Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bunyi gamelan terasa aneh di telinga. Itu terjadi karena pukulannya dilakukan dengan cara tak biasa. Enam pemainnya seperti musikus jazz yang memiliki improvisasi tersendiri. Ada yang memukul dengan setengah ketukan, ada pula pukulan yang seperti sengaja ditahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi makin lama makin terdengar sebuah harmoni bunyi yang memiliki pola tertentu. Meski masih terasa asing, jalinan nada itu seperti menemukan bentuknya dengan suara latar dan melodi. “Karya ini melambangkan aneka rasa, seperti nikmat, pahit, asam, dan manis, tapi akhirnya semua terjalin sebagai pengalaman hidup,” kata pencipta komposisi itu, Anak Agung Putu Atmadja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berjudul Rasa, itu adalah garapan pertama yang ditampilkan dalam pergelaran untuk mengenang maestro kesenian Bali, almarhum I Kadek Suardana, dan istrinya, Mari Nabeshima, 7 Oktober lalu, di Jaba Pura, Puri Satria, Denpasar. Karya itu menggunakan instrumen selonding bernada diatonis ciptaan sang maestro yang mengambil pola nada pada piano.
Instrumen selonding berasal dari zaman Raja Bali, Sri Wira Dalem Kesari, sekitar abad ke-10. Adapun selonding adalah gamelan klasik Bali. Saat Kadek masih hidup, biasanya dia memainkan gamelan itu dengan Mari. Wanita asal Jepang tersebut akan bermain piano klasik dengan nada yang sama.
I Kadek Suardana lahir di Denpasar pada 1956 dan meninggal di Guangzhou, Cina, pada 8 Oktober 2013 saat menjalani perawatan kanker. Lulusan Konservatori Musik Tradisional (KOKAR) yang pernah belajar di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) itu dikenal sebagai seniman serba bisa, dari teater, tari, hingga musik. Ia pendiri Sanggar Putih, sebuah kelompok teater kontemporer yang mementaskan karya-karya Shakespeare.
Ia pun kerap unjuk karya di luar negeri. Kadek adalah komposer sekaligus penulis dramaturgi untuk Australian based The One Extra Company’s production Dancing Demons (1990). Pentas itu digarap berdasarkan cerita Ramayana. Ia juga menggarap komposisi musik untuk pentas Bima di Goetenberg Opera Ballet (Swedia) pada 1996.
Adapun istrinya, Mari Nabeshima, meninggal lebih dulu pada 4 Juli 2010 dalam usia 38 tahun karena penyakit demam berdarah. Mari mengenal gamelan Bali di kampusnya, Tokyo National University of Fine Art and Music, Jepang. Ia meraih PhD dengan hasil risetnya tentang kidung dalam bahasa Bali Kawi. Etnomusikologis ini juga pernah belajar tabuh dan tari Bali.
Salah satu karyanya yang dinilai paling monumental adalah repertoar Sri Tanjung pada 2009. Konsep musik, tari, dan naskah karya itu dibuat berdasarkan cerita klasik Banyuwangi, Jawa Timur. Mari tiada di tengah aktivitas keseniannya yang sangat padat. Pada pekan sebelum tiada, Mari dan kelompok Abiyoga baru saja mementaskan drama tari Tajen di Pesta Kesenian Bali. Dalam pertunjukan itu, Mari memainkan piano dan flute.
Pengaruh Kadek sangat besar pada keseluruhan karya yang ditampilkan malam itu. Selain ditujukan untuk mengenangnya, acara tersebut sekaligus menandai berdirinya Komunitas Seni Suarshima, yang merupakan akronim dari nama suami-istri tersebut. Komunitas ini didirikan oleh anak-anak muda asuhan mereka, salah-satunya putra kandung Kadek, I Made Arthya Talava (Lolink).
Malam itu, Lolink pun mementaskan karyanya bertajuk Bhawa Abhawa, yang menggambarkan siklus kehidupan dari kelahiran hingga kematian. Baik-buruk dan benar-salah menjadi jalinan yang tak terelakkan dan diungkapkan dalam olah nada yang dinamis. Garapan ini pun digunakan untuk mengiringi tari tradisional legong, tapi dengan sentuhan modern serta tabuh saron yang melodis.
Pengamat seni Prof Wayan Dibia mengaku gembira atas kemunculan garapan baru dari musikus-musikus muda itu. “Salah satu ciri Kadek adalah kenakalan dan keberanian untuk bereksperimen, dan itu menjadi sumber kreativitas yang tiada batas,” kata mantan Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar ini.
Selain pakem-pakem tradisional yang sudah mapan, menurut dia, gamelan Bali memerlukan revitalisasi agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Untuk itu, para seniman pun harus berani menempatkan karyanya bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan, tapi karya itu merupakan bentuk totalitas pengabdian dalam berkesenian.
Kadek Suardana dan Mari telah mencontohkan hal itu semasa hidup mereka. Mereka menghasilkan karya-karya terbaik yang terus dikenang, seperti pergelaran Gambuh Machbeth, musik kontemporer Back to Island yang mengiringi sinetron Api Cinta Mario Blanco, serta drama tari Sri Tanjung.
Kadek juga mendirikan Yayasan Arti. “Melalui yayasan ini, dia mencurahkan hasratnya untuk menemukan generasi baru seniman Bali yang tidak larut dalam komersialisasi budaya,” kata Made Pria Dharsana, yang bersama Kadek dan sejumlah tokoh lain membangun yayasan itu.
Sahabat Kadek lainnya, I Dewa Gede Palguna, mengatakan yayasan tersebut menjadi wadah yang memadukan spirit berkesenian dari alur yang beragam. Mereka sering melalui konflik dan saling kritik. “Namun pada akhirnya selalu ditemukan hal baru yang memadukan berbagai karakter dan warna sehingga memunculkan keindahan baru,” kata hakim di Mahkamah Konstitusi itu.
Dan malam itu, semangat berkesenian Kadek dan Mari pun terus digelorakan. ROFIQI HASAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo