Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Jaqaj sebelum disentuh hati kudus

Pengarang: j.h.m.c boelaars martinus nijhoff, 1981 resensi oleh: james danandjaja. (bk)

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HEAD HUNTERS ABOUT THEMSELVES: AN ETHNOGRAPHIC REPORT FROM IRIAN JAYA, INDONESIA. Oleh: J.H.M.C. Boelaars. Penerbit: Martinus Nijhoff, The Hage, 1981, 296 halaman. ENTAH apa alasannya, maka Boelaars memilih gaya etnografi klasik untuk menulis bukunya mengenai suku bangsa Jaqaj (baca: "Ya'hrai'). Menurut J. van Baal, yang menulis pengantar kata buku ini (hal. xiv), gaya itu adalah merupakan kekurangan dari buku Boelaars. Pendapat saya kekurangan tersebut sekali-sekali bukan merupakan kelemahan. Mengingat penulis telah berusaha memperkuatnya dengan metode pendekatan ilmiah yang bersifat emic, -- mempelajari suatu kebudayaan dari kebudayaan itu sendiri, atau pendukungnya. Dan itu terlihat jelas dari judul buku: Pengayau Mengenai Diri Mereka Sendiri. Metode pendekatan emic ini menjadi penting karena dipergunakan oleh penyebar agama seperti Dr. J. Boelaars -- yang datang ke Irian Jaya dengan maksud mengubah kebudayaan (kepercayaan, adat istiadat, dan lain-lain) dari penduduk di sana. Sebab selama ini seorang peneliti kebudayaan lain sering mempergunakan kaca mata sendiri. Metode yang dipakai Boelaars dalam mengumpulkan bahan seperti riwayat hidup, nyanyian perang, nyanyian duka cita, dan cerita rakyat yang tergolong mitos, dipinjamnya dari cabang antropologi dan psikologi -- yang kesemuanya menunjang pendekatan emic itu. Sebab dengan metode-metode tersebut seorang peneliti dapat mempelajari dinamika, atau motif yang melatarbelakangi tingkah laku suku bangsa yang menjadi obyek penelitian. Selain itu penelitian Boelaars lebih bersifat inventarisasi kebudayaan dari suatu suku bangsa yang sedang mengalami perubahan dari yang tradisional ke modern. Penelitian semacam ini sangat penting karena tidak lama lagi kebudayaan "asli" tersebut akan "lenyap". Perubahan ini tidak dapat kita cegah, dan tidak boleh kita cegah, karena setiap suku bangsa di Indonesia berhak untuk mengecap hidup sesuai dengan kemajuan zaman. Dan adalah tugas para ahli antropologi Indonesia untuk menginventarisasi dan mendokumentasi semua kebudayaan Nusantara, seperti yang telah dilakukan Boelaars, sebelum "lenyap" dari muka bumi. Suku bangsa Jaqaj yang disajikan dalam buku ini bertempat tinggal di daerah rawa-rawa yang terletak di antara Sungai Digul dan Island. Daerah tersebut termasuk Distrik Mappi. Suku bangsa ini sejak dulu kala terkenal sebagai orang-orang yang mempraktekkan pengayauan dan kanibalisme. Pemerintah kolonial Belanda, dibantu oleh penyebar agama Katolik, menjelang Perang Dunia II telah mengusahakan mengubah kebiasaan tersebut. Namun usaha yan belum tuntas itu terpaksa dihentikan dengan meletusnya perang tersebut. Akibatnya, penduduk yang baru mulai mengubah kebiasaan tersebut telah memperoleh kesempatan untuk kembali ke adat lamanya. Sehingga penyebar agama Katolik orde Misi Hati Kudus terpaksa memulai usaha mereka dari permulaan lagi. Boelaars ambil bagian pada kesempatan kedua ini -- sambil meneliti etnografi dan linguistik suku bangsa tersebut. Hasil penelitian, yang dilakukan antara tahun 1951-1956, diterbitkan, dua tahun kemudian, sebagai etnografi yang belum lengkap. Karena itu pada tahun 1967-1968 Boelaars kembali lagi ke Irian Jaya melanjutkan pengumpulan bahannya, dan hasilnya adalah berupa buku ini. Selain melukiskan situasi lokasi, sistem kekerabatan, mata pencaharian, lingkaran hidup (lahir, masa kanak-kanak, dewasa, tua, sakit, dan mati), buku ini juga menceritakan praktek pengayauan, mitos kejadian alam semesta, kepercayaan rakyat, dan lain-lain. Yang paling menarik dari karya Boelaars ini adalah keterangan mengenai adanya praktek homoseksualitas dalam bentuk pederasti yang dilembagakan di sana. Lembaga ini mengingatkan orang pada gembla' diantara para warok di Ponorogo. Di antara orang Jaqaj, pria dewasa yang memelihara anak laki-laki sebagai pacarnya disebut mo-e (ayah dubur), dan si anak dipanggil mo-maq (anak dubur). Hubungan mereka selain dalam hal seks juga bersifat ayah-putra. Dan hubungan ini direstui oleh ayah kandung si anak yang mendapat upah untuk itu. Mungkin lembaga ini timbul sebagai akibat adanya rumah adat untuk kaum pria -- tempat anak laki-laki diserahkan kepada pria dewasa untuk dididik segala yang ada hubungan dengan penghidupan. James Danandjaja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus