SIAPA bilang anak muda tidak sibuk? Renny Sudiro, misalnya,
punya jadwal yang padat setiap hari. Pagi ia ke sekolah seperti
layaknya anak muda sebayanya, 18 tahun, di salah satu SMA di
Jakarta Siang jalan-jalan bersama teman. Sore latihan berkuda.
Pulang ke rumah, sejenak hanya untuk ganti baju, terus keluar
lagi: cari makan atau ke disko -- salah satu hobinya selain
mancing di laut, bersilancar atau memonitor radio CB.
"Habis apa lagi hiburan di Jakarta, kalau bukan nonton atau ke
disko," ujar Renny. Di kantungnya terselip tiga kartu anggota
disko "berkelas" di Jakarta, Le Mirage di Hotel Sahid, Pitstop
di Hotel Sari Pasific dan Oriental di Hotel Hilton.
Biasanya, kata Renny, ia selalu ke disko berombongan. "Pakai 7
mobil dan bisa-bisa 4 gang sekaligus," tambahnya. Dan acara ke
disko itu merupakan acara rutin baginya. "Paling tidak tiga kali
seminggu," ujar anak perwira tinggi itu. Untuk kartu anggota di
Oriental, misalnya, Renny merogoh kantung tak kurang dari Rp
270 ribu setahun.
Remaja-remaja seperti Renny-lah yang membanjiri disko-disko dari
kelas atas sampai ke kelas bawah yang banyak di Ibukota ini.
Disko mana saja memamerkan suasana khas: musik yang hingar
bingar atau lampu yang menyentakkan mata di tengah keremangan
yang menghanyutkan. Puluhan pasangan muda meliuk-liuk mengikuti
berbagai macam irama keras sampai yang lembut. "Di sini memang
yang banyak anak-anak sekolah," ujar Magdalena, pramuria
Oriental memperkenalkan tamunya.
Menurut Magdalena, meski tamunya kebanyakan "anak tanggung" yang
rata-rata masih duduk di bangku sekolah, mereka sanggup membayar
tiket masuk saja Rp 10 ribu -- belum minumannya. "Anak-anak itu
biasanya tidak mesan minuman lagi. Mereka membeli wiski Johnny
Walker satu botol, dicampur Coca Cola, sisanya disimpan untuk
lain kali, sampai habis," ujar Magdalena.
Malam Minggu pekan lalu, anak-anak muda yang menamakan
kelompoknya jet set, memenuhi Oriental. "Kalau kita bilang sih
mereka disko-balita -- yang masuk anak-anak SMP," ujar Renny
sedikit mencibir.
Kalau Renny dan gang-nya keluar masuk disko, sebagian remaja
lain setiap malam menghabiskan waktunya di warung-warung roti
bakar, di dekat Bioskop Menteng. Di sini anak-anak muda "kelas
mobil" bermarkas. Setiap malam sekitar 10 klub mobil meramaikan
tempat ini. Ada VVC (Volkswagen Van Club), Civilian Jeep, Club,
Lancer Club, Toyota Land Cruiser Club, Jimny Highway Club,
Charade Club, Taft Club, bahkan Toyota Kijang Club. Selain itu
ada pula klub tanpa organisasi, seperti "gang merah", yang
anggotanya pemilik mobil segala macam merk, asal mau mengecat
merah mobilnya.
Malam Minggu, biasanya, setiap klub membentuk konvoi atau
sekadar nongkrong ramai-ramai di pinggir jalan. "Kegiatan itu
merupakan kebanggaan terhadap klub," ujar Ketua Umum Lancer Club
Kusye. Klubnya, yang baru diresmikan 27 Maret lalu, berhasil
menghimpun 100 anggota pemilik Mitsubishi Lancer. Setiap anggota
dipungut Rp 50 ribu, sebagai uang pangkal, dan iuran setiap
bulan Rp 10 ribu. "Sebagian besar anggota kami remaja," tambah
Kusye menjelaskan. Kegiatannya, antara lain, mau mengundang
ahli-ahli dari Jepang untuk berceramah bagaimana mengemudikan
mobil dengan baik.
Tapi, tak semua setuju. Untuk sementara "tempat itu adalah
tempat ngebut gelap," kata Legiman, seorang petugas polisi yang
menjaga pos sekitar Bioskop Menteng. Menjelang malam mereka
hanya minum-minum. Tapi, begitu jarum jam menunjuk angka 12,
mereka memulai aksi yang sebenarnya: memacu mobil. "Begitulah
anak-anak orang kaya melanggar ketertiban umum," ujar Legiman
yang mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi ia masih
bersyukur: mereka tidak berbuat kriminal.
Gaya hidup remaja yang lain ialah "cuap-cuap" di udara. Sebelum
terorganisasi dalam RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia) mereka
telah punya klub-klub sendiri. Misalnya scooby doo ACUH (Anti
Cowok Cewek Uang Hemat), KAS (Kebayoran Antik dan Sekitarnya),
atau Tiger. "Dengan radio kita banyak teman," ujar Eros, anggota
ORARI (Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia). Tapi untuk
sebuah perangkat CB yang lokal saja berharga Rp 200 ribu.
Rally adalah olah raga. Namun sering dituding sebagai "mainan
anak-anak bourjuis." Alasan: dianggap menghabiskan biaya banyak.
"Waktu memodifikasi mobil menjadi siap untuk rally, memang
banyak pengeluaran," kata Bali Taronto, 23 tahun, penggemar olah
raga ini. Selebihnya, katanya, memang hanya untuk "gaya-gayaan"
saja. Misalnya mengganti jok, knalpot, atau lampu, bisa keluar
uang Rp 1 juta. Mahal? "Itu soal kepuasan, tidak bisa dibilang
boros atau tidak boros," bantah Bali. Soalnya, tentunya, pada
mampu atau tidak.
Hobi yang tidak kalah banyak penganutnya di kalangan pelajar
sekarang ini adalah mondar-mandir di kompleks pertokoan mewah.
Seperti terlihat di Aldiron, Duta Merlin, atau plaza-plaza yang
lain. Tempat lain yang tidak lupa mereka kunjungi, adalah
restoran yang lagi ngetop seperti Tree Tops, di Menteng. Tempat
itu sejak beberapa tahun terakhir ini, memang tempat mangkal
populer di kalangan anak muda.
Sebelum 1982 tempat itu dicap tempat anak-anak muda memakai
"obat terlarang". Belum pernah, tapi diumumkan, "kalau sekarang
sih paling-paling mereka minum bir," ujar seorang anggota polisi
yang ditugaskan mengamankan tempat itu dari narkotik. Petugas
keamanan itu mengaku mengirim 4 orang pelajar eks Tree Tops ke
sel tahun lalu. Sejak itu tidak terlihat ada pamakaian obat
terlarang di sana.
Dalam penampilan juga perlu gaya tersendiri: Renny Sudiro,
misalnya, punya 70 pasang sepatu yang tersusun dalam rak
bertingkat tiga di rumahnya. Semua buatan Italia (asli) dengan
merk terkenal seperti Charles Jourdan, Sebastian, L' ulimo,
Gigogio Armani atau sepatu sport Nike. Selain sepatu, sekitar
1.000 potong baju tergantung berdesakkan di kamarnya -- dari
berbagai perancang serba luar negeri. "Satu-dua ada juga batik
Iwan Tirta atau baju Bali," ujar Renny.
Berapa uang saku yang didapat? Jangan kaget: Ada yang bilang Rp
200 ribu sebulan, untuk jajan dan nonton. Jika makan di Hilton
ada yang cukup menunjukkan credit card. Untuk ke disko ia sudah
membayar tahunan.
Tidak semua babe bisa membiayai anaknya bergaya seperti itu.
Tapi bukan berarti mereka kehilangan gaya. Seperti Siti (bukan
nama sebenarnya) yang suka nongkrong di Tree Tops, mengaku tidak
dapat uang jajan yang cukup banyak dari orangtuanya yang dinas
di Imigrasi. Katanya, setiap bulan ia cuma mendapat uang saku Rp
60 ribu." Uang itu digunakannya untuk jajan dan makan di luar.
Baru saja tamat SMA Sabtu pekan lalu, ia jarang pulang ke rumah
untuk makan siang. "Biasanya ke Jalan Sabang, Cikini atau Pasar
Baru," ujar Siti.
Remaja seperti Siti tidak mengungkapkan berapa biaya tambahan
untuk hidupnya selain uang saku dari orangtuanya. Tapi seorang
petugas keamanan Tree Top's punya cerita: Ada kelompok remaja,
yang uangnya pas-pasan tapi ingin bergaya, mendekati "oom-oom"
yang makan di restoran itu dan menyodorkan teman ceweknya
sebagai alat untuk memperoleh makanan gratis. Ada juga yang
meminta uang dengan alasan untuk membayar uang sekolah atau beli
buku. Bahkan ada juga di antara kelompok itu yang menyamar
sebagai anak sekolah dengan berseragam "SMA".
Pekan lalu, kepolisian Jakarta Utara membongkar praktek
sekelompok pelajar putri, terdiri dari 8 orang, yang mengaku
mengatur pertemuan dengan oom-oom di tempat-tempat yang top.
Polisi sudah lama mensinyalir "gaya hidup" mewah itu pula yang
membuat banyak anak muda terlibat kejahatan.
Gaya hidup yang serba "wah" juga melanda kota-kota lain. Di
Medan, misalnya, ada klub anak muda bermobil JJS -- mereka sebut
ji-ji-es -- singkatan dari "Jalan-jalan Sore. Anggotanya
rata-rata anak orang kaya -- ukuran Medan. "Jangan harap anak
orang yang tidak mampu ikut ji-ji-es," ujar Othan Siahaan, 17
tahun, pelajar kelas II SMA Immanuel, Medan.
Kegiatan JJS itu, seperti anak Jakarta, setiap sore berkonvoi
keliling kota dan juga rajin ke disko atau bar malam harinya.
Tapi, kata Othan, biasanya kelompoknya itu tidak memesan minuman
mahal. "Cukup sejenis Fanta saja. Yang penting apa yang dicampur
dalam minuman itu. Baru itu namanya main," kata Othan. Rupanya
mereka mencampurkan "sesuatu" pada minuman mereka.
Gejala semacam itu, kata Doddy Yudhista, mahasiswa FHUI di
Jakarta yang mengkhususkan diri pada penelitian "gaya hidup"
remaja, sudah menular sampai ke kota-kota kecil, seperti
Purbalingga (Jawa Tengah), Manokwari (Irian Jaya) atau di Kupang
(NTT). Di kota pelajar Yogya, katanya, banyak pelajar dengan
tenang mengisap ganja dan minum alkohol di Colombo Disco.
"Sepertinya ganja itu tidak telarang lagi," ujar Doddy, yang
baru meneliti kehidupan remaja di kota itu.
Tapi, di balik semua itu, tetap lebih banyak remaja yang tidak
terkena erosi. Sebuah surat pembaca Doddy yang dimuat harian di
Kompas, 3 Februari, yang memuat kritik terhadap gaya hidup
remaja, mendapat tanggapan dari sekitar 1.000 remaja dari segala
penjuru.
Segelintir dari mereka, yang memang bergaya "wah" tentu saja
memaki Doddy. Tapi sebagian besar mendukung kritiknya. Yang
lebih menggembirakan, ada yang ingin membuktikan, banyak di
antara remaja Indonesia yang sederhana -- mempunyai kegiatan
positif dan tentu saja tetap harapan bangsa: "Yakinlah, masih
banyak rekan-rekan kita yang belum pernah menginjak bar atau
tempat-tempat disko..." tulis Nina seorang remaja Bandung
meyakinkan Doddy. Tentu. Sebagian besar bangsa Indonesia memang
tidak mampu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini