SASTRA DAN RELIGIOSITAS.
Oleh: Y.B. Mangunwijaya.
Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta, 1982, 155 halaman.
Buku ini segera mengingatkan kita pada esei almarhum Prof.
Driyarkarya S.J.: "Kesenian Dan Religi" - terbit sekitar tahun
1960-1970-an. Ada titik tolak dan semangat yang sama dari mereka
kendati penelaahan masalahnya berbeda. Keduanya, memilih
kesenian sebagai bahan pembahasan, tampak benar ingin
"menyegarkan" pandangan orang tentang agama: bahwa agama
hendaknya jangan jatuh ke kondisi ritual, dan bahwa hati nurani
sangat dibutuhkan dalam mendalami kepercayaan.
Berbeda dengan khotbah di mimbar yang biasanya menggebu-gebu
bicara tentang akhirat, kedua rohaniawan ini justru mau
menyadarkan bahwa kehidupan jasmani bukannya harus diabaikan.
Dan kesenian terbilang ideal untuk tekanan ini. Kesenian punya
kadar spiritual yang kaya - berbeda dari kadar spiritual dalam
ibadat. Tapi dianggap masih "ke atas". Dari situlah muncul
istilah religius, yang tidak selalu harus berkaitan dengan
agama, dan istilah transedental dalam filsafat transedental.
Acuhan filsafat transedental segera tampak pada esei
Driyarkarya. Meneruskan tradisi estetika - ilmu keindahan -
almarhum mempertanyakan pertanyaan klasik: apakah keindahan dan
apakah kesenian? Ini isyarat, seperti seluruh teori estetika
dari Baumgarten sampai Crose, bahwa kesimpulan rohaniawan itu
cuma berdiri sebagai kemungkinan. Jauh dari kemutlakan yang
didambakan. Tak perlu disangsikan kedalamannya. Tapi sulit
diukur karena kadar spekulasinya.
Barangkali memang tak bisa lain bila Mangunwijaya menampilkan
pula filsafat transedental. Seperti dituliskannya pada awal
bukunya: Pada Aal Mula, Segala Sastra Adalah Religius. Seperti
ada kemutlakan di situ. Namun Mangunwijaya tidak terjebak pada
tradisi estetika. Ia sama sekali tak bertanya-tanya: apakah
keindahan?
Ia, ini khas pemikiran anglo saks, segera mengoreksi
pernyataannya yang pertama dengan pembatasan termis yang sangat
ketat. Dan bagi istilah religius, ia bertopang pada religiosus
(hlm. 149). Dari situlah lahir istilah religiositas.
Dan religiositas inilah yang jadi pembahasan yang luar biasa
kaya dengan karyakarya sastra sebagai bahan pembahasan mungkin
menyulitkan pembaca yang kurang menyimak sastra dunia dan
sejarah filsafat.
Religiositas, dalam buku ini, pada "pandangan pertama" cukup
menggiurkan rasa ingin tahu. Religiositas lebih melihat aspek
yang "di dalam lubuk hati?', riak getaan hati nurani pribadi
sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain,
(hlm. 11). Pokok pembahasan ini mulai membingungkan setelah
halaman demi halaman buku ini disimak.
Mangunwijaya memang tidak terjebai pada term yang dibatasinya -
seperti biasanya pemikir anglo saks terperangkap pad. permainan
kata-kata. Tapi di sisi lain ia tal bisa menghindar dari
konsekuensi sebalik nya: "keadaan lepas kendali". Terombang
ambing pada banyak"imaji" yang tida dicantumkan sebagai
batasan. Misalnya, religiositas tiba-tiba terasa kembali pada
pengertian relgus yang sangat umum.
Pada awalnya religiositas mudah dipahami karena punya arti di
sekitar "hati nurani". Juga ketika masalah sekularisasi
menggantikan "arti" pokok pembahasan. Namun setelah sekularisasi
dibahas panjang-lebar kebingungan mulai membayang. Pada bagian
ini muncul semacam kebimbangan pengarang: antara setia pada
terrn dan terpesona pada karya sastra yang dibahas. Dan ini
tampak pada banyak bagian buku.
Mengambil contoh pada roman A.A. Navis dan Hamka, yang
mengemukakan pertentangan adat, Mangunwijaya mencoba memperkukuh
tempat berpijaknya dalam usaha "pengesahan" sekularisasi. Memang
itulah corak kedua roman tersebut. Tapi, menurut saya,
mempertanyakan kodrat yang juga tersirat pada karya-karya itu
lebih utama dikemukakan dalam masalah religiostas.
Masih dalam contoh kebimbangan, di bagian lain, Mangunwijaya
terjebak pada karya-karya bernada sosial John Steinbeck yang
punya kaitan agak berputar dengan religiositas. Menurut saya,
The God Unknozan, yang tak seberapa terkenal, mestinya yang
dibahas. Karena di sini religiositas punya muara pembahasan yang
kaya. Tapi Mangunwijaya memilih karya Steinbeck yang lain.
Sesudah membahas sekularisasi pengarang tiba-tiba berbalik
menjadi pembela "agama" yang gigih. Ia memaki eksistensialisme
dan pemuJaan ilmu pengetahuan yang pada awal buku sedikit
dilonggarkan. Yang bisa diterima - dengan sedikit menduga
Mangunwijaya mencari "sekularisasi yang benar". Tapi bukankah
ini butuh penjelasan ?
Pada bagian akhir buku Mangunwijaya menampilkan Iwan Simatupang
dan Danarto dengan sedikit permasalahan satra Indonesia. Sebuah
pengamatan yang tajam. Tapi rasanya saya masuk ke suatu diskusi
yang sama sekali lain dengan pembahasan sebelumnya.
Dari struktur buku pengarang terlampau terpaku pada pembatasan
termis yang terlalu cermat. Karena itu ia mencoba menarik benang
merah yang sebenarnya merugikan pembahasan. Bila term dibuat
lebih umum dan pembahasan setiap bab dipecahkan lebih bebas saya
yakin buku ini akan jadi luar biasa.
Barangkali Mangunwijaya memang tak punya pilihan lain. Ia
terikat pada filsafat transedental. Dan itu adalah pangkal
kelemahannya. Sebab "manusia" dalam sastra masa kini tidak
senantiasa bisa dihubungkan dengan khaliknya. Kendati tak usah
diartikan menyangkal hubunga itu.
Atas dasar itu saya tak melihat kadar filsafat pada karya Iwan
Simatupang dan Danarto - kecuali sedikit sinkritisme yang
menyorong kita untuk mencari kadar religiositas. Iwan tertarik
pada permainan kata-kata seperti pada buku filsafat. Danarto
terpesona pada term filosofis. Tidak lebih dari itu. Karenanya,
bisakah simbolisasi muncul tanpa infrastruktur pencarian di
baliknya?
Seharusnya Mangunwijaya lebih selektif memilih karya sastra
untuk pembahasan. Sejarah perkembangan sastra yang mengikatnya
dalam memilih - merupakan pembahasan "tersembunyi" - sebetulnya
tak perlu. Kendati, kata orang di sana terdapat "hakikat
sastra", kini saya kira bukan masanya lagi orang mencari hakikat
kesenian.
Jim A. Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini