Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ideologi Perlawanan Seni Rupa Video

Seniman seni rupa video mencoba mematahkan monopoli interpretasi terhadap realitas. Hasilnya, makna yang lebih rumit untuk ditelan.

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG pamer Rumah Seni Cemeti berubah bak ruang pamer toko. Perupa Krisna Murti memboyong 12 kloset warna merah muda yang disusun membentuk pola bidang segi tiga. Sementara visualisasi kloset kencing Marchel Duchamp (Fountain, 1917) hanya diimbuhi tanda tangan "R. Mutt" yang sederhana, Krisna Murti berupaya memberi makna lain. Kloset merah muda digunakan sebagai pintu masuk untuk berbicara tentang keprihatinannya terhadap potensi rasialisme dalam masyarakat. Untuk itu, ia pun meletakkan 12 jenis makanan hibrid di peturasan, sebuah tempat yang kita kenal berfungsi untuk membuang kotoran manusia. Inilah hasil pencangkokan makanan khas Cina, Arab, dan Eropa ke dalam cita rasa makanan pribumi. Kue moci, yang berasal dari Jepang, diklaim sebagai makanan penduduk Sunda; lumpia, yang diyakini berasal dari daratan Cina, menjadi populer sebagai buah tangan dari Semarang; dan nasi kebuli dari tanah Arab menjadi makanan kesukaan penduduk di pesisir utara Jawa. Pada bagian saluran air kloset, Krisna Murti menyambungkan pipa dalam warna kuning, yang memungkinkan kita mengintip teks tentang persoalan makanan dan politik.

Karya ini semakin tidak sederhana dengan kehadiran tayangan video cuplikan acara memasak dan cuplikan film Pengkhianatan G30S-PKI karya Arifin C. Noer. Seluruh pertunjukan inilah yang disebut instalasi video bertajuk Makanan Tidak Mengenal Ras. Bagi perupa lulusan Fakultas Seni Rupa ITB ini, bahasa asing atau kesenian asing bisa diberi makna politik, tapi makanan asing tidak pernah tercemar sebagai dagangan politik. Pengajaran dan penggunaaan bahasa Cina secara umum memang dilarang oleh rezim Orde Baru, tapi tidak ada larangan bagi orang Indonesia untuk menjual atau menyantap bakso atau bakpao. Walhasil, makanan hanyalah persoalan perut, yang hanya berakhir di peturasan, bukan di parlemen, apalagi huru-hara rasial.

Ketika Krisna Murti mengusung soal makanan ini ke dalam bahasa visual lewat tayangan rekaman video, ia memulai dengan memasukkan potongan tayangan acara memasak di televisi, diikuti dengan adegan film Pengkhianatan G30S-PKI, yang belakangan secara terbuka dicap sebagai film propaganda. "Video ini merupakan mistifikasi gaya penawaran komoditas iklan televisi dan propaganda politik," ujar Krisna Murti.

Kutipan adegan Amaroso Katamsi yang dimanipulasi dengan teks berupa jargon-jargon "ideologi" makanan, yang apolitis, itu seolah menjadi klimaks inti narasi karya ini, yang menertawakan sikap rasis yang ambigu. "Orang yang sangat suka makan mi ternyata bersikap paling anti-Cina," ujar Krisna Murti. Tapi inilah masalah seni rupa yang mencoba membangun komunikasi yang lebih demokratis yang, sayangnya, lebih sulit diterjemahkan secara lugas.

Kemunculan seni rupa video sebenarnya tak lepas dari gejolak seni rupa garda depan yang membuka persepsi baru terhadap estetika: seni sebagai gagasan. Adalah Nam June Paik, seniman elektronik asal Korea yang juga perupa pagelaran, yang pada 1964 mulai menjamah video sebagai medium ekspresi seni rupa. Paik mulai tergiur dengan media video ketika ia melakukan eksperimen dengan meletakkan besi magnet di depan layar televisi yang sedang menayangkan wajah Presiden Nixon. Hasilnya mengejutkan Paik karena gambar sang presiden terdistorsi. Seketika itu muncul kesadaran baru bahwa siaran televisi, yang hanya bersifat searah dan menjadi sangat berkuasa, ternyata secara teknis bisa dikendalikan oleh penonton. "Hal ini akan membebaskan kita dari monopoli sejumlah saluran televisi komersial," kata Paik.

Eksperimen Paik merupakan awal berkembangnya perhatian seniman garda depan terhadap interaksi antara seni dan teknologi elektronik. "Sebagaimana teknik kolase, yang telah menggantikan cat minyak, tabung sinar katode pun menggantikan kanvas," ujar Paik. Perkembangan teknologi video, dengan adanya video mixer yang mampu memproduksi dan mereproduksi berbagai kemungkinan gambar, teks, dan suara, semakin menimbulkan rangsangan kreatif seniman video.

Perupa Indonesia sesungguhnya agak terlambat merespons perkembangan seni rupa video. Dari sedikit perupa yang mencoba menjinakkan medium video, baru Krisna Murti yang konsekuen masuk ke jalur ini lewat karyanya yang pertama, 12 Jam dalam Kehidupan Penari Agung Rai, pada 1993. Seni rupa video akhirnya dinilai memberi ruang yang lebih luas untuk berekspresi.

Raihul Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus