Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Habolat, mantra masih diandalkan.
Wife hot hot hot.
Mantra itu bukan pembangkit efek Viagra; bukan jampi-jampi Inggris. Mantra ini milik suku Beilel, penguasa Habolat, Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur.
Sebagian besar kata dalam mantra itu cuma bermakna satu: babi beserta julukan-julukannya. Maklum, celeng disanjung sebagai hewan yang menurunkan suku Beilel. "Munafe kakafe pekikika pemirafea akan hiarfe late amengfe wife ameape hiarpe mulangpe hokame hirianeawin dihokamae nuna abe alea. Hot hot hot" (Babi muna babi kato babi merah babi putih babi hitam babi alang-alang babi padang babi batu babi tanah babi bumi babi langit, tuan sudah datang untuk kasih makan makanan di periuk sudah masak, cepat datang). "Hot hot hot juga panggilan untuk babi," kata Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Abdul Rachman Patji kepada Tempo pekan lalu.
Mantra ini, Patji menambahkan, memakai bahasa Beilel yang belum tercatat di Peta Bahasa Daerah Nusa Tenggara Timur. "Kami menemukannya ketika sedang meneliti bahasa Kafoa milik suku Kafoa di tempat yang sama," kata lulusan Australian National University ini.
Patji adalah pemimpin tim peneliti bahasa yang dikirim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ke Pulau Alor tahun lalu guna mendata bahasa Kafoa, yang hampir punah. Selain ke Alor, tim dikirim ke Oirata di Pulau Kisar, Maluku; Gamkonora, Maluku Utara; dan Pagu, Halmahera Utara. Tapi ada masalah besar.
"Penutur Beilel tinggal seorang," ujar Patji dengan suara tercekat. Penutur itu, Karim, 64 tahun, adalah tetua suku Beilel dan penegak tradisi di Habolat. "Bila Pak Karim meninggal, punahlah bahasa Beilel sekaligus budayanya."
Patji dan timnya merasa harus bergegas. Mereka bertekad tahun ini kosakata Beilel sudah terdokumentasikan. "Kami nanti minta Pak Karim bicara dan kami rekam," katanya.
Beilel masih beruntung sempat ditemukan. Indonesia bukan cuma tempat bahasa lokal lahir dengan subur karena suku-suku bangsa terisolasi oleh benteng alam untuk waktu yang lama. Nusantara juga menjadi kuburan sempurna untuk banyak bahasa itu. Menurut peta bahasa, saat ini di Indonesia tinggal tersisa 756 bahasa daerah-12 persen dari jumlah bahasa di dunia (lihat "Satu Bangsa, 756 Bahasa").
Konsentrasi tertinggi bahasa daerah ada di Indonesia timur. Nusa Tenggara Timur saja menjadi rumah bagi sedikitnya 54 bahasa. Di Habolat terdapat sembilan suku dan 12 bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Menurut Patji, sebanyak 30 persen bahasa daerah sudah masuk kategori terancam punah. "Indikasinya adalah jumlah penuturnya yang kian susut," katanya. Mengutip ahli bahasa David Crystal, Patji menambahkan, sebuah bahasa masuk kategori terancam punah jika jumlah penuturnya kurang dari 20 ribu. Jelaslah bahasa Beilel sudah sekarat.
Patji belum tahu mengapa penutur Beilel tinggal Karim. Tapi ia memastikan itu bukan karena suku lain menyepelekan suku Beilel.
Di Habolat, suku Beilel sangat dihormati. Sebagai suku asli di wilayah itu, Beilel menjadi pemilik hak ulayat. Banyak hal hanya bisa dilakukan bila Karim memberi izin. "Kalau ada yang mau mendirikan gereja, harus minta izin Pak Karim. Bahkan kepala desa, kalau ada apa-apa, harus minta izin ke Pak Karim," kata Patji.
Patji menduga penyebab kepunahan Beilel adalah populasi suku Beilel yang tinggal sedikit. Kini tersisa tiga keluarga.
"Itu terjadi setelah sebuah serangan wabah," ujar tetua suku Kafoa, Bernadus Moru, 89 tahun, membongkar ingatan lamanya. Bernadus mengatakan sukunya merupakan pendatang di Alor. Migrasi terjadi pada 1940-an, setelah suku itu terusir dari Pulau Pantar, di seberang barat Alor, akibat kalah perang.
Populasi Kafoa terus tumbuh. Kini ada 1.220 jiwa. Bahasa Kafoa pun menjadi dominan, sementara Karim tak mengajari keluarganya bahasa ibu mereka. Ada sedikit kawin-mawin di kedua bahasa itu.
"Ma'a pe jarna," kata Karim menyodorkan air minum. Di rumah Bernadus, untuk menawarkan minum, ia mengatakan "Ma'a pe yarm."
Tapi Kafoa pun terancam punah. Bahasa ini tak dimengerti orang di luar suku Kafoa. "Di luar, mereka mau tidak mau menggunakan bahasa Melayu Alor," ujar Patji. Sudah ada jejak bahasa Melayu Alor di antara suku Kafoa. Begini cara Patji mengujinya. Suatu hari, ia membelikan sebuah bola untuk anak-anak desa Habolat. "Waktu mereka main, yang mereka teriakkan: oper oper sepak sepak."
Suku Oirata di Pulau Kisar, perbatasan sebelah utara Timor Leste, tak ingin bernasib seperti Beilel. "Bahasa Oirata tidak mungkin punah," kata Anis Tilukay, tokoh masyarakat Oirata. Anis menunjukkan caranya: bahasa ibunya itu dipakai sehari-hari di rumah. "Ira tatu," kata dia mempersilakan Tempo minum di rumahnya akhir bulan lalu.
Oirata mendiami pulau seluas 75 kilometer persegi. Dulu pulau ini pernah digunakan Belanda sebagai basis pengambilan rempah-rempah. Di Kisar, orang Oirata tinggal bersama suku Maher. Seperti halnya Oirata memiliki bahasa Oirata, Maher punya bahasanya sendiri.
Anis mengaku merasakan ancaman kepada bahasa ibunya. Sukunya tidak besar. Mendiami sisi selatan Kisar, di sana hanya ada seribuan jiwa. Ada 700 jiwa Oirata lagi di Desa Oirata Barat. "Kalau kurang dari 2.000 jiwa memang agak repot bagi bahasa itu untuk bisa bertahan," kata Soewarsono, sejawat Patji dalam penelitian ini.
"Biasanya bahasa minoritas ini terdesak bahasa yang lebih dominan karena jumlah penuturnya lebih banyak," ujarnya. Di Kisar, bahasa Oirata harus berhadapan dengan bahasa Indonesia yang digunakan birokrat dan pejabat kepolisian atau militer di kecamatan dan kabupaten. Oirata juga harus berhadapan dengan bahasa Melayu Ambon yang dibawa suku luar pulau.
Padahal orang Oirata juga mesti berhadapan dengan bahasa suku Maher, yang jumlah penuturnya lebih banyak, sekitar 12 ribu jiwa. Bahasa Maher bahkan sudah didapuk sebagai bahasa Kisar.
Kepala Desa Oirata Timur Benny Ratuhalono merasakan benar dominasi ini. "Orang Maher tidak tahu bahasa Oirata, tapi orang Oirata tahu bahasa Maher," katanya. Seperti Anis, Benny mencoba menjaga bahasanya dengan memakainya sehari-hari. "Kalau bertemu dengan orang luar, baru menggunakan bahasa Indonesia," ujarnya.Toh, ada yang lolos dari penjagaannya. Silakan menguji dengan menanyakan kepada orang Oirata soal asal-usul suku mereka. Orang Oirata itu akan membuka cerita dengan kalimat "katong pumoyang". Nah!
Frasa itu berarti "kita punya nenek moyang". Asal tahu saja, ini bahasa Melayu dialek Ambon.
Di Kisar, ada ancaman lain yang tak dijumpai di Beilel. "Perkembangan teknologi seperti televisi ikut mengancam," kata Patji. Perkembangan teknologi juga membuat orang Kisar-demikian pula penutur bahasa daerah lain, bahkan bahasa Indonesia-mempelajari kosakata baru.
Menurut Soewarsono, etnis minoritas juga selalu berusaha menjadi multilingual. Selain bisa berbahasa asli, mereka harus bisa berbahasa lain. "Orang yang lebih sedikit ini belajar bahasa yang penuturnya lebih banyak agar mereka bisa survive," katanya.
Nun di utara, ada suku Pagu, pemilik bahasa Pagu. Suku ini mendiami pulau di tepi terluar Indonesia di Halmahera Utara, Maluku Utara. Suku asli yang mendiami 13 desa di Teluk Kao itu sehari-hari menggunakan bahasa Melayu dialek Maluku Utara. Ke mana bahasa Pagu?
"Sejak 1980-an, bahasa Pagu sudah jarang digunakan," ujar Sangaji Pagu, Afrida Erna Ngato, 35 tahun. Sangaji dalam bahasa Pagu berarti kepala suku-terdengar gagah, bukan? Namun, menurut Afrida, orang-orang Pagu justru rendah diri terhadap bahasanya sendiri.
"Bahkan saat ngobrol dengan sesama orang Pagu," kata Afrida kepada Tempo. Penyebabnya adalah cap dari orang luar yang menyatakan orang yang berbahasa Pagu merupakan orang udik dan terbelakang.
Kini, obrolan antara orang tua dan generasi muda suku Pagu lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dialek Maluku Utara. "Bahkan sudah banyak anak muda Pagu yang tidak lagi bisa berbahasa Pagu," ujar Afrida.
"Kalaupun bahasa Pagu terdengar dipakai, itu hanya pada orang tua generasi 1970-an atau yang kini berumur 80 tahun," kata Afrida. Atau bila ada prosesi pernikahan, ritual adat, dan komunikasi rahasia. "Acara seperti itu memang harus memakai bahasa Pagu," ujarnya.
Tapi, karena anak-anak muda sudah tidak bisa berbahasa Pagu, orang-orang tua di atas 80 tahun saja yang bisa menuturkan bahasa Pagu dalam ritual-ritual tersebut. Ini kadang merepotkan, "Bila pada saat prosesi pernikahan tidak ada orang tua yang bisa menuturkan bahasa Pagu," kata Afrida. Beruntung, ritual dalam bahasa Pagu itu telah ditulis. "Ya, semacam buku doa kecil yang tinggal dibaca," ujarnya.
Buku mungkin solusi cerdik untuk Habolat. "Orang dari suku Beilel tinggal Pak Karim dengan sekitar tiga keluarga, dan yang bisa berbahasa Beilel hanya Pak Karim," kata Patji. Padahal, dalam ritual Beilel yang diikuti sekitar sembilan suku lain di Habolat, bahasa Beilel tidak bisa digantikan dengan bahasa lain. Mantra juga harus dibacakan oleh orang suku Beilel.
Ada setidaknya dua macam ritual penting suku ini. Di akhir tahun, ada upacara persembahan sebagai perwujudan rasa syukur atas keselamatan dan rezeki yang diterima warga Habolat selama setahun. Lalu sekali lagi ritual di setiap menjelang musim tanam. "Bila Pak Karim sudah meninggal, upacara ritual ini akan berakhir," ujar Patji.
Sebenarnya pengganti Karim sudah disiapkan. Ia bernama Rashid, 35 tahun. Tapi keponakan Karim itu sudah kosmopolit-lebih sering di perantauan, hingga ke Batam dan Medan. Tapi masih ada sedikit harapan. "Saya tanya dia apa mau merantau lagi, dia bilang masih mikir-mikir," kata Patji.
Nah, buku kumpulan mantra ala Pagu bisa menjadi solusi untuk Rashid, yang tak juga bisa menguasai bahasa Beilel. Barangkali nantinya Rashid tak mengerti arti mantra-mantra itu sebaik Karim. Ini juga terjadi di suku Pagu. "Banyak yang tidak mengerti arti doanya. Ya, jadinya sekadar membaca," kata Afrida. Untunglah Tuhan Maha Mengetahui.
Yosep Suprayogi, Iqbal Muhtarom, Mochtar Touwe (Maluku), Budhy Nurgianto (Maluku Utara), Yohanes Seo (Nusa Tenggara Timur)
Satu Bangsa, 756 Bahasa
Indonesia menjadi rumah bagi 756 bahasa. Jumlah ini sekitar 12 persen dari total bahasa di dunia dan terbanyak kedua setelah Papua Nugini.
Pada akhir abad ke-21, jumlah bahasa daerah di Indonesia diperkirakan bakal menciut menjadi tinggal 10 persennya. Penyebabnya: sebagian besar bahasa daerah itu memiliki penutur di bawah 1 juta orang. Bahasa daerah mana yang memiliki penutur terbanyak, dan mana yang tersedikit?
5 Terbesar
5 Terkecil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo