Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APABILA bicara tentang sastra (terutama puisi) dan media, saya mengingat gambaran dari sajak Rendra, tentang seorang penyaksi yang telah melihat sebuah peristiwa yang penting untuk diketahui oleh orang banyak, lalu ia hendak membuat kesaksian, ia hendak membangunkan orang-orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harga sebuah karya sastra ditentukan oleh seberapa penting nilai kesaksian dari peristiwa yang mendorong sastrawan untuk menuliskannya. Mutu sastra dengan demikian ditentukan oleh seberapa baik kesaksian itu digubah sehingga dia mampu membangunkan kesadaran orang sebanyak-banyaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya hendak mengaitkan penjelasan itu dengan apa yang disebut oleh Jacob Sumardjo dalam buku Sastra dan Massa (1995) sebagai sosialisasi sastra. Karya sastra ditulis untuk disiarkan. Kalau tidak, sama saja sastrawan itu dengan penulis buku harian yang menulis hanya untuk dia baca sendiri. Meskipun barangkali, bisa saja sebuah buku harian ketika diterbitkan (artinya disiarkan kepada khalayak) ia menjadi suara kesaksian yang menggugah banyak orang.
Apabila peristiwa kemanusiaan yang harus diberi kesaksian itu pada dasarnya selalu ada dari zaman ke zaman, sastrawan tak pernah selesai tugasnya sebagai penyaksi. Persoalannya adalah bagaimana cara dia menyiarkan suara kesaksiannya itu, bagaimana dia mensosialisasi karyanya.
Menurut Sumardjo, sistem sastra yang menggerakkan mekanisme sosialisasi sastra itu terdiri atas empat komponen, yaitu sastrawan yang melahirkan karya sastra; penerbit yang mau menyiarkannya; masyarakat sastra yang mau membelinya; dan maecenas sastra yang membantu pertumbuhan sastra dengan kecintaan dan kesadaran akan pentingnya sastra.
Bagaimana dengan kritikus dan peneliti sastra? "Itu hanya komponen pendamping," kata Sumardjo. Bagi dia, dengan komponen pokok yang empat itu saja mekanisme sastra sudah bisa berjalan. Saya tertarik untuk memasukkan kritikus dan peneliti ke dalam kelompok pembaca, tentu keduanya adalah pembaca yang berbeda, pembaca yang kritis dan analitis.
Sebagai seorang penulis, katakanlah begitu, saya ada juga terlibat dan bergerak dalam mekanisme dan sistem sastra itu. Saya menulis, menyiarkannya di berbagai medium yang terjangkau, berurusan dengan penerbit, sesekali dibantu oleh maecenas yang memungkinkan karya saya terbit sebagai buku dan beberapa sampai ke tangan pembaca.
Saya mulai menulis puisi dengan intens pada awal 2000-an. Pada tahun itu, media berbasis Internet mulai hadir menawarkan banyak kemungkinan, termasuk weblog atau blog, yaitu situs web pribadi, di mana saya bisa menyiarkan karya saya, segera setelah saya selesai menulisnya. Beberapa puisi dari blog personal itu saya kirim ke beberapa surat kabar atau majalah yang saya rasa cocok dan layak. Beberapa dimuat. Saya pun senang mendapat kiriman uang honorarium. Nilainya lumayan juga. Tapi sejak semula hingga kini pun bukan itu tujuan saya menulis dan mengirim karya.
Hasan Aspahani pada Malam Anugerah Sayembara Novel dan Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 22 Juli 2023. Dok. DKJ
Kenapa saya mengirim ke koran, majalah, atau media online yang saat itu satu-dua telah pula ada (salah satunya Cybersastra)? Saya menemukan satu rumusan. Menulis di blog pribadi bagi saya seperti pelukis yang bekerja di studio. Di situ si pelukis bebas saja memajang kanvas kosong, atau lukisan setengah jadi, atau membiarkan studionya berantakan. Apabila ada pengunjung yang datang ke blog saya, saya anggap itu seperti teman yang main ke studio.
Sedangkan mengirim ke media bagi saya seperti menyiapkan pameran di galeri. Saya harus datang dengan persiapan, dengan konsep. Tak semua karya saya harus dikirim untuk "dipamerkan". Dengan kesadaran itu, pada waktu itu dulu, saya sama sekali tak terganggu dengan ucapan seseorang yang mengatakan puisi di Internet itu sampah dan blog itu tempat sampah, hanya memuat karya buangan yang tak lolos di koran atau majalah.
Di blog saya (ada beberapa blog) masih tersimpan "sampah-sampah" yang dulu saya tulis. Beberapa telah saya tulis ulang, beberapa telah dibukukan. Beberapa menjadi semacam "daerah cagar", wilayah suaka sejarah perjalanan personal saya "mencatat kesaksian", mencoba-coba berbagai cara ucap. Begitu juga ketika media sosial mulai menggeser cara saya mensosialisasi karya. Saya ikut juga memanfaatkannya, mencoba mencari-cari kemungkinan estetika serta menjangkau pembaca lewat Twitter (kini X), Facebook, dan lain-lain.
Pada beberapa waktu terakhir ini saya asyik bermain dengan aplikasi Suno, dan menyiarkannya di Facebook. Suno adalah sebuah situs berbasis kecerdasan buatan (AI) yang sesuai dengan perintah kita, bisa menggubah puisi sebagai lirik menjadi lagu. Saya tak ingin menjadi pemusik atau penulis lagu. Bagi saya, ini seperti cara memberi tenaga dan suara baru bagi karya-karya saya untuk bicara kepada lebih banyak orang.
Internetisasi telah mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia, termasuk mendesak model bisnis media lama menjadi tak lagi relevan, sehingga puisi yang menumpang hidup di sana dianggap menjadi beban dan lekas-lekas disingkirkan.
Tapi Internet juga menyediakan pilihan berbagai hal, termasuk menyiarkan karya sastra untuk sampai ke pembaca, orang-orang yang saya bayangkan perlu untuk mendengarkan “kesaksian” saya. Kini telah hadir pula dengan agresif, wahana (terutama untuk prosa) bernama platform digital. Ini sebenarnya bisa dilihat sebagai peluang yang menarik. Ada kanal yang memperpanjang napas dan menawarkan alternatif jalan karya sampai ke pembaca dan tentu model-model lain monetisasi.
Pengelola atau pemilik platform ada pada posisi penerbit dalam sistem sosialisasi Sumardjo yang saya sebut di atas. Dia memungkinkan karya penulis sampai kepada pembaca, tapi di sini sastra tak lagi menjadi penumpang di koran atau majalah bukan sastra seperti nasib yang dilakoninya selama ini.
Tapi persoalan sosialisasi sastra mungkin tak sesederhana apa yang saya sampaikan di atas. Apalagi bila mekanisme itu kita tahu bekerja dalam sebuah ekosistem sastra yang terus-menerus terancam (atau dianggap begitu) oleh berbagai hal yang membuatnya tidak sehat, yang memungkinkannya terus tumbuh, sehat, dan berkembang.
Saya meyakini bentuk terbaik dari sosialisasi karya sastra adalah buku cetak, sebagaimana menonton film terbaik adalah di bioskop. Kenapa? Karena bukulah yang memungkinkan pelibatan paling maksimal dan saling mendukung dari komponen-komponen sosialisasi sastra yang pokok dan yang pendamping, dan itu membuat ekosistem sastra dinamis, sehat, dan berkembang.
Bagi sastrawan, ekosistem sastra yang sehat adalah di mana dia bisa hidup sejahtera sepenuhnya dari karyanya, dari upayanya membangunkan orang-orang dengan kesaksiannya. Di sinilah peran pemerintah sebagai maecenas menjadi sangat penting.
Kalau mau, banyak yang bisa dikerjakan untuk itu. Mengurangi pajak terkait dengan industri buku misalnya. Atau pemerintah bisa juga membeli buku-buku sastra bagus dengan anggaran dari Dana Abadi Kebudayaan atau mekanisme pendanaan lain untuk disebar agar tersedia cukup, dengan jumlah pilihan yang berlimpah bagi anak-anak sekolah.
Dukung mereka dengan kurikulum membaca yang baik, sehingga kelak merekalah yang menjadi pembaca. Secara bersamaan mereka menjadi kelompok besar “maecenas” dalam ekosistem sastra kita dan menjadi orang-orang yang punya kesadaran karena telah terbangunkan oleh kesaksian. Buku sastra yang baik adalah zat penting bagi pembangunan jiwa anak bangsa, sama pentingnya dengan makan bergizi gratis.
Jakarta, 6 Agustus 2024
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo