Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Gaya hidup "wah", tapi bukan....

Gaya hidup remaja masa kini: dari restoran mewah ke disko. ada klub-klub mobil mewah. atau punya 70 pasang sepatu buatan italia. biayanya untuk bergaya jutaan rupiah. tapi masih banyak remaja yang sederhana.

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA bilang anak muda tidak sibuk? Renny Sudiro, misalnya, punya jadwal yang padat setiap hari. Pagi ia ke sekolah seperti layaknya anak muda sebayanya, 18 tahun, di salah satu SMA di Jakarta Siang jalan-jalan bersama teman. Sore latihan berkuda. Pulang ke rumah, sejenak hanya untuk ganti baju, terus keluar lagi: cari makan atau ke disko -- salah satu hobinya selain mancing di laut, bersilancar atau memonitor radio CB. "Habis apa lagi hiburan di Jakarta, kalau bukan nonton atau ke disko," ujar Renny. Di kantungnya terselip tiga kartu anggota disko "berkelas" di Jakarta, Le Mirage di Hotel Sahid, Pitstop di Hotel Sari Pasific dan Oriental di Hotel Hilton. Biasanya, kata Renny, ia selalu ke disko berombongan. "Pakai 7 mobil dan bisa-bisa 4 gang sekaligus," tambahnya. Dan acara ke disko itu merupakan acara rutin baginya. "Paling tidak tiga kali seminggu," ujar anak perwira tinggi itu. Untuk kartu anggota di Oriental, misalnya, Renny merogoh kantung tak kurang dari Rp 270 ribu setahun. Remaja-remaja seperti Renny-lah yang membanjiri disko-disko dari kelas atas sampai ke kelas bawah yang banyak di Ibukota ini. Disko mana saja memamerkan suasana khas: musik yang hingar bingar atau lampu yang menyentakkan mata di tengah keremangan yang menghanyutkan. Puluhan pasangan muda meliuk-liuk mengikuti berbagai macam irama keras sampai yang lembut. "Di sini memang yang banyak anak-anak sekolah," ujar Magdalena, pramuria Oriental memperkenalkan tamunya. Menurut Magdalena, meski tamunya kebanyakan "anak tanggung" yang rata-rata masih duduk di bangku sekolah, mereka sanggup membayar tiket masuk saja Rp 10 ribu -- belum minumannya. "Anak-anak itu biasanya tidak mesan minuman lagi. Mereka membeli wiski Johnny Walker satu botol, dicampur Coca Cola, sisanya disimpan untuk lain kali, sampai habis," ujar Magdalena. Malam Minggu pekan lalu, anak-anak muda yang menamakan kelompoknya jet set, memenuhi Oriental. "Kalau kita bilang sih mereka disko-balita -- yang masuk anak-anak SMP," ujar Renny sedikit mencibir. Kalau Renny dan gang-nya keluar masuk disko, sebagian remaja lain setiap malam menghabiskan waktunya di warung-warung roti bakar, di dekat Bioskop Menteng. Di sini anak-anak muda "kelas mobil" bermarkas. Setiap malam sekitar 10 klub mobil meramaikan tempat ini. Ada VVC (Volkswagen Van Club), Civilian Jeep, Club, Lancer Club, Toyota Land Cruiser Club, Jimny Highway Club, Charade Club, Taft Club, bahkan Toyota Kijang Club. Selain itu ada pula klub tanpa organisasi, seperti "gang merah", yang anggotanya pemilik mobil segala macam merk, asal mau mengecat merah mobilnya. Malam Minggu, biasanya, setiap klub membentuk konvoi atau sekadar nongkrong ramai-ramai di pinggir jalan. "Kegiatan itu merupakan kebanggaan terhadap klub," ujar Ketua Umum Lancer Club Kusye. Klubnya, yang baru diresmikan 27 Maret lalu, berhasil menghimpun 100 anggota pemilik Mitsubishi Lancer. Setiap anggota dipungut Rp 50 ribu, sebagai uang pangkal, dan iuran setiap bulan Rp 10 ribu. "Sebagian besar anggota kami remaja," tambah Kusye menjelaskan. Kegiatannya, antara lain, mau mengundang ahli-ahli dari Jepang untuk berceramah bagaimana mengemudikan mobil dengan baik. Tapi, tak semua setuju. Untuk sementara "tempat itu adalah tempat ngebut gelap," kata Legiman, seorang petugas polisi yang menjaga pos sekitar Bioskop Menteng. Menjelang malam mereka hanya minum-minum. Tapi, begitu jarum jam menunjuk angka 12, mereka memulai aksi yang sebenarnya: memacu mobil. "Begitulah anak-anak orang kaya melanggar ketertiban umum," ujar Legiman yang mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi ia masih bersyukur: mereka tidak berbuat kriminal. Gaya hidup remaja yang lain ialah "cuap-cuap" di udara. Sebelum terorganisasi dalam RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia) mereka telah punya klub-klub sendiri. Misalnya scooby doo ACUH (Anti Cowok Cewek Uang Hemat), KAS (Kebayoran Antik dan Sekitarnya), atau Tiger. "Dengan radio kita banyak teman," ujar Eros, anggota ORARI (Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia). Tapi untuk sebuah perangkat CB yang lokal saja berharga Rp 200 ribu. Rally adalah olah raga. Namun sering dituding sebagai "mainan anak-anak bourjuis." Alasan: dianggap menghabiskan biaya banyak. "Waktu memodifikasi mobil menjadi siap untuk rally, memang banyak pengeluaran," kata Bali Taronto, 23 tahun, penggemar olah raga ini. Selebihnya, katanya, memang hanya untuk "gaya-gayaan" saja. Misalnya mengganti jok, knalpot, atau lampu, bisa keluar uang Rp 1 juta. Mahal? "Itu soal kepuasan, tidak bisa dibilang boros atau tidak boros," bantah Bali. Soalnya, tentunya, pada mampu atau tidak. Hobi yang tidak kalah banyak penganutnya di kalangan pelajar sekarang ini adalah mondar-mandir di kompleks pertokoan mewah. Seperti terlihat di Aldiron, Duta Merlin, atau plaza-plaza yang lain. Tempat lain yang tidak lupa mereka kunjungi, adalah restoran yang lagi ngetop seperti Tree Tops, di Menteng. Tempat itu sejak beberapa tahun terakhir ini, memang tempat mangkal populer di kalangan anak muda. Sebelum 1982 tempat itu dicap tempat anak-anak muda memakai "obat terlarang". Belum pernah, tapi diumumkan, "kalau sekarang sih paling-paling mereka minum bir," ujar seorang anggota polisi yang ditugaskan mengamankan tempat itu dari narkotik. Petugas keamanan itu mengaku mengirim 4 orang pelajar eks Tree Tops ke sel tahun lalu. Sejak itu tidak terlihat ada pamakaian obat terlarang di sana. Dalam penampilan juga perlu gaya tersendiri: Renny Sudiro, misalnya, punya 70 pasang sepatu yang tersusun dalam rak bertingkat tiga di rumahnya. Semua buatan Italia (asli) dengan merk terkenal seperti Charles Jourdan, Sebastian, L' ulimo, Gigogio Armani atau sepatu sport Nike. Selain sepatu, sekitar 1.000 potong baju tergantung berdesakkan di kamarnya -- dari berbagai perancang serba luar negeri. "Satu-dua ada juga batik Iwan Tirta atau baju Bali," ujar Renny. Berapa uang saku yang didapat? Jangan kaget: Ada yang bilang Rp 200 ribu sebulan, untuk jajan dan nonton. Jika makan di Hilton ada yang cukup menunjukkan credit card. Untuk ke disko ia sudah membayar tahunan. Tidak semua babe bisa membiayai anaknya bergaya seperti itu. Tapi bukan berarti mereka kehilangan gaya. Seperti Siti (bukan nama sebenarnya) yang suka nongkrong di Tree Tops, mengaku tidak dapat uang jajan yang cukup banyak dari orangtuanya yang dinas di Imigrasi. Katanya, setiap bulan ia cuma mendapat uang saku Rp 60 ribu." Uang itu digunakannya untuk jajan dan makan di luar. Baru saja tamat SMA Sabtu pekan lalu, ia jarang pulang ke rumah untuk makan siang. "Biasanya ke Jalan Sabang, Cikini atau Pasar Baru," ujar Siti. Remaja seperti Siti tidak mengungkapkan berapa biaya tambahan untuk hidupnya selain uang saku dari orangtuanya. Tapi seorang petugas keamanan Tree Top's punya cerita: Ada kelompok remaja, yang uangnya pas-pasan tapi ingin bergaya, mendekati "oom-oom" yang makan di restoran itu dan menyodorkan teman ceweknya sebagai alat untuk memperoleh makanan gratis. Ada juga yang meminta uang dengan alasan untuk membayar uang sekolah atau beli buku. Bahkan ada juga di antara kelompok itu yang menyamar sebagai anak sekolah dengan berseragam "SMA". Pekan lalu, kepolisian Jakarta Utara membongkar praktek sekelompok pelajar putri, terdiri dari 8 orang, yang mengaku mengatur pertemuan dengan oom-oom di tempat-tempat yang top. Polisi sudah lama mensinyalir "gaya hidup" mewah itu pula yang membuat banyak anak muda terlibat kejahatan. Gaya hidup yang serba "wah" juga melanda kota-kota lain. Di Medan, misalnya, ada klub anak muda bermobil JJS -- mereka sebut ji-ji-es -- singkatan dari "Jalan-jalan Sore. Anggotanya rata-rata anak orang kaya -- ukuran Medan. "Jangan harap anak orang yang tidak mampu ikut ji-ji-es," ujar Othan Siahaan, 17 tahun, pelajar kelas II SMA Immanuel, Medan. Kegiatan JJS itu, seperti anak Jakarta, setiap sore berkonvoi keliling kota dan juga rajin ke disko atau bar malam harinya. Tapi, kata Othan, biasanya kelompoknya itu tidak memesan minuman mahal. "Cukup sejenis Fanta saja. Yang penting apa yang dicampur dalam minuman itu. Baru itu namanya main," kata Othan. Rupanya mereka mencampurkan "sesuatu" pada minuman mereka. Gejala semacam itu, kata Doddy Yudhista, mahasiswa FHUI di Jakarta yang mengkhususkan diri pada penelitian "gaya hidup" remaja, sudah menular sampai ke kota-kota kecil, seperti Purbalingga (Jawa Tengah), Manokwari (Irian Jaya) atau di Kupang (NTT). Di kota pelajar Yogya, katanya, banyak pelajar dengan tenang mengisap ganja dan minum alkohol di Colombo Disco. "Sepertinya ganja itu tidak telarang lagi," ujar Doddy, yang baru meneliti kehidupan remaja di kota itu. Tapi, di balik semua itu, tetap lebih banyak remaja yang tidak terkena erosi. Sebuah surat pembaca Doddy yang dimuat harian di Kompas, 3 Februari, yang memuat kritik terhadap gaya hidup remaja, mendapat tanggapan dari sekitar 1.000 remaja dari segala penjuru. Segelintir dari mereka, yang memang bergaya "wah" tentu saja memaki Doddy. Tapi sebagian besar mendukung kritiknya. Yang lebih menggembirakan, ada yang ingin membuktikan, banyak di antara remaja Indonesia yang sederhana -- mempunyai kegiatan positif dan tentu saja tetap harapan bangsa: "Yakinlah, masih banyak rekan-rekan kita yang belum pernah menginjak bar atau tempat-tempat disko..." tulis Nina seorang remaja Bandung meyakinkan Doddy. Tentu. Sebagian besar bangsa Indonesia memang tidak mampu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus