PENGUMUMAN Menteri P dan K Wardiman Djojonegoro tentang wajib belajar sembilan tahun, pekan lalu, tentu berdampak pada penyediaan dana oleh Pemerintah. Sebab, program itu dibarengi dengan pembebasan sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) dan penyediaan sarana bagi murid SMP. Sasarannya, tentu, agar anak usia SMP (hingga 15 tahun) bisa tertampung. Sehubungan dengan hal tersebut, Jumat pekan lalu, Menteri Wardiman menerima wartawan TEMPO Agus Basri untuk suatu wawancara khusus mengenai berbagai hal. Berikut ini petikannya: Setelah 10 tahun wajib belajar usia SD, kini masuk ke program wajib belajar sembilan tahun. Apa sasarannya? Wajib belajar sembilan tahun, esensinya, agar tiap anak Indonesia sampai umur 15 itu bisa belajar. Itu keinginan Pemerintah untuk meningkatkan kecerdasan bangsa, pemerataan, hingga usia 15 tahun di tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP). Sekarang ini 26,5 juta anak usia SD (7-12 tahun) menjadi 29,5 juta anak karena ada yang masuk SD pada usia 5-6 tahun. Berarti, ada 110% anak usia SD. Lalu, ada 12,8 juta anak usia SLTP, di antaranya 6,8 juta dari madrasah sanawiah. Jadi, ada 6 juta anak di SMP. Kalau tiap kelas ada 40 murid, berarti diperlukan 150 ribu kelas. Penyediaan gurunya pun, paling tidak, mesti dua kali lipat dari yang ada. Berarti, harus ada 300 ribu guru. Berapa lama penyediaan prasarana dan sarana itu? Presiden mengatakan 15 tahun. Untung-untung nanti, kalau anggaran bisa bertambah, bisa terpenuhi dalam 10 tahun. Sekarang kami mempersiapkan prasarana seperti gedung dan ruang kelas, lalu sarana berupa buku, dan juga tenaga guru. Jadi, kalau untuk 10 tahun, tiap tahun mesti mengangkat 30 ribu guru. Tapi, kalau 15 tahun, tahun pertama sekarang ini mesti dibangun 10 ribu kelas dari target 150 ribu itu. Dan sekarang sudah ada 4.000 kelas. Artinya, memang perlu membangun gedung baru lagi. Untuk guru, idealnya rata-rata seorang guru untuk 20 murid. Tapi itu mungkin baru untuk 20 tahun lagi. Bagaimana menampung ledakan lulusan SD hasil wajib belajar 10 tahun lalu? Yang harus ditampung, ya, yang 6 juta itu. Malah, sebenarnya jumlahnya lebih sedikit karena ada beberapa yang putus sekolah. Jadi, hitungan kasarnya, setidaknya jumlah kelas 1 SMP sekarang ini harus sama dengan jumlah kelas 6 SD. Mengapa mesti menempuh program wajib belajar sembilan tahun? Apa ukurannya? Biasanya, negara yang sudah selesai wajib belajarnya, seperti Jepang dan Korea, tingkat kemakmurannya juga ikut naik. Malah, Korea Selatan sekarang anak usia SMA-nya yang tertampung sudah hampir 95%. Mengapa mesti disertai pembebasan SPP? Karena ada wajib belajar, tentu ada kewajiban untuk anak bersekolah. Maka, sewajarnya mereka diberi kemudahan. Berupa apa? Ya, tentu jangan sampai mereka dibebani biaya. Saat ini anggaran Pemerintah baru mampu menutup pembebasan SPP. Yang namanya sekolah itu ada biaya operasional, untuk guru, untuk administrasi, dan lainnya. Di negara lain hal itu sebagian juga ditanggung pemerintah. La, di Indonesia yang bisa ditanggung baru biaya operasional. Lantas bagaimana sekolah swasta? Mereka juga mesti mendapat bantuan, baik berupa tenaga guru maupun uang pengganti SPP yang besarnya Rp 1.500 per bulan. Dengan pembebasan SPP, berapa dana yang harus disediakan Pemerintah? Kalau tak salah, biaya yang ditanggung Pemerintah untuk SPP sekitar Rp 40 miliar. Anggaran pembebasan SPP memang mestinya lebih besar, tapi baru cukup sampai sekian itu kemampuannya. Begitu. Secara keseluruhan, berapa sebenarnya anggaran untuk pendidikan? Anggaran pendidikan murni dalam bentuk rupiah Rp 1,5 triliun. Dari urutannya, P dan K masuk nomor empat. Tapi itu kan tak penting. Toh masih ada dana dari luar. Juga masih ada dana inpres pendidikan, sebesar Rp 750 miliar. Bagaimana mengenai konsep Anda tentang program magang dan link and match? Dalam upaya mencari relevansi pendidikan dengan pembangunan, perlu ada dialog dengan dunia usaha, tani, niaga, dan industri. Perlu mengadakan link, apa yang dibutuhkan, lalu menyelaraskan, yaitu dengan match. Sekarang sekolah kejuruan itu latihannya kurang banyak, dan tak diketahui oleh dunia industri. Maka, kami menyontek Jerman. Pelatihannya itu dilakukan dan dibiayai oleh industri. Jadi, industri ikut menentukan isi kurikulum praktek, ikut mengetes kemampuan mereka, supaya begitu selesai mereka jadi terampil. Tentang penertiban program M.B.A.? Ternyata M.B.A. itu sangat digemari. Mungkin jadi latah bahwa kalau M.B.A. lantas bisa menjadi top. Di Amerika Serikat, katanya, kalau lulus M.B.A. pasti top, begitu. Lalu, ini disalahgunakan oleh swasta dengan mengadakan kursus delapan bulan sudah jadi M.B.A. Syaratnya juga cukup berijazah SMA atau sudah bekerja selama tiga tahun. Padahal, M.B.A. itu kan program S-2, makanya kami tertibkan. Harus pakai magister, harus S-1, dan harus sampai 60 SKS (satuan kredit semester). Ada ide, IAIN akan diubah menjadi universitas. Bukankah universitas mesti di bawah Departemen P dan K? Terus terang, bagi saya, itu tak soal. Kalau mau mengembangkan diri, itu bagus. Silakan saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini