Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Cinta dan Amor

5 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saidi A. Xinnalecky*
*) Wartawan

Vamos, acorda meu amor, que é curta a hora! ...
Relembra, oh desvairado amor,
cantigas e cantares que te disse
lá bem distante ao nosso abraço débil
o quanto te queria e com que ímpeto?
Portanto acorda, amor, que vai raiando a aurora!
Desperta, meu amor, que é curta a hora!

(Gegaslah, tegaskan sayangku, kini saatnya! ...
Lihatlah, kekasih yang jauh,
Para penyanyi dan nyanyiannya selalu tentang itu
Sebaiknya jarak dan kerenggangan dienyahkan
Bilakah keinginan dan kebersamaan seiring?
Pastikan, sayang, untuk bersama wujudkan impian!
Tegaskan, sayangku, kini saatnya!)

Celina Bittencourt

Portugal adalah tanah penyair. Demikianlah pengakuan dalam buku-buku sastra Portugis. Negeri kecil dengan penduduk 10 juta itu, dalam dunia kepenyairan, melebihi luas sesama negeri Semenanjung Iberia, Spanyol. Alfonso X (1221-1284), Raja Castilia dan Leon, membuat sejarah panjang tentang produk dan risalah hukum dalam bahasa Spanyol, tetapi menulis puisi tidak bisa tidak menggunakan bahasa Portugis.

Bila kata amor ditebar dengan sastra Portugis, Pulau Timor pun akan bersemi. Terakhir, saat perayaan hari referendum Timor Leste, 30 Agustus lalu, adalah penyanyi Krisdayanti yang membuat media menyebut-nyebut kata amor, meski sebelumnya media di Indonesia tentu saja sudah mengenal kata amor dari ratusan, bahkan ribuan, karya sastra dan judul Amor atau yang menggunakan kata amor. Dalam bahasa Indonesia, bisa diartikan: cinta, kasih, sayang.

Amor memang selalu menjadi tema sentral korpus sastra Portugis sejak para penulis dan penyair klasiknya hingga kini. Penulis, penyair, dan pelukis renta Brasil, Celina Bittencourt, 81 tahun, adalah salah satu penerus keasyikan sastra Portugis, bila mengurai cinta. Penggalan bait terakhir dari puisinya, ”Acorda, Meu Amor” (Tegaskan, Sayangku), tadi meneruskan puisi-puisi cinta sejak Luís Vaz de Camões (1524-1580) dan—seteru sejarahnya—Fernando Pessoa (1888-1935), sampai penyair kontemporer Alexandre Manuel O’Neill (1924-1986) dan Nuno Júdice, yang cemerlang pada 1972.

Kendati novel atau karya sastra lainnya dan kepingan rekaman lagu-lagu dari penyanyi legendaris Portugal, Reberto Carlos (1960-an), sampai kelompok pemusik Flor-de-lis, Semi-Final (1) Eurovision Song Contest 2009 (Song title: Todas As Ruas Do Amor), tentang Amor dan/atau Meu Amor, tak banyak—bahkan tidak beredar—di Indonesia, tetapi KD telah membuatnya menjadi nomenklatur cinta yang kian ramai digunakan khalayak. Kebetulan pula, penyanyi muda Ridho Rhoma Irama merilis sebuah lagu berjudul Dewa Amor.

Persoalannya muncul ketika amor menjadi populer atas pilihan makna yang dialami oleh orang-orang yang menggunakan kata itu untuk mengekspresikan cinta mereka. Dalam perspektif tertentu, memang maknanya bisa dipahami secara umum (common sense), seperti penggunaan kata cinta dan sayang dalam bahasa Indonesia. Tetapi, dalam maknanya yang genuine, baik denotatif maupun konotatif, dalam bahasa Portugis ataupun Latin, terasa ada nuansa yang tegas memilah maknanya. Dengan kata lain, kata amor telah mengalami salah kaprah saat digunakan dalam bahasa Indonesia.

Denotasi amor adalah ”cinta”, ”sayang”, atau ”kasih”. Secara konotatif biasa digunakan bahasa Portugis kepada seseorang yang telah tertaut hati dengan lawan jenisnya dengan jalan setia, tanpa perselingkuhan ataupun pengkhianatan. ”Minha namorado” (kira-kira bermakna: pacarku) akan terasa lebih pas, jika bermaksud menunjukkan seorang kekasih dalam masa pacaran. Setelah tahapan pacaran, baru ada ungkapan ”meu amor”. Pada tahap ini, dua insan tersebut telah serius menyatukan cinta untuk menikah atau berumah tangga, seperti dilukiskan oleh Celina Bittencourt tadi. Mereka berdua selanjutnya akan disebut sebagai noevo e noeva (calon pengantin laki dan perempuan).

Seorang istri yang sah akan berkata bahwa dia yang seharusnya berkata ”meu amor” kepada suaminya, bukan perempuan lain, meski—perempuan lain itu—sedang dilanda asmara terhadap suaminya. Perkara ini tidak menyangkut hubungan cinta, an sich. Tetapi juga soal religio-kultural.

Penyair Portugis, Alexandre Manuel O’Neill (1924-1986), dengan tepat melukiskan mereka yang jatuh cinta kepada anggota casamento lain itu dengan:

ada kata-kata yang mencium kita
seolah memiliki mulut
kata-kata cinta, harapan, cinta yang dalam, harapan yang gila
kata-kata telanjang yang kau cium
saat malam kehilangan wajahnya;
kata-kata yang saling menolak
pada dinding-dinding kesedihanmu

Dalam bahasa Portugis, tidak pada tempatnya ungkapan ”meu amor” keluar dari seseorang yang berstatus di luar sebuah casamento (rumah tangga). Kecuali, antara suami-istri dalam casamento itu. Ini pun setelah melalui prosesi pernikahan religius dalam gereja yang ditetapkan oleh pastor melalui serangkaian ritual.

Vamos, acorda meu amor, que é curta a hora! Tak hanya sebuah puisi, tetapi dalam realisme harus memenuhi makna konotatifnya. Ungkapan yang indah, memang, tak harus dibiarkan maknanya menjelajah, tetapi harus dibatasi sehingga ia bisa menunjuk sesuatu yang jelas dalam ruang dan waktu. Inilah sebuah pengetatan makna, yang seharusnya ditiru oleh sastra Indonesia. Bukankah khazanah sastra Melayu (Indonesia) sangat dipengaruhi oleh sastra Portugis?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus