Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Hanya dalam 15 Menit

14 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBANYAK 43 film pendek diterima panitia Tawuran! Festival Film Pendek Pelajar 2009 dari Jakarta dan kota-kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Kalimantan. Dan 13 di antaranya lolos dalam seleksi untuk dirapatkan dewan juri. Tiga film terpilih layak mendapat penghargaan. Sekitar Midnight mendapat dua penghargaan sekaligus, yakni Peraih Fiksi Film Pendek Terbaik dan pemenang penghargaan Konfiden 2009. Yang terakhir disebut merupakan hasil pengumpulan suara dari tiket yang masuk.

SEKITAR MIDNIGHT
Sutradara: Felixitas C.W.A.
Produksi: Teater Brankas
Asal Sekolah: SMA Negeri 2 Purbalingga

SUIT bisa jadi persoalan sampai di alam kubur. Film berdurasi sekitar 15 menit ini mengangkat tema horor sekaligus jenaka di suatu kampung di Purbalingga, Jawa Tengah. Adalah dua remaja, Robi dan Subeno, yang bersahabat. Ketika sedang asyik bermain catur, melintaslah gadis desa yang membuang tisu bekas penyeka keringat di wajah cantiknya berjarak satu meter dari hadapan mereka.

Setelah perempuan berambut panjang itu pergi, mereka lompat berebut tisu itu. Tidak ada yang mau mengalah; mereka malahan saling mengejek. Lalu dilakukanlah suit. Tapi, belum sampai dapat pemenangnya, Subeno sudah keburu diteriaki ibunya untuk membeli minyak tanah. Ia pun lari mengambil jeriken minyak.

Ternyata itu adalah pertemuan terakhir mereka. Lewat kenangan foto-foto, Robi selalu terbayang masa-masa indah bercanda bersama sahabatnya. Sampai di suatu siang ia dikagetkan oleh jasad Subeno yang terbaring di sampingnya di tempat tidur. Lalu di sudut lemari. Ia histeris! ”Maksude kamu opo?” tanya Robi gemetar kepada hantu Subeno. ”Ke…ling…king...,” katanya membalas terpatah-patah.

FACEBOOKED
(Peraih Penghargaan Khusus dari Dewan Juri Kategori Fiksi)
Sutradara: Selvia Alvirra, Siti Nurul Anizza, Deden Rhamadani
Produksi: Invite
Asal Sekolah: SMA Negeri 34 Jakarta

TEMA yang diangkat film pendek ini adalah fenomena kehidupan masa kini. Remaja tertarik berkomunikasi lewat Facebook—situs jejaring sosial—yang juga digemari sebagian besar orang dewasa di Indonesia. Maka, gambar yang ditampilkan selama 15 menit adalah layar komputer, dari membuka situs Facebook, log in, sampai akhirnya log out.

Berawal dari sebuah note berjudul Caleg—calon tukang coleg—Rezky Fairuz menemui masalah dengan guru mata pelajaran kewarganegaraan, Sarjono SPd. Ia dihukum mencolek pantat teman pria satu kelas, sambil jongkok. Persoalan ini direkam dan dipublikasikan teman sekelasnya lewat Facebook. Tak ayal, Rezky malu bukan kepalang.

Lewat chatting sesama teman sekelas dalam jaringannya, ia memaki-maki Sarjono dengan kata-kata ”anjing”. Lalu mengisi kolom What’s in Your Mind dengan ”kejahatan ini harus dibalas”. Emosinya memuncak. Teman-temannya sempat mendukung aksinya. Tapi kemudian berbalik karena melihat status gurunya adalah calon legislatif dengan tag line untuk memperjuangkan kewarganegaraan yang baik.

INDONESIA BUKAN NEGARA ISLAM
(Peraih Penghargaan Film Dokumenter Terbaik)
Sutradara: Jason Iskandar
Produksi: Gambar Darurat
Asal Sekolah: SMA Kolese Kanisius Jakarta

RATUSAN foto hitam-putih disusun dalam sebuah film pendek. Di antara foto itu adalah puluhan foto ketika Front Pembela Islam menyerbu massa Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama di Monas pada 1 Juni 2008. Detail dan mendalam, apalagi disertai dengan komentar dari dua remaja bernama Bambang dan Galih, pelajar SMA Kolese Kanisius Jakarta.

Mereka berpendapat bahwa peristiwa itu tidak selayaknya terjadi. ”Karena Indonesia bukan negara Islam. Kebinekaan itu indah, untuk saling menghargai, jangan perbedaan itu dijadikan permusuhan.” Potret kubah masjid, pura, dan patung kepala Sidharta Gautama ditampilkan untuk meyakinkan pernyataan itu. Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah dan Gedung Gerakan Pemuda Islam yang bersebelahan dengan kampusnya pun ikut menjadi bagian film.

Suasana kehidupan sekolah tempat Bambang dan Galih dipotret. Mereka wudu lalu salat di salah satu ruangan yang di dalamnya terdapat patung salib dan Bunda Maria. Bersosialisasi dengan teman dan guru yang beragama lain dengan akrab tanpa menyinggung, paling tidak hanya ejek-ejekan ringan anak sekolahan. Serta foto-foto misa Natal di aula kampusnya dengan iringan lagu Gloria in Excelsis Deo.

PENJARA SEKOLAH KAMI
Abuy (Tasikmalaya, 2009)
Karya: Yanyan, Rina, Nunu, Husni, Jeni, Ivan, Panji, Maya

ABUY baru bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Anak Tasikmalaya. Keluar dari penjara, ia dihadapkan pada kenyataan: keluarga tak mau menerimanya. ”Maafkan kami,” kata ibunya lewat sepucuk surat, ”lebih baik kamu tidak usah pulang saja.”

Abuy menggelandang di berbagai sudut kota. Termasuk ke bantaran rel. Ditolak di mana-mana, remaja itu mengetuk pintu rumah seorang sahabat. Syukurlah, sang teman tak menampik. Abuy boleh tinggal sementara bersamanya.

Dibuat oleh sejumlah remaja ”alumnus” Lembaga Pemasyarakatan Anak Tasikmalaya, film ini menampilkan realitas sulitnya kehidupan mereka setelah bebas. Padahal jumlah mereka tak sedikit. Data 2007 mencatat 2.210 anak ”lulusan” Lembaga. Mayoritas tak diterima kembali oleh masyarakatnya. Penonton pun dihadapkan pada pertanyaan: apa yang akan Anda lakukan jika Abuy mengetuk pintu rumah Anda hari ini?

KAMI BUKAN BANCI
Paka Ko Jale (Wakatobi, 2009)
Karya: Wahid, Dita, Uskal, Buke, Linda, Premol, Mini, Fikar

BANDA adalah kesenian tradisional Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Semestinya tarian itu dimainkan oleh laki-laki. Namun, sangat jarang remaja pria yang mau terlibat karena takut dianggap kewanita-wanitaan. Ketika ada segelintir lelaki yang ikut menari, mereka harus tabah karena diledek sebagai banci.

Meski banyak yang ciut, ada sedikit anak muda yang bertahan menjadi penari Banda. Mereka menyuarakan semangat ”Paka Ko Jale” (Kami Bukan Banci). Nyatanya, berlenggak-lenggok di panggung tak membuat mereka kurang jantan. Salah satu gadis idola di desa itu malah jatuh cinta kepada si penari. Para pria yang kerap mengolok-olok penari itu cuma bisa gigit jari.

PERSAHABATAN MENGHAPUS PRASANGKA
Persahabatan (Jambi, 2009)
Karya: Berayat, Bekinya, Dwi, Puji

BERAYAT berbeda dengan remaja seusianya. Sehari-hari, ia nyaris telanjang—hanya mengenakan selembar cawat. Ia selalu menyelipkan parang di pinggang dan menggotong bakul rotan di punggung. Dia salah satu warga Suku Rimba yang tinggal di Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi.

Penampilannya sepintas memang menakutkan. Warga desa transmigrasi yang berbatasan dengan hutan gemetar melihatnya. Begitu juga Dwi. Gadis berjilbab itu terbirit-birit saat berpapasan dengan Berayat. Bukunya sampai terjatuh. Saat Berayat bermaksud mengembalikan buku itu, Dwi malah makin kencang berlari. Belakangan ia sadar: temannya itu bermaksud baik.

Buku itu merekatkan mereka. Segala prasangka yang meliputi mereka pun perlahan sirna. Selama ini, orang desa selalu menganggap orang rimba bodoh. Sebaliknya, orang rimba menuduh orang desa sebagai sumber penyakit. Mereka pun saling menjaga jarak. Nyatanya, lewat hal kecil, anak desa dan anak rimba bisa bersahabat.

JANGAN SAMPAI MENCEBUR LAGI
Salah Buang (Jakarta 2009)
Karya: Nopi, Preti, Susan, Efri, Intan, Vinty, Rio, Kurnia

PARA remaja di pinggiran Sungai Ciliwung punya cara sendiri melawan banjir. Mereka sadar sampah yang menumpuk adalah musuh besar mereka. Maka mereka pun membangun Rumah Kompos untuk mengelola sampah.

Sayang, tak semua orang mau berpartisipasi. Seorang ibu di perumahan malah seenaknya membuang seplastik penuh sampah ke kali. Seorang remaja tak mau dibilang tak peduli.

Film ini mengisahkan seorang remaja pria yang berlari mengikuti aliran air membawa plastik itu. Ia menerobos gang, melewati jemuran orang, hingga terjun ke sungai untuk mengambil sampah dan membuangnya ke tempat yang benar. ”Jangan sampe gue nyebur lagi deh tiap tahun,” katanya.

Martha W. Silaban, Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus