Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Hitam-Putih Pengembaraan Oscar Motuloh

Sebuah buku-foto (dan pameran foto) yang menyajikan pemandangan yang cenderung centang-perenang tanpa manusia, mengajak kita masuk ke dalam misteri kehidupan.

5 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOULSCAPE ROAD OSCAR MOTULOH
Teks Inggris dan Indonesia: Oscar Motuloh, Bambang Sugiharto
Penerbit: Red & White Publishing, 2009
Halaman: 156

OSCAR Motuloh adalah pemilih. Ia menyebut karya-karya fotonya yang ia kumpulkan dalam buku-foto ini jurnalisme visual. Ia tak melaporkan peristiwa dengan kata, memang, melainkan foto. Dan ”melaporkan” di sini lebih dari sekadar menyajikan sesuatu yang ia lihat apa adanya. Oscar memilih, dan ini dimungkinkan karena obyek yang hendak direkamnya tak ”bergerak”: pemandangan sehabis bencana.

Dan memilih mempunyai konotasi yang luas. Antara lain menunggu saat yang tepat. Misalnya dalam salah satu foto akibat tsunami di Aceh, 26 Desember 2004. Di suatu pantai, Oscar merekam pohon-pohon nyiur yang tinggal semeter. Ia tak hanya memilih sudut pandang, tapi juga momen: ketika di angkasa sebuah helikopter sedang melayang. Atau, masih tentang bencana tsunami, foto sebuah gerobak besi dorong pengangkut batu atau yang lain yang teronggok di pinggir jalan, dan nun jauh di ujung jalan sebuah masjid yang putih. Tapi bukan hanya itu, di antara gerobak dan masjid ada seekor anjing. Saya menduga kamera diklik ketika anjing itu berada pada posisi tertentu.

Tapi adakah itu rekaman tentang bencana? Dari membuka-buka buku yang menampilkan 81 karya foto ini, kesimpulannya memang begitu. Apalagi dalam ”indeks” foto hanya ada penjelasan: epicenter, flood, dan Lapindo mudflow—pusat gempa, banjir, dan luapan lumpur Lapindo. Gempa dan banjir sudah jelas itu bencana yang memporakporandakan segalanya. Juga luapan lumpur Lapindo yang menenggelamkan sejumlah kampung di Sidoarjo, Jawa Timur.

Tapi pengetahuan kita tentang bencana itu tak lalu mendikte kita dalam berdialog dengan foto-foto Oscar. Soalnya, foto-foto itu tak dikaitkan dengan sebuah media berita, tapi disusun dalam sebuah buku (dan pameran, di Galeri Salihara, dibuka Jumat pekan lalu). Foto-foto itu, seperti ditulis oleh Bambang Sugiharto dalam buku ini, ”serta-merta tampil sebagai karya-karya seni mandiri”.

Bencana hanyalah salah satu yang mungkin muncul ketika kita berdialog dengan foto-foto itu. Sebab, pada akhirnya dalam buku ini ”jurnalisme visual” itu hanyalah petunjuk bahwa karya foto ini bukan karya fiksi, melainkan rekaman kenyataan. Dan rekaman kenyataan itu dibuat dan disajikan sedemikian rupa hingga terbuka kemungkinan bahwa foto-foto ini memberikan imaji-imaji bebas. Menurut Bambang Sugiharto, foto-foto Oscar dalam buku ini adalah ”puitisasi, pathetisasi, dan kadang sublimasi, benda-benda dan peristiwa”.

Di zaman ketika karya seni visual tak lagi dipersoalkan medianya (teoretis apa pun boleh), kamera menjadi salah satu peranti yang bisa menghasilkan karya seni rupa. Kamera menjadi media perekam yang di tangan seorang fotografer andal bisa merekam apa saja dengan sudut pandang dari mana saja. Dari buku ini tampak bahwa pilihan sudut pandang Oscar lebih muncul dari dalam, dari diri, bukan dari luar, dari obyek. Ia tak hanya melihat mobil penyok sebagai mobil, pohon kering sebagai pohon. Ada semacam persenyawaan antara obyek yang dilihatnya dan apa yang ada dalam dirinya, dan hasilnya adalah karya-karya foto itu.

Seorang pelukis mengekspresikan emosinya dengan menggoreskan atau menyapukan kuasnya pada kanvas. Ia bisa memilih sapuan itu melintang atau membujur, tebal atau tipis. Oscar dengan kameranya pun memilih, menjepret hanya jemuran atau beserta barang-barang dapur di sampingnya. Ia bisa menyertakan kepala patung yang teronggok jatuh, atau hanya merekam kasur tua yang tergulung di antara kayu-kayu yang silang-menyilang berantakan. Ia memilih memasukkan sebagian iklan baliho yang tergenang air, dan bukan hanya lampu lalu lintas yang tiangnya lenyap ditelan banjir.

Pilihan itulah saya kira yang menentukan bobot karyanya. Dan pilihan itu, seperti sudah dikatakan, tak terutama digerakkan oleh obyek di luar, tapi oleh yang ada dalam dirinya. Dengan caranya, ia menunjukkan kepada kita bahwa hamparan lahan kosong yang luas, hanya ada beberapa pohon tegak, dan seekor anjing berjalan sepi bukanlah pemandangan biasa. Ini adalah soulscape, seperti judul buku-foto ini: panorama dunia dalam.

Memilih—sudut pandang dan momen setidaknya—menjadi dominan dalam proses kreatif Oscar. Soalnya, terasa dari 81 karya foto dalam buku ini, Oscar menyajikan foto-foto sebagaimana ia tangkap lewat kameranya. Ia tak mengatur obyek. Ia membiarkan obyek apa adanya. Ia hanya punya dua pilihan: memotret panorama itu karena ia menemukan sesuatu di situ, atau ia lewatkan saja pemandangan itu karena ia tak menemukan soulscape itu.

Satu hal yang menjadi ciri karya-karya foto dalam buku ini: absennya manusia dan makhluk hidup. Kalau ada seekor anjing atau beberapa orang, terasa itu sama ”nilainya” dengan yang lain-lain: pohon, kayu, genting, panci, kasur, tembok, dan sebagainya. Justru karena itu panorama yang tersaji mencekam. Justru karena itu kita ”mendengar” suara-suara dari panorama tanpa manusia itu. Di sini makhluk itu ada tapi tiada, tiada tapi ada.

Panorama itu membawa kita ke masa sebelumnya: obyek-obyek itu, apa pun, mengingatkan kita bahwa di situ suatu kegiatan manusia pernah berlangsung. Tidakkah soulscape juga bisa berarti panorama arwah? Tapi ini bukan sebuah kesimpulan dari sejumlah data dan fakta, karena kesimpulan cenderung selesai. Ini adalah sebuah kisah yang muncul secara imajinatif lewat kenyataan yang terekam. Dan kisah ini berbeda dari detik ke detik. Ada yang tak terjelaskan dari sebuah karya seni. Atau karya seni menolak untuk dirumuskan dalam batasan-batasan.

Maka Oscar boleh saja menulis bahwa karya-karyanya adalah ”sebentuk komposisi yang mengungkapkan betapa berartinya apresiasi terhadap kehidupan”. Dan Bambang Sugiharto menulis, seperti sudah dikutip, bahwa karya Oscar merupakan ”puitisasi, pathetisasi, atau sublimasi” dari benda-benda dan peristiwa. Anda sangat mungkin menemukan yang lain di hadapan karya-karya ini.

Apa pun itu, karya Oscar tak hanya menyajikan kenyataan. Ia merekam hanya dengan hitam-putih, dan dengan demikian ia menyingkirkan perbedaan yang muncul dari daun yang hijau dan kayu yang cokelat, umpamanya. Ia menyajikan sebuah panorama yang di samping beragamnya bentuk adalah kesamaan dalam hitam-putih. Ia ”menyederhanakan” komposisi untuk lebih menyampaikan sesuatu yang tak tampak. Ia menafikan materi, untuk sampai pada sesuatu yang lebih dari itu. Bila karya seni seolah mengguncangkan kita dari hidup keseharian untuk ”menyegarkan” kembali hidup yang rutin, pada hemat saya karya-karya Oscar Motuloh memberikan itu. Soulscape yang hitam-putih itu menawarkan sebuah pengembaraan imajinatif ke dalam hidup, ke dalam diri.

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus