Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Hikayat Bumi Aceh

A.D. Pirous merangkai persoalan konflik, kekerasan, kisah kepahlawanan, kedahsyatan tsunami, hingga keindahan alam Aceh.

13 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria itu berdiri tegak sambil mengangkat senjata tajam semacam pedang atau parang panjang. Ujungnya merah. Cipratan warna itu juga mengenai sorban yang melilit kopiah tinggi dalam posisi miring. Kita mengenal sosok berwajah persegi itu dengan baju hitamnya di buku pelajaran sekolah. Dialah Teuku Umar, tokoh Aceh yang menghidupkan Perang Sabil. Ia hanya seorang di antara warga Aceh dan tokoh lain yang mengobarkan perang jihad di Tanah Rencong. Musuhnya para kaphe pasukan Belanda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok potret pahlawan nasional itu dikitari jalinan huruf Arab. Tulisan yang besar berwarna merah, sedangkan aksara kecilnya bertinta hitam. Sapuan warna cokelat muda mengesankan sejarah atau darah yang tertinggal dan mengering. Pelukis gaek Abdul Djalil (A.D.) Pirous membuatnya dengan judul Suatu Waktu Ada Perang Sabil di Aceh (Penghargaan kepada Pahlawan Teuku Oemar 1854-1899). Berukuran 145 x 150 sentimeter, karya buatan 1998 itu merupakan bagian dari seri tentang Perang Sabil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada lukisan lain dalam seri itu, Pirous melukis replika kitab hikayat Perang Sabil. Cerita dalam bentuk sastra khas Aceh bertulisan huruf Arab itu berisi semangat juang hidup merdeka. Kondisinya, walau halamannya terbuka, kitab itu diberangus tali dan cap segel merah. Pada karya lain, Pirous melukis wajah-wajah dan tubuh yang terkubur tanpa nama pada kurun 2000-2001.

Di rumahnya di Jalan Bukit Pakar Timur II Nomor 111, Bandung, Pirous menggelar pameran bertajuk "Rundung Bumi Aceh". Galeri yang dinamakan Serambi Pirous ini memakai bagian bawah rumahnya yang jembar. Sebagian ruangan semula merupakan studio lukis yang berhalaman rumput.

Dalam pameran yang dibuka pada bulan puasa Mei lalu dan berlangsung hingga Agustus mendatang, itu Pirous menampilkan 49 karya dan lima lukisan istrinya, Erna Ganarsih Pirous. Berlatar belakang tentang Aceh, kekaryaan dalam pameran ini merangkai beberapa tema, seperti konflik politik dan kekerasan, kisah kepahlawanan, keindahan alam, hingga kedahsyatan terjangan tsunami Aceh. Pirous juga merekam beberapa kejadian penting dalam hikayat Aceh modern.

Pirous hanya memasang beberapa karya lukisan kaligrafi yang menjadi ciri khasnya dan masih berkaitan dengan tema Aceh. Menyusuri lukisannya satu per satu, kita bisa merasakan aroma sejarah yang berpendar. Sejarah itu menggetarkan bumi Aceh hingga menjadi duka internasional ketika tsunami menggulung Serambi Mekah pada 26 Desember 2004. Perang dan bencana alam membuat Aceh merundung.

Namun masih ada suasana elok dari kekayaan alamnya, seperti pemandangan Pantai Meulaboh yang dilukis Pirous atau karya Erna dengan langgam abstrak lewat seri berjudul Wajah Alam. Sebuah seri lukisan menempelkan pecahan tembikar pada kanvas dan cat, mengenang kejayaan Aceh sebagai pusat perdagangan antarnegara pada masa lampau. Artefak seperti itu kini masih digali dan diteliti tim sejarawan.

Pada tulisan pengantar pameran yang terpampang di panel sekat, disebutkan kekaryaan lukisan Pirous tentang Aceh merupakan aneka catatannya selama setengah abad. Bercampur kagum, haru, dan rindu, seniman kelahiran Meulaboh, Aceh, 11 Maret 1932, itu juga menumpahkan luka dan ketidakberdayaan seperti yang dirasakannya dalam peristiwa tsunami, juga kekerasan politik di Aceh.

Terlahir sebagai anak kelima dari tujuh bersaudara, nama Pirous berasal dari tambahan nama ayahnya, Mouna Noor Muhammad, yang tinggi besar dan berkulit putih. Ketika lahir, di lengan kiri ayahnya ada tanda lahir berwarna biru seperti batu pirus.

Ayahnya yang berdarah Aceh dan Gujarat, India, berasal dari Barus, Aceh. Sang ayah menjadi pengusaha karet setelah toko aneka barangnya bangkrut akibat Perang Dunia I. Ayah Pirous wafat pada 1946. "Beliau berpesan agar saya pergi ke timur, energi kehidupan ada di situ," ujar Pirous, Rabu, 29 Mei lalu.

Sampai berusia 18 tahun, Pirous tinggal di Aceh dan bersekolah sampai setaraf SMP. Setelah ikut perang melawan Agresi Belanda 1948, Pirous menamatkan SMP dan SMA di Medan. Ia lantas memilih kampus seni di ITB dan kuliah pada 1955 hingga tamat pada 1964. Sejak ke Bandung, ia terpisah dengan Aceh. "Jalinan komunikasi dengan seniman masih saya lakukan."

Kerabatnya di kampung kelahiran tinggal segelintir, puluhan lainnya menjadi korban tsunami. Perpisahan dengan kampung halaman menjadi energi besarnya untuk berkarya, termasuk melukis puluhan karya kaligrafi yang mencuatkan namanya. Di tanah rantau, Pirous terus hidup bersama bumi tempatnya lahir hingga besar. ANWAR SISWADI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus