MENGAPA saudara membunuh? "Saya butuh uang." Untuk apa? "Saya ingin punya Honda Bebek." Lalu? "Ya, karena saya tidak bekerja, saya bunuh dia, sebagai jalan pintas dan aman." Begitu antara lain tanya-jawab antara wartawan TEMPO di Jawa Timur, M. Baharun, dan Puji Hadiatmoko di tempat tahanan di Kantor Kepolisian Malang. Dari tanya-jawab tersebut terkorek cerita kejam ini. Puji, 22 tahun, tidak menyangkal tuduhan membunuh Jayus, Soenarto, Watik, dan terakhir Soejadi, yang dapat diselamatkan dari penjagalan Senin pekan lalu. Pagi itu, sekitar pukul 10, Desa Jeru di kaki Gunung Semeru yang masih termasuk Kabupaten Malang, sepi ditinggalkan penduduknya ke sawah, ke kantor atau ke pasar. Komari baru saja hendak memulai pekerjaannya, menggergaji kayu, ketika ia mendengar seseorang berteriak minta tolong. Komari, salah satu jago silat di desa itu, langsung mencelat mengikuti arah jeritan yang ternyata mengantarkannya ke rumah Puji. Pintu depan terkunci. Begitu pula pintu samping. Komari lalu menerjang sebuah jendela ruang tengah. Di situ tidak ditemui apa-apa. Tapi dari ruang belakang terdengar suara helaan-helaan napas keras. Rupanya di situ tengah terjadi perkelahian. Puji terlihat berada di atas tubuh Soejadi yang terjengkang. Salah satu tangan Puji mencekik dan yang lain menghunjamkan sebatang besi ke perut Soejadi. Komari, tidak tahu harus membela siapa, hanya melerai pertarungan tersebut. Soejadi, yang kepalanya berlumur darah, digotongnya ke puskesmas. Kemudian ia melaporkan Puji ke kantor polisi setempat. Letnan Goentoer memeriksa Puji dengan lemah lembut. Sambil menangis Goentoer mengungkit-ungkit riwayat hidup anak muda yang diperiksanya itu. Puji, katanya, adalah korban rumah tangga yang berantakan: ayah-ibunya berpisah, masing-masing telah berkeluarga lagi, sehingga Puji telantar hidupnya. Terpukau oleh cerita polisi tentang dirinya, Puji menangis, lalu merangkul dan berbisik ke telinga orang tua tersebut: "Saya berdosa, Pak. Saya telah membunuh teman saya, Jayus." Letnan Goentoer tersentak tidak menyangka bahwa bujukannya dapat mencairkan hati pesakitannya, anak muda yang baru menyelesaikan SMA-nya dua tahun lalu, yang penuh rahasia kejam. Dua jam setelah pengakuan Puji, dini hari 26 April lalu polisi memeriksa rumah tersangka, dan menemui keadaan yang mengerikan. Bercak-bercak darah yang telah menghitam terlihat di sana-sini. Dari sebuah lubang dinding kamar sepen, polisi dapat ke WC, dan di situ ditemukan sepotong pipa besi, sepotong kayu kopi, dan seonggok tanah. Dan di lubang itulah mayat Jayus, tukang foto keliling, busuk melingkar. Dan ternyata tidak hanya Jayus yang jadi korban. Berturut-turut Puji bercerita tentang Watik Mustainah, istri tetangganya, Matali, yang berumur 25 tahun. Juga tentang Soenarto, 25 tahun, tukang foto keliling. Seperti halnya nasib Jayus, dua orang tersebut dinyatakan hilang oleh keluarganya, dan ditemukan kemudian di lubang WC di rumah tersangka. Jayus, 27 tahun, menurut Puji dibunuhnya 20 Januari lalu ketika korban datang bertamu. Tidak ada dendam sebelumnya katanya, kecuali keinginannya yang kuat untuk memiliki Honda Bebek -- yang kemudian dijualnya dengan harga Rp 245 ribu -- dan sebuah kamera milik korban. Terhadap Soenarto, yang dibunuhnya 23 Februari lalu, tidak lain Puji juga menginginkan Honda Bebek milik korban kedua tersebut. Sepeda motor itu kemudian dicat hitam sebelum dipakainya mengikuti lomba motor cross di tingkat kecamatan. Selesai perlombaan -- di situ Puji merebut piala III -- kendaraan itu dijualnya Rp 240 ribu. Korban ketiga adalah Watik, yang dianiaya hingga mati pada 18 Maret lalu, lantaran Puji tergoda oleh gelang, kalung, dan giwang perempuan itu yang bernilai sekitar Rp 125 ribuan. Belakangan Puji mengatakan terus-terang bahwa ketika itu ia ingin beli walkman. Soejadi, korban keempat, tertolong. Hanya tiga hari menginap di puskesmas, dia bercerita, akrab dengan Puji yang dikenalnya sekitar 8 bulan lalu. Tukang kredit itu diundang Puji, katanya, sekadar "ngomong soal cewek". Lalu Puji meminjam sepeda motor dan arlojinya sambil memintanya menunggui rumah barang sebentar. Tidak lama, begitu cerita Soejadi, Puji kembali. Tapi, begitu mengagetkan, Puji memukul kepalanya dari belakang dengan sepotong besi -- untung meleset dan hanya mengenai bahunya. Puji menyerangnya kembali, membabi-buta, sampai membuatnya terjungkal. Untung ia masih sempat berteriak minta tolong. Sudah tentu kisah tentang "jagal dari kaki Gunung Semeru" itu mengkoyak-koyak kesunyian desa sejuk yang terletak sekitar 600 m di atas permukaan laut. Selama empat hari penduduk sekitar desa tersebut berduyun-duyun menyaksikan lubang maut di rumah Puji. Kebanyakan dari mereka memang mengenal tersangka tersebut. Sejak orangtuanya bercerai 4 tahun lalu Puji tinggal bersama adiknya, Lestari Widodo dan Supriyo Slamet, yang masih duduk di SMP. Lulus SMA, jurusan IPS, anak muda ini luntang-lantung -- setelah dua kali gagal ujian perintis di Surabaya. Ibunya, Nyonya Syamsudin, mendadak tidak bisa berjalan ketika mendengar cerita-cerita tentang anaknya -- yang keempat dari enam orang yang dilahirkannya itu. "Mudah-mudahan dia bukan pembunuh. Tapi, kalau memang dia bersalah, . . . saya relakan," katanya tersedu, menunggu hasil pemeriksaan polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini