Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Setelah sukses menarik lebih dari 500 ribu penonton di pekan kedua penayangan Tuhan, Izinkan Aku Berdosa (selanjutnya disebut TIAB), sutradara Hanung Bramantyo, kembali meramaikan bioskop-bioskop Tanah Air dengan karya terbarunya, Ipar Adalah Maut (selanjutnya disebut IAM). Jarak penayangan dua film tersebut bahkan tidak sampai satu bulan, TIAB pada 22 Mei dan IAM pada 13 Juni, tetapi keduanya sukses memikat perhatian penonton Indonesia dengan daya tariknya masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keduanya sama-sama hadir sebagai film religi di tengah gempuran film-film horor yang sedang marak-maraknya. Namun, apa sebetulnya yang membedakan kedua film tersebut sehingga setiap penonton memiliki alasan masing-masing untuk menonton keduanya meskipun dikeluarkan sebagai jenis film yang serupa dan di waktu yang berdekatan? Berikut tiga perbedaan yang bisa ditemukan berdasarkan konten kedua film.
Tujuan Pembuatan Tuhan, Izinkan Aku Berdosa dan Ipar adalah Maut
Film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa merupakan adaptasi novel berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur karya Muhidin M Dahlan. Meski begitu, kisah yang mendasari buku tersebut rupanya diangkat dari kisah nyata seorang Nidah Kirani yang kemudian ditransformasi menjadi sebuah karya sastra. Hal tersebut dilakukan agar nilai dari kisah ini lebih bisa diterima oleh masyarakat yang cenderung lebih sensitif terhadap isu-isu keagamaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selaras dengan fungsinya sebagai karya sastra, tujuan sang sutradara ketika membuat film TIAB adalah sebagai, salah satunya, cermin masyarakat. Film yang akan dianggap kontroversial bahkan problematik oleh sebagian orang ini sebetulnya mengandung kritik sosial terhadap oknum-oknum yang menggunakan agama sebagai perisai untuk melindungi mereka ketika berbuat jahat ke sesama manusia. Transformasi perjalanan spiritual tokoh Kiran (Aghniny Haque) setelah melalui berbagai cobaan dihadirkan sebagai peringatan keras yang sebetulnya bertujuan untuk melembutkan hati dan meluaskan pikiran penonton.
Tidak berbeda dengan TIAB, film Ipar adalah Maut juga diangkat dari kisah nyata yang pedihnya dirasakan oleh Nisa (Michelle Ziudith) ketika suaminya, Aris (Deva Mahendra), berselingkuh dengan adiknya sendiri, Rani (Davina Karamoy). Kisah tersebut menjadi viral setelah influencer Eliza Sifaa membagikannya ke laman Instagramnya. Diketahui bahwa itu merupakan pengalaman yang dialami sendiri oleh salah satu pengikutnya.
Meskipun sama-sama diadaptasi dari kisah nyata, film IAM lebih berfokus untuk mengangkat permasalahan internal yang meretakkan hubungan sebuah keluarga. Premis dan cerita dari film ini tidak dibebani dengan tanggung jawab menjadi alarm sosial yang dibawa ketika naik ke layar lebar dan disaksikan oleh masyarakat luas. Sehingga, sisi religi dalam film IAM murni dihadirkan sebagai pelengkap cerita saja, seperti titel ‘soleh’ yang melekat pada tokoh Aris yang di dalam film malah berselingkuh, sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama.
Selanjutnya, Isu Agama pada Kedua Film >>>
Isu Agama pada Kedua Film
Poster film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa. Foto: Instagram Hanung Bramantyo.
Poin yang cukup jelas dan bisa ditangkap bahkan tanpa memerlukan analisis yang lebih mendalam. Pembawaan isu agama di dalam film IAM bisa dikatakan tidak seterang-terangan film TIAB. Tokoh Kiran, seorang (mantan) santriwati yang mempertanyakan keyakinan serta agama yang ia anut dari premis film TIAB sudah cukup memperjelas garis pembeda. Dibandingkan dengan yang ada pada TIAB, framing “agamis” yang ditampilkan di dalam IAM tidak selantang dan seterang-terangan itu menyenggol oknum-oknum.
Menariknya, Hanung Bramantyo berhasil mengangkat dua isu yang sama-sama dekat dengan masyarakat kita. Sehingga, meskipun berbeda, tidak ada dari keduanya yang berujung kehilangan jati diri ketika sudah menjadi konsumsi publik.
Output Berdasarkan Konten Kedua Film
Poin ketiga yang membedakan dua film tersebut adalah output atau hasil, salah satunya, reaksi dari para penonton film. Meskipun keduanya sama-sama mampu menguras emosi penonton, tetapi didasari alasan yang berbeda.
Sebagaimana yang sudah disebutkan dalam poin kedua, tema utama dari film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa adalah mengenai keyakinan dipertanyakan dan agama ditentang, sehingga film ini berpotensi menghadirkan respons lebih ekstrem karena tingkat sensitivitas yang dihasilkan juga tinggi. Bahkan, di awal film dan trailer Hanung sudah memberikan peringatan yang berbunyi, “Peringatan keras: film ini berisikan konten sensitif yang akan membuat penonton merasa tersinggung dan terganggu.”
Pemotongan beberapa adegan dari draf asli hingga berakhir memiliki rating 17+ atau boleh ditonton oleh masyarakat dari usia 17 tahun ke atas juga menjadi salah satu tanda bahwa Hanung sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisir dampak berlebihan yang dapat ditimbulkan TIAB. Berbeda dengan Ipar adalah Maut yang tampaknya seperti berusaha sebisa mungkin memeras emosi penonton. Beruntungnya, Hanung berhasil melakukan hal tersebut dengan mulus melalui penempatan adegan yang rapi dan pengaturan laju cerita yang apik, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.
Poin ketiga dalam tulisan ini bukan penutup dari kemungkinan-kemungkinan yang dilahirkan kedua film karya Hanung yang layak untuk didiskusikan tersebut. Melalui dua film tersebut, Hanung kembali dan sama sekali tidak mengecewakan para penggemar film-film religi garapannya. Film Ipar Adalah Maut sudah bisa disaksikan di sinema-sinema terdekat mulai Kamis, 13 Juni 2024.
Pilihan Editor: Film Hanung Bramantyo yang Tayang Juni 2024