Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAMERAN PATUNG | ||
Karya | : | Rudi Mantofani & Yusra Martunus |
Waktu | : | 19 November-5 Desember 1999 |
Tempat | : | Galeri Lontar, Jakarta |
Memamerkan 23 batang patung di Galeri Lontar, Mantofani (12 patung) dan Martunus (11 patung) bermain dengan bentuk, gaya, dan pengertian yang membebaskan itu. Kedua pematung itu merajut karya-karyanya yang tersusun dari bahan besi, ka_yu, kain, plastik, kawat, semen, timah, tali, kaca, cat, cermin, dan pohon. Dari berbagai bentuk yang dijelajahi, kedua pematung itu tampak tidak mematung. Artinya, keduanya menghindar dari pengertian-pengertian pematung pada umumnya.
Kesatuan dan homogenitas tidak menarik lagi bagi kedua perupa itu. Dengan berbagai gaya, masing-masing membawa benda-benda dalam harkat apa adanya. Kawat sebagai kawat. Tali sebagai tali. Besi sebagai besi. Penonton tidak perlu berimajinasi. Metafora tak diperlukan lagi. Seolah-olah keduanya berseru: "Inilah dunia, Bung!"
Tiap-tiap karya berdiri sendiri, tidak memiliki hubungan satu sama lain. Karya Martunus, Untitled, yang berwujud bola dunia dari kawat berduri, tak ada benang merahnyabahkan bertentangan (konsep)dengan karya yang lain, Ketidakpastian, yang mirip rumah tawon, sebuah rajutan dari tali dan kayu. Begitu juga karya Mantofani, Berharap, yang berwujud kantong plastik berisi air yang digantung pada kedua ujungnya, bertentangan (konsep) dengan karyanya yang lain, Nyata dalam Kenyataan, yang berwujud balok cor semen-pasir yang bersinar di dalamnya, menyemburat bagai membelah balok itu. Di atasnya, ia taruh gelas berisi cairan.
Tidak diperlukan lagi satu gaya dan satu bahan. Penggunaan bahan-bahan alam menarik. Ranting, kayu, tali, membawa kesan kuat kedua pematung ini tengah bermain-main.
Harus dicatat, pada patung Pembenaran, Mantofani menyuguhkan sebatang kecil pohon bonsai di atas meja bundar dari semen. Patung ini lahir dari unsur alam yang hidup (dalam arti harfiah), tumbuh, dan berkembang. Untuk karya yang meretas batas alam ini, kita perlu berterima kasih kepada Dadang Christanto, pencipta pertama, ketika memamerkan Monumen Desa, patung yang terdiri dari potongan-potongan batang singkong yang ditumpuk-tumpuk tinggi sekali. Dan batang-batang singkong itu hidup, tumbuh, dan berkembang dalam pameran Bienale Seni Rupa Jakarta 1993-1994, di Taman Ismail Marzuki.
Patung terus berproses: tumbuh, tumbuh, tumbuh. Inilah sebuah karya yang memberikan cakrawala baru. Dadang telah menjadi tokoh yang merambah ke dunia internasional, pembaharu seni rupa internasional yang setaraf dengan Christo (perupa yang membungkus obyek). Bila kita mengamati perkembangan seni rupa dunia dari 1970 (Expo '70, Jepang), 1974 (Eropa Barat), 1976 (Amerika Serikat), 1983 (Eropa Barat), sampai 1990 (Jepang), para perupa hanya sebatas menghadirkan api, air, dan tanah pada karya-karyanya. Dadang telah mengerjakan sesuatu yang lain.
Namun, sementara kolektor merasa kesukaran mengoleksi karya Mantofani dan Martunus karena karya itu kelihatan "tidak untuk dikoleksi". Di samping membutuhkan kesadaran, patung-patung itu memeras tenaga dan pikiran ketika sudah dipajang di rumah. Karya itu terasa mendendangkan nihilisme, hal yang membuat gamang perasaan.
Pernyataan Umar Kayam memang perlu didengar. Ia mengingatkan kita bahwa Indonesia adalah pusat seni patung dunia yang utama. Kita memiliki patung Buddha terindah di dunia di Candi Mendut, patung Irian, patung Bali, wayang kulit yang terindah di dunia (di dalamnya kita menemukan seni patung, seni lukis, seni teater, seni musik, seni film, seni sastra). Patung-patung itu merupakan sumber bagi penciptaan baru.
Danarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo