Jawa Tengah. Khadam bukan suami pertama. Sebelumnya ada 3 laki-laki lain yang sudah menikahi Ellya. Dari yang pertama punya 2 anak laki-laki: Muhammad Dahlan dan Muhamad Yusuf, dan keduanya kini sudah berumah tangga dengan masing-masing punya 2 anak pula. Itulah sebabnya selama ini nama Ellya berubah-ubah. Mula-mula Ellya Alwi, lantas Ellya Agus, dan sebelum Ellya Khadam tercatat Ellya M. Harris. Semua embel-embel itu nama suaminya, kecuali Alwi. Itu nama ayahnya, yang jumlah anaknya 2 orang: Ellya dan Ellyna. Ellyna tergesa-gesa meninggal 10 tahun lalu. (Alwi, ayah Ellya dan Ellyna itu, dulu seorang anemer, banyak bikin villa di Puncak). Nama suami Ellya pertama tidak populer. Sebab Ellya ketika itu belum jadi biduan. Kebetulan Ellya menikah pada usia muda belia,14 tahun, dengan suami pilihan orang tua, tapi 2 tahun kemudian berantakan -- lantaran orang tua pula. Dan tentu saja ia dongkol kalau ada orang menyebutnya sebagai tukang kawin, sebagaimana pernah ditulis sebuah surat kabar di Jakarta. "Wartawan itu tak tahu kisah saya yang sebenarnya. Kalau mereka tahu mungkin tidak akan menulis seenaknya, atau boleh jadi akan turut menghukum laki-laki yang suka mempermainkan perempuan", katanya. Tetapi, "kisah yang lewat sudahlah. Saya harus menghargai perasaan suami saya sekarang, sebab dialah yang paling berjasa dalam hidup saya", katanya. 'Tanjung Katung' Waktu di SD, jaman Jepang, Ellya memang dikenal murid yang pandai nyanyi. Sebulan 2 kali sekolahnya (di daerah Kawi-Kawi, Jakarta) sering memperagakan berbagai kebolehan murid-murid. Ada 2 murid perempuan menonjol sekali dalam perkara nyanyi. Yang satu bernama Hamidah -- kini sudah meninggal -- dan satu lagi Ellya. Angka rapor Ellya dalam mata pelajaran yang satu ini konon tak tanggung-tanggung: 9. Meski begitu ketika itu sedikit pun tak pernah terlintas pada pikirannya untuk jadi biduan. "Saya sendiri mungkin tak termasuk orang maju atau modern. Apalagi orangtua saya jauh lebih kolot pikirannya. Sampai kelas 5 SD saya sudah disuruh berhenti sekolah. Lantas dikawinkan". Kecuali pandai nyanyi, menurut pengakuannya, ia juga pandai mengaji. Kedua orang tuanya, Alwi dan Siti Hapsah suami-isteri, adalah keluarga Betawi yang memang umumnya taat agama. Pagi dimasukkan SD, sorenya Ellya ke madrasah. Sampai Ellya menjanda pertama kali pada usia sekitar 17 tahun,sikap keras kedua orang tua itu masih dirasakannya. Ketika itu mereka tinggal di jalan Muria, daerah Kawi. Di sebelahnya adalah rumah penyanyi Lasmina, yang lewat corong RRI lebih populer dengan nama Dian Seruni. Lasmina suka membawakan lagu-lagu jenis Melayu, yang dulu disebut irama Deli. Dengan orkesnya, penyanyi itu sering latihan di rumah, seminggu 2 kali. Ellya sering mendengar. Tapi lama-lama bahkan Dian sering mengajaknya hadir latihan. Ellya pun minta izin dari ibunya. "Buat apa begitu-begituan? Itu 'kan ngamen, kerja brengsek!" kata ibunya marah. Tapi lama-kelamaan hati sang ibu cair juga. Begitulah, mula-mula nonton, terakhir ikut-ikutan nyanyi. Suara Ellya sih boleh juga. Ia nyanyi lagu Tanjung Katung Dian Seruni meminta Ellya nyanyi terus. Tentu saja ia menolak. Sebab Ellya sendiri yang waktu itu berstatus janda, sebenarnya menganggap tak cocok. "Mulut orang kan suka ada-ada saja bicara tentang janda", katanya. Sampai pada suatu hari ketika ada orang pesta. Bersama banyak wanita lain bekas temannya mengaji waktu muda, Ellya hadir. Tak jelas awal ceritanya, kawan-kawannya memintanya menyumbang suara bersama orkes Cahaya Muda pimpinan Sarbini. Ellya ditarik-tarik, bahkan ada yang mendorong-dorong. Apa boleh buat, ia pun naik ke panggung. "Lagi-lagi saya nyanyi Tanjung Katung. Cuma satu lagu dan sekali saja. Dengan satu lagu itu pun keringat dingin bukan main mengucur". Habis itu kontan ia pulang. Anehnya, setiap ada pesta dan ia hadir, orang pun tak ragu-ragu lagi memintanya tarik suara. Kepalang basah maka ia pun, akhirnya bergabung dengan Cahaya Muda. Bermula menghibur orang di tempat hajatan dari kampung ke kampung, kemudian tampil bersama beberapa penyanyi (antara lain Titiek Puspa dan Aminah Banowati) dalam sebuah pertunjukan di stadion Ikada (kini lapangan Monas). Kemudian juga di Gedung Kesenian (kini bioskop City). Boneka Dari India Ia nyanyi dengan rupa-rupa band, di panggung maupun di studio rekaman. Kemudian sejak 6 tahun lalu membentuk grup sendiri: El Sitara. Pemainnya 7 orangTapi untuk pertunjukan bila tidak ada grup lain, biasanya ia membawa pemain lebih 10 orang. Penyanyinya pun tidak cuma dia dan Rudy Anand, melainkan ditambah beberapa yang lain. Soalnya, "Kalau sendirian, atau berdua Rudy saja, kita dong yang capek". Pernah berduet dengan Munif, Muchsin (suami Titiek Sandhora) dan Mansyur S (yang kini punya OM Rhadesa), pasangan nyanyi Ellya kini memang Rudy Anand, yang sejak SD katanya sudah mengagumi Boneka Dari India. "Saya kagum, beberapa kali ingin kirim surat. Tapi baru setahun lalu surat saya kirim. Saya ingin belajar nyanyi kepadanya", kata Anand yang sekarang ini sudah berumah-tangga. Sementara itu Khadam belakangan juga terseret ke dunia musik. Sejak setahun ini bahkan bikin orkes sendiri, Orkes Melayu Anamika namanya. Bahkan sudah pula rekaman. Penyanyinya antara lain Titin Satiri, Eva Yusuf, Munif, Bahasoan dan Ahmad Alatas. Baik El Sitara maupun Anamika tampaknya tak punya peralatan sendiri. Kalau ada panggilan biasanya menyewa alat-alat dari Kumbang Cari Mula-mula seperti halnya Lasmina alias Dian Seruni, Ellya sering membawakan lagu-lagu Melayu Deli. Belakangan lagu Melayu seperti sekarang: dangdut. Nah, 'boleh catat sayalah yang memperkenalkan lagu-lagu Melayu, bahkan orkesnya yang seperti sekarang. Ketika saya mulai, yang lain belum ada", katanya bangga. "Nyanyi lagu Barat saya juga bisa. Menurut saya cukup berhasil, tapi orang lain tak mustahil menilai lain. Mungkin menganggap saya menyelewengkan lagu Barat menjadi ke-Melayu-Melayu-an", katanya. ltu dikatakannya sehubungan dengan kegemaran biduan-biduan pop yang sekarang turut menyanyikan lagu Melayu. Sebab "warna pop dengan warna Melayu itu lain. Yang bisa menilai lagu Melayu bagus adalah peminat lagu Melayu itu sendiri". Tahun 1957, untuk pertama kali suaranya masuk piringan hitam. Lagunya Sinar Mesra ciptaan Husin Bawafie, diiringi oleh Orkes Melayu siar Kemala pimpinan A. Kadir. Rekaman dilakukan di Surabaya oleh suami almarhumah bintang film Titin Sumarni: Bustari. Dihitung-hitung, rekamannya sekarang terbilang ratusan. Menurut pengakuannya tiap tahun ia menyelesaikan 7 ph a 10 lagu. Tapi dari sekian banyak, yang dirasanya paling berhasil adalah Boneka Dari India -- 20 tahun yang lalu. Dengan beredarnya lagu tersebut, ditambah hasil berbagai pertunjukan, tahun 1962 ia sempat memiliki sedan Fiat. Lagu itu ciptaannya sendiri, tapi syairnya ditulis oleh Husin Bawafie. Hampir semua lagu yang dinyanyikannya memang bukan karya orang lain. Bikin lagu lantas nyanyi hanya didasarkan sepenuhnya pada perasaan. Begitu kuat perasaannya, katanya, hingga ia bisa cepat tahu kalau ada orkes pengiringnya satu ketika nadanya nyeleweng. Sebulan ia bisa bikin lagu sampai 10 buah, tapi terkadang nihil. Atau paling banter 1 saja. Apa yang disebut ilham, katanya datang di sembarang waktu. Biasanya tatkala ia di rumah dan suaminya kebetulan sedang keluar. Ia punya hobi masak di dapur dan sering merubah-rubah komposisi pclabotan. Paling lambat 6 bulan sekali, misalnya kursi yang di kamar tukar tempat dengan yang di beranda. Tak banyak bacaan yang dibutuhkannya paling banter majalah hiburan. Di saat itulah rupanya sang ilham kerap datang. Ia berdendang secara bunyi-bunyian ngawur saja. Kalau ada yang dirasanya enak, nah, dendang itu diulanginya beberapa kali. Untuk menjelmakannya jadi sebuah lagu kemudian ia bikin judul. Yang Cengeng Ada "Saya bikin lagu ditentukan oleh judul itu. Tak ada lagu ciptaan saya yang judul lagunya dibuat belakangan. Setelah cocok judul dan lagu, baru saya bikin syairnya" -- sering dengan minta bantuan suami atau kawannya. Tugas menyusun not kemudian diserahkan pada Satiri, pemain El Sitara. "Kecuali saya, semua anggota grup El Sitara menguasai not balok. Tak kecuali pemain gendang. Setiap mereka main selalu memakai not" . Mengapa lagu Melayu mesti ke-India-India-an? Menurut Ellya, yang sudah muncul sebagai figuran di 20 film Indonesia, tak lain karena membanjirnya film India itu. Meski begitu tak dengan sendirinya Ellya diam kalau lagu Melayu disebut kampungan. "Yang cengeng memang ada. Tapi tak semuanya", ia membela diri. Di lain fihak ia mengaku termasuk orang yang tidak setuju kalau lagu Melayu mengobral kata Tuhan dan Nabi, apalagi kalau kedua kata itu dikaitkan dengan kata cinta atau asmara. Tapi komentarnya: "Kalau lagu Melayu begitu-begitu saja, satu waktu sudah pasti akan kehilangan peminat. Saya selalu berusaha mencari yang baru dan meningkatkan mutu", katanya. Tahun-tahun pertama main di tempat pesta, honornya paling-paling Rp 50 ribu. Tarifnya sekarang, plus rombongan orkes komplit: biasanya Rp 900.000 sekali pertunjukan. Kalau dipanggil untuk 2 malam atau 2 kali pertunjukan, ada potongan sedikit. Tapi menurut pengakuannya kalau dipanggil untuk pertunjukan amal ada kalanya ia menyerahkan sebagian honor yang diterimanya kepada panitia. Sering datang pula orang ke rumahnya minta Ellya nyanyi. Seorang ibu misalnya, berkata begini: "Neng El, sebenarnya ibu malu datang ke sini". "Mengapa?" "Aminah, anak saya, tidak mau kawin kalau neng El tidak datang. Ibu tak punya uang. Cuma ada sekedarnya saja". Ellya mengerti maksud si ibu. Berapa kesanggupan ibu, dipenuhi permintaannya. Yang datang semacam si ibu itu, katanya banyak. Ada yang dari Jakarta. ada yang dari daerah, katanya. Tapi ada saja pengalaman pahit. "Yaitu kalau ada panitia penyelenggara yang brengsek", kata Ellya. "Sekalipun saya tidak pernah menuntutnya. Misalnya terjadi di Jambi, 4 tahun lalu. Selesai nyanyi jam 11 malam, tak ada panitya seorang pun. Padahal kita baru dapat persekot saja. Dulu pun sering terjadi misalnya di Jawa Timur. Tapi", katanya. "sekarang panitia semacam itu mungkin tak ada"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus