Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Khotbah lain seorang pastor

Jakarta: sinar harapan, 1982 resensi oleh: jim a. supangkat.(bk)

16 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SASTRA DAN RELIGIOSITAS. Oleh: Y.B. Mangunwijaya. Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta, 1982, 155 halaman. Buku ini segera mengingatkan kita pada esei almarhum Prof. Driyarkarya S.J.: "Kesenian Dan Religi" - terbit sekitar tahun 1960-1970-an. Ada titik tolak dan semangat yang sama dari mereka kendati penelaahan masalahnya berbeda. Keduanya, memilih kesenian sebagai bahan pembahasan, tampak benar ingin "menyegarkan" pandangan orang tentang agama: bahwa agama hendaknya jangan jatuh ke kondisi ritual, dan bahwa hati nurani sangat dibutuhkan dalam mendalami kepercayaan. Berbeda dengan khotbah di mimbar yang biasanya menggebu-gebu bicara tentang akhirat, kedua rohaniawan ini justru mau menyadarkan bahwa kehidupan jasmani bukannya harus diabaikan. Dan kesenian terbilang ideal untuk tekanan ini. Kesenian punya kadar spiritual yang kaya - berbeda dari kadar spiritual dalam ibadat. Tapi dianggap masih "ke atas". Dari situlah muncul istilah religius, yang tidak selalu harus berkaitan dengan agama, dan istilah transedental dalam filsafat transedental. Acuhan filsafat transedental segera tampak pada esei Driyarkarya. Meneruskan tradisi estetika - ilmu keindahan - almarhum mempertanyakan pertanyaan klasik: apakah keindahan dan apakah kesenian? Ini isyarat, seperti seluruh teori estetika dari Baumgarten sampai Crose, bahwa kesimpulan rohaniawan itu cuma berdiri sebagai kemungkinan. Jauh dari kemutlakan yang didambakan. Tak perlu disangsikan kedalamannya. Tapi sulit diukur karena kadar spekulasinya. Barangkali memang tak bisa lain bila Mangunwijaya menampilkan pula filsafat transedental. Seperti dituliskannya pada awal bukunya: Pada Aal Mula, Segala Sastra Adalah Religius. Seperti ada kemutlakan di situ. Namun Mangunwijaya tidak terjebak pada tradisi estetika. Ia sama sekali tak bertanya-tanya: apakah keindahan? Ia, ini khas pemikiran anglo saks, segera mengoreksi pernyataannya yang pertama dengan pembatasan termis yang sangat ketat. Dan bagi istilah religius, ia bertopang pada religiosus (hlm. 149). Dari situlah lahir istilah religiositas. Dan religiositas inilah yang jadi pembahasan yang luar biasa kaya dengan karyakarya sastra sebagai bahan pembahasan mungkin menyulitkan pembaca yang kurang menyimak sastra dunia dan sejarah filsafat. Religiositas, dalam buku ini, pada "pandangan pertama" cukup menggiurkan rasa ingin tahu. Religiositas lebih melihat aspek yang "di dalam lubuk hati?', riak getaan hati nurani pribadi sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, (hlm. 11). Pokok pembahasan ini mulai membingungkan setelah halaman demi halaman buku ini disimak. Mangunwijaya memang tidak terjebai pada term yang dibatasinya - seperti biasanya pemikir anglo saks terperangkap pad. permainan kata-kata. Tapi di sisi lain ia tal bisa menghindar dari konsekuensi sebalik nya: "keadaan lepas kendali". Terombang ambing pada banyak"imaji" yang tida dicantumkan sebagai batasan. Misalnya, religiositas tiba-tiba terasa kembali pada pengertian relgus yang sangat umum. Pada awalnya religiositas mudah dipahami karena punya arti di sekitar "hati nurani". Juga ketika masalah sekularisasi menggantikan "arti" pokok pembahasan. Namun setelah sekularisasi dibahas panjang-lebar kebingungan mulai membayang. Pada bagian ini muncul semacam kebimbangan pengarang: antara setia pada terrn dan terpesona pada karya sastra yang dibahas. Dan ini tampak pada banyak bagian buku. Mengambil contoh pada roman A.A. Navis dan Hamka, yang mengemukakan pertentangan adat, Mangunwijaya mencoba memperkukuh tempat berpijaknya dalam usaha "pengesahan" sekularisasi. Memang itulah corak kedua roman tersebut. Tapi, menurut saya, mempertanyakan kodrat yang juga tersirat pada karya-karya itu lebih utama dikemukakan dalam masalah religiostas. Masih dalam contoh kebimbangan, di bagian lain, Mangunwijaya terjebak pada karya-karya bernada sosial John Steinbeck yang punya kaitan agak berputar dengan religiositas. Menurut saya, The God Unknozan, yang tak seberapa terkenal, mestinya yang dibahas. Karena di sini religiositas punya muara pembahasan yang kaya. Tapi Mangunwijaya memilih karya Steinbeck yang lain. Sesudah membahas sekularisasi pengarang tiba-tiba berbalik menjadi pembela "agama" yang gigih. Ia memaki eksistensialisme dan pemuJaan ilmu pengetahuan yang pada awal buku sedikit dilonggarkan. Yang bisa diterima - dengan sedikit menduga Mangunwijaya mencari "sekularisasi yang benar". Tapi bukankah ini butuh penjelasan ? Pada bagian akhir buku Mangunwijaya menampilkan Iwan Simatupang dan Danarto dengan sedikit permasalahan satra Indonesia. Sebuah pengamatan yang tajam. Tapi rasanya saya masuk ke suatu diskusi yang sama sekali lain dengan pembahasan sebelumnya. Dari struktur buku pengarang terlampau terpaku pada pembatasan termis yang terlalu cermat. Karena itu ia mencoba menarik benang merah yang sebenarnya merugikan pembahasan. Bila term dibuat lebih umum dan pembahasan setiap bab dipecahkan lebih bebas saya yakin buku ini akan jadi luar biasa. Barangkali Mangunwijaya memang tak punya pilihan lain. Ia terikat pada filsafat transedental. Dan itu adalah pangkal kelemahannya. Sebab "manusia" dalam sastra masa kini tidak senantiasa bisa dihubungkan dengan khaliknya. Kendati tak usah diartikan menyangkal hubunga itu. Atas dasar itu saya tak melihat kadar filsafat pada karya Iwan Simatupang dan Danarto - kecuali sedikit sinkritisme yang menyorong kita untuk mencari kadar religiositas. Iwan tertarik pada permainan kata-kata seperti pada buku filsafat. Danarto terpesona pada term filosofis. Tidak lebih dari itu. Karenanya, bisakah simbolisasi muncul tanpa infrastruktur pencarian di baliknya? Seharusnya Mangunwijaya lebih selektif memilih karya sastra untuk pembahasan. Sejarah perkembangan sastra yang mengikatnya dalam memilih - merupakan pembahasan "tersembunyi" - sebetulnya tak perlu. Kendati, kata orang di sana terdapat "hakikat sastra", kini saya kira bukan masanya lagi orang mencari hakikat kesenian. Jim A. Supangkat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus