HEAD HUNTERS ABOUT THEMSELVES: AN ETHNOGRAPHIC REPORT FROM IRIAN
JAYA, INDONESIA.
Oleh: J.H.M.C. Boelaars.
Penerbit: Martinus Nijhoff, The Hage, 1981, 296 halaman.
ENTAH apa alasannya, maka Boelaars memilih gaya etnografi klasik
untuk menulis bukunya mengenai suku bangsa Jaqaj (baca:
"Ya'hrai'). Menurut J. van Baal, yang menulis pengantar kata
buku ini (hal. xiv), gaya itu adalah merupakan kekurangan dari
buku Boelaars. Pendapat saya kekurangan tersebut sekali-sekali
bukan merupakan kelemahan. Mengingat penulis telah berusaha
memperkuatnya dengan metode pendekatan ilmiah yang bersifat
emic, -- mempelajari suatu kebudayaan dari kebudayaan itu
sendiri, atau pendukungnya. Dan itu terlihat jelas dari judul
buku: Pengayau Mengenai Diri Mereka Sendiri.
Metode pendekatan emic ini menjadi penting karena dipergunakan
oleh penyebar agama seperti Dr. J. Boelaars -- yang datang ke
Irian Jaya dengan maksud mengubah kebudayaan (kepercayaan, adat
istiadat, dan lain-lain) dari penduduk di sana. Sebab selama ini
seorang peneliti kebudayaan lain sering mempergunakan kaca mata
sendiri.
Metode yang dipakai Boelaars dalam mengumpulkan bahan seperti
riwayat hidup, nyanyian perang, nyanyian duka cita, dan cerita
rakyat yang tergolong mitos, dipinjamnya dari cabang antropologi
dan psikologi -- yang kesemuanya menunjang pendekatan emic itu.
Sebab dengan metode-metode tersebut seorang peneliti dapat
mempelajari dinamika, atau motif yang melatarbelakangi tingkah
laku suku bangsa yang menjadi obyek penelitian.
Selain itu penelitian Boelaars lebih bersifat inventarisasi
kebudayaan dari suatu suku bangsa yang sedang mengalami
perubahan dari yang tradisional ke modern. Penelitian semacam
ini sangat penting karena tidak lama lagi kebudayaan "asli"
tersebut akan "lenyap". Perubahan ini tidak dapat kita cegah,
dan tidak boleh kita cegah, karena setiap suku bangsa di
Indonesia berhak untuk mengecap hidup sesuai dengan kemajuan
zaman. Dan adalah tugas para ahli antropologi Indonesia untuk
menginventarisasi dan mendokumentasi semua kebudayaan Nusantara,
seperti yang telah dilakukan Boelaars, sebelum "lenyap" dari
muka bumi.
Suku bangsa Jaqaj yang disajikan dalam buku ini bertempat
tinggal di daerah rawa-rawa yang terletak di antara Sungai Digul
dan Island. Daerah tersebut termasuk Distrik Mappi. Suku bangsa
ini sejak dulu kala terkenal sebagai orang-orang yang
mempraktekkan pengayauan dan kanibalisme.
Pemerintah kolonial Belanda, dibantu oleh penyebar agama
Katolik, menjelang Perang Dunia II telah mengusahakan mengubah
kebiasaan tersebut. Namun usaha yan belum tuntas itu terpaksa
dihentikan dengan meletusnya perang tersebut. Akibatnya,
penduduk yang baru mulai mengubah kebiasaan tersebut telah
memperoleh kesempatan untuk kembali ke adat lamanya. Sehingga
penyebar agama Katolik orde Misi Hati Kudus terpaksa memulai
usaha mereka dari permulaan lagi.
Boelaars ambil bagian pada kesempatan kedua ini -- sambil
meneliti etnografi dan linguistik suku bangsa tersebut. Hasil
penelitian, yang dilakukan antara tahun 1951-1956, diterbitkan,
dua tahun kemudian, sebagai etnografi yang belum lengkap. Karena
itu pada tahun 1967-1968 Boelaars kembali lagi ke Irian Jaya
melanjutkan pengumpulan bahannya, dan hasilnya adalah berupa
buku ini.
Selain melukiskan situasi lokasi, sistem kekerabatan, mata
pencaharian, lingkaran hidup (lahir, masa kanak-kanak, dewasa,
tua, sakit, dan mati), buku ini juga menceritakan praktek
pengayauan, mitos kejadian alam semesta, kepercayaan rakyat, dan
lain-lain. Yang paling menarik dari karya Boelaars ini adalah
keterangan mengenai adanya praktek homoseksualitas dalam bentuk
pederasti yang dilembagakan di sana. Lembaga ini mengingatkan
orang pada gembla' diantara para warok di Ponorogo.
Di antara orang Jaqaj, pria dewasa yang memelihara anak
laki-laki sebagai pacarnya disebut mo-e (ayah dubur), dan si
anak dipanggil mo-maq (anak dubur). Hubungan mereka selain dalam
hal seks juga bersifat ayah-putra. Dan hubungan ini direstui
oleh ayah kandung si anak yang mendapat upah untuk itu. Mungkin
lembaga ini timbul sebagai akibat adanya rumah adat untuk kaum
pria -- tempat anak laki-laki diserahkan kepada pria dewasa
untuk dididik segala yang ada hubungan dengan penghidupan.
James Danandjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini