Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ibarat mengangkat barang punah

Pusat kebudayaan jerman, goethe institute mempertunjukan jenis wayang beber. salah satu warisan budaya yang kelihatannya tak bakal hidup lagi. berasal dari karang talun pacitan, ja-tim.(ter)

13 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI sebuah usaha mengangkat barang punah. Goethe Institut, di Jakarta, pusat kebudayaan Jerman, 6 Juni yang lalu mempergelarkan jenis wayang yang sudah nyaris tak dikenal -- disebut 'wayang beber'. Bahkan menyertainya dengan pameran selama 19 hari -- sejak tanggal 1. Pameran itu mengetengahkan foto-foto perlengkapan wayang beber yang diambil oleh fotografer Dieter Lotze, dan salinan lukisan berbagai adegan wayang tersebut oleh pembuat wayang Djumadi. Goethe Institut, yang menyelenggarakan acara itu dalam program rutin pertukaran budaya, memang bukan yang pertama kali mengetengahkannya di tahun-tahun terakhir. Wayang beber pernah dipergelarkan di Taman Ismail Marzuki dalam acara Pekan Wayang 1969 - tanpa pameran. Juga tanpa pameran dipentaskan di Gedung Kepatihan Yogya, Juli tahun lalu. Yang pertama diambil dari Cilacap, yang kedua dari Gunung Kidul, Yogya. Sedang yang dipertontonkan Goethe Institut berasal dari Karang Talun, Pacitan, Jawa Timur. Dan memang, seperti ditulis oleh Karl Mertes untuk folder yang dibagikan di institut Jerman itu, wayang beber hanya tinggal dua tiga buah saja lagi di Jawa Tengah dan Timur. Bahkan yang di Yogya itu sudah lebih tidak operasional (lihat box). Ini memang barang kuno -- meski tak diketahui jelas sebenarnya, seberapa kunonya. Pak Sarnen Gunacarita misalnya, dalang Pacitan itu, menuturkan perangkat wayang tersebut (terdiri dari 6 gulung, tiap gulung berisi 4 gambar secara berurutan seperti komik, dan terbuat dari kulit yang halus) dahulu didapat dari nenek moyangnya yang bernama Ki Naladerma. Sang datuk menerimanya sebagai hadiah dari Brawijaya, Raja Majapahit -- setelah ia berhasil menyembuhkan putri sang raja. Tapi juga terdapat beberapa petunjuk bahwa umurnya sebenarnya baru sekitar 250-300 tahun. Hanya saja, dalam buku Wayang oleh Ir. Sri Mulyono misalnya, ada disebut keterangan K.P.A. Kusumadilaga Sasramiruda -- bahwa Prabu Bratana dari Majapahit membuat wayang beber di tahun 1361. Jadi memang jenis kuno -- meski juga tidak berarti lebih kuno dari wayang kulit, konon. Dan yang muncul di Goethe Institut itu memang barang kuno -- lebih kuno daripada menyenangkan. Penonton yang separuhnya orang Jerman itu, di ruang yang berkapasitas kurang dari 100 orang, duduk bersila di hadapan sebuah kotak berukuran sekitar 30 x 125 cm. Ada seorang dalang, dua pembantu dan empat pemain instrumen -- yang hanya terdiri dari rebab, kenong, ketuk, kempul, kendang dan gong. Sangat bersahaja. Ditambah sesajen nasi lengkap dengan ayamnya, pisang dan bunga -- serta asap kemenyan. Cerita yang dibawakan adalah kisah Jaka Kembang Kuning alias Panji Asmara Bangun -- dan memang wayang beber termasuk jenis 'wayang gedog' yang mengisahkan cerita Panji. Sang Panji, di sini, bersama dengan Prabu Klana dari "kerajaan asing", memperebutkan Dewi Sekartaji putri raja Kediri yang diberi nama Brawijaya. Melewati lekuk liku, perang tanding maupun penyamaran, sang panji sudah ditebak akan menang dan menang. Namun pementasan tidaklah seru. Berbeda dengan wayang kulit yang penuh sabet menyabet (cara menggerakkan boneka-boneka kulit yang disebut sabetan itu memang lincah), di sini semua cerita sekedar dituturkan. Gulungan digeser untuk menampakkan gambar nomor dua, misalnya, atau diganti dengan gulungan baru, dan tembang serta dialog diteruskan menurut gambar. Ini memang lebih merupakan "seni lukis yang dibunyikan", dan hampir bukan teater. Dan sebagai seni rupa, ia sejenis dengan relief-relief di candi Hindu Jawa. Dengan wajah dalang yang tersembunyi di balik gambar itu, suara yang datar dan rata -- dan kebetulan pula tertelan-telan -- serama lebih tiga jam dari Pak Sarnen yang berumur 60 tahunan itu memang hampir hanya memamerkan pusaka kuno. Tak heran bila wayang beber jarang sekali dimainkan kini--bahkan konon di awal abad ini orang mengira jenis itu sudah punah. Ia hanya dipakai untuk keperluan semi-agama -- tolak bala atau hajat tertentu yang lain, misalnya. Memang: tak ada karawitan yang terbangun demikian sempurna (dan teks yang bisa terus diperbarui) seperti pada wayang kulit, tak ada dramaturgi yang masak seperti pada wayang orang atau wayang topeng. Ditambah lagi dengan ulah pengkeramat-keramatan, yang membuat "tidak sembarang orang bisa menggauli." Wayang Pak Sarnen itu, misalnya, disimpan secara bergilir di 16 keluarga di Pacitan --tiap keluaga kebagian 1 bulan. Yang boleh membuka kotak hanya sang dalang. Untuk mengeluarkan gulungan saja diperlukan pembakaran kemenyan. Untuk memainkan, sesajen harus lengkap. Bahkan, gambar ke-24 tidak pernah boleh dibuka -- dan dimainkan. Konon itu gambar adegan perkawinan sang Panji dan Sekartaji. Pak Sarnen dewasa ini memang sedang menyiapkan dalang pengganti: seorang putranya dan seorang kemanakan. Tapi itu agaknya karena adanya perhatian yang bersifat kelembagaan -- dan bukan tuntutan publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus