Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga sosok tampak berdialog. Sepasang di antaranya berdampingan memakai kostum superhero dari film fiksi Jepang. Sesosok lagi di hadapan mereka seperti pegulat, lengkap dengan topeng dan celana ketatnya yang bercorak ramai. Mereka membahas pemilihan presiden dan legislator.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Topik masalah juga melebar ke keresahan manusia karena ada yang hilang di alam. Mereka berharap masa seperti itu segera berakhir. Kondisinya ditunjukkan dengan ciri daun yang berguguran, kecebong dan kampret ribut, juga belalang masuk ke tanah. Selain itu, di pohon dan tembok banyak poster baliho wajah calon legislator yang mencari perhatian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perbincangan itu ditulis tangan dengan huruf kapital. Kalimatnya menempel di dinding kayu bagian luar sebuah rumah panggung kecil seukuran pos ronda. Tempat itu menjadi ruang pameran tunggal Bambang Trisunu alias Bebe yang berlangsung mulai 5 Januari hingga 5 Februari 2019. Selama masa itu, pengunjung hanya bisa datang pada Senin, Kamis, Sabtu, dan Minggu, dari pagi sampai sore.
Di sekitar gambar itu ikut menempel ramalan Mbah Semar, artefak serangga berbingkai kaca, serta beberapa permainan dan tempat yang hilang. Di bawahnya, di sela rerumputan, sekumpulan mainan dan boneka figur kecil-kecil ditempatkan di sebuah kotak meja kecil. "Anak-anak kampung pada ngambilin, jadi sekarang dilem," kata Bambang. Tulisan "Gemar Nyampah Loh Jinawi" melatarinya di sebidang papan kecil.
Pameran bertajuk "Jagad Leuit" ini hasil dari residensi, atau disebut program mondok (menginap), di Leuwigoeng, daerah Dago Pojok, Bandung. Pengelola tempat itu, seniman Prilla Tania dan suaminya, mengundang siapa pun yang ingin berbagi pemikiran, gagasan, pengetahuan, pengalaman, ataupun keahlian kepada khalayak, tidak hanya menyangkut seni.
Pendidikan, ketahanan pangan, dan pemulihan ekosistem menjadi beberapa tema garapan yang ditawarkan. Peminat disediakan fasilitas berupa ruang studio yang juga bisa digunakan sebagai pondokan, petak kebun, dan ruang pertemuan berupa saung untuk bereksplorasi atau melakukan presentasi.
Bebe tertarik dan tertantang. Ilustrator serta pegiat buku dan karya seni itu tinggal di sana sejak September 2018. Rencana kerjanya selama satu bulan buyar karena ada kegiatan lain. Situasi di lapangan juga sempat mengubah tema yang ingin dia angkat. "Tadinya terkait tanaman herbal yang tumbuh di sekitar sini," kata Bebe, Senin dua pekan lalu.
Sempat mendata dan mengidentifikasi beberapa tumbuhan, ia akhirnya batal melanjutkan. "Besoknya ada yang sudah hilang dibersihkan atau dibabat orang," ujar dia. Lokasi residensinya berdampingan dengan sekolah dan permukiman warga. Perhatiannya beralih ke sepasang leuit atau lumbung yang berdiri berdampingan. Bentuknya berupa rumah kayu kecil seukuran pos ronda, tempat petani sekitar menyimpan padi hasil panen di sawah.
Bebe menjadikan leuit kosong yang tak terpakai sebagai ruang kerjanya sekaligus galeri mini. Itu dunia kecilnya selama berkarya. Dalam pameran ini, ia menyajikan karya instalasi. Bentuknya antara lain berupa gambar (drawing) dan lukisan, karya kinetik sederhana, audio dan video, serta olahan benda temuan berupa mainan anak dan figur animasi.
Tema "Jagad Leuit" mengisahkan dunia kecil di tengah ingar bingar jagat luas, termasuk dunia maya, serta gilasan budaya pada masa kini. Menurut Prilla Tania, yang menjadi kurator, karya itu meramu pengetahuan seniman mengenai kearifan masyarakat tradisional, khususnya di Jawa. "Hasilnya dipadukan dengan pengalamannya selama residensi di tempat ini," kata Prilla, lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Lahir dan besar di Bandung, Bebe merupakan gambaran pemuda masa kini yang kesehariannya bergelut dengan hiruk pikuk dan kebisingan kota. Di tengah ketidakaturan yang mengelilinginya, jagad alit atau kecil itu mencari jalan untuk menyejajarkan diri dengan jagat raya. Awalnya dia menemukan jalan melalui cerita wayang, kemudian terus menggali lewat bacaan dan berbagai obrolan.
Dia menggunakan obyek temuan dan imajinasi populer untuk menggambarkan nilai-nilai tradisi yang adiluhung sehingga menghasilkan rupa yang khas. Di bagian luar leuit, Bebe mengangkat beberapa budaya yang tengah menuju kepunahan, seperti permainan anak yang digantikan dengan mainan plastik, juga pranata mangsa atau kalender pertanian tradisional yang tergerus oleh cara bertani modern.
Sementara itu, di bagian dalam leuit, Bebe menampilkan interpretasinya terhadap sedulur papat atau empat unsur alam, yaitu air, udara, api, dan tanah, yang merupakan bagian dari jagad alit setiap manusia. Ia menggambarkannya dengan lukisan bercorak komik juga ilustrasi penuh warna. Karya "Jagad Leuit", menurut Prilla, "mengingatkan kita pada sejarah manusia, budaya yang silih berganti, saling melengkapi, namun tidak jarang saling memusnahkan."
ANWAR SISWADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo