Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Anda Keturunan Asing?

Pendaftaran kembali WNI keturunan tionghoa berhubungan erat dengan pencairan kembali hubungan diplomatik RI-RRC. WNI keturunan tionghoa diharuskan memiliki formulir k-1.

3 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAWEDI, 50 tahun, tinggal di Jakarta, sekitar 2 tahun mengalami kesulitan ketika mendaftarkan sekolah anaknya. Si anak diharuskan menyerahkan Surat Kewargaan Negara. Padahal selama ini ia merasa warganegara. Sawedi yang berkulit tidak kuning dan kelahiran Tegal itu pun lantas menanyakan soalnya ke sebuah instansi. Ia mengenakan seragam ABRI, sebab sejak 1951 ia memang anggota ABRI. Dan 2 tahun lalu ia berpangkat Peltu. Tapi betapa kecewanya ketika seorang pejabat bilang: "Sudahlah pak, buat apa bapak mengurus persoalan orang Cina." Sampai sekarang, Peltu Sawedi d/h l.iem Bie Thay maupun keluarganya memang tidak punya Surat Kewargaan Negara. Tahun 1960, ia pernah menanyakan persoalan tersebut kepada atasannya. Tapi ketika itu atasannya berkata: "Kamu tidak memerlukan surat seperti itu. Apalagi kamu kan anggota ABRI." Itu cerita M.H. Husino d/h Oh Sing Hong, 75 tahun, kelahiran Yogya. Bekas Pemimpin Redaksi harian Siang Po di Jakarta aman sebelum proklamasi dan anggota delegasi buruh Indonesia ke sidang ILO itu kini banyak menulis dan mempersoalkan kesulitan para WNI keturunan Tionghoa sehubungan dengan keharusan memiliki surat-surat kewargaan negara, Husino sendiri juga punya pengalaman seperti itu. Suatu hari ia diharuskan memperlihatkan STMD alias Surat Tanda Melaporkan Diri. Karena tidak punya, ia harus berurusan dengan polisi. Seorang WNI keturunan Tionghoa lainnya, kelahiran Jawa Tengah, sudah sejak semula berusaha mendidik anak-anaknya sebagai orang Indonesia. Di rumah, tradisi Cina hampir-hampir sudah tidak ada. Selain namanya sudah ganti, juga tidak ada misalnya panggilan engko untuk kakak. Tapi suatu hari, ada anaknya yang diejek oleh teman-teman sepermainannya sebagai Cina. Tak bisa lain bagi orangtuanya kecuali menjelaskan "Ya, kamu memang Cina tapi warganegara Indonesia." Pengalaman Harry Tjan, anggota Dewan Pertimbangan Agung, setali tiga uang. Ia terpaksa menunjukkan Surat Kewargaan Negara setiap kali mengurus KTP di kelurahan atau mengurus surat-surat lain, misalnya mendaftarkan sekolah anaknya. Perlakuan seperti itu menurutnya "sangat menyinggung perasaan. " Menyinggung atau tidak, perkara seperti itu, bulan-bulan terakhir ini kembali dialami oleh para warganegara keturunan Tionghoa di DKI. Mereka diharuskan memiliki selembar Surat Keterangan Pelaporan WNI yang menyatakan tidak terdaftar sebagai orang asing, yang lazimnya disebut Formulir K-I. Sampai akhir pekan lalu masih banyak yang antri sejak pagi di Dinas Pendaftaran Kependudukan Jalan Kebon Sirih. Sebuah tim yang berkantor di satu ruangan Kejaksaan Agung RI juga punya kegiatan penelitian data penduduk WNI dan WNA keturunan Tionghoa. Setiap hari puluhan orang datang ke sana. Di dinding terpampang pengumuman yang antara lain menyebutkan untuk penelitian data kependudukan ini diharuskan membayar Rp 3.000 per orang untuk biaya administrasi tidak diperkenankan menguasakan urusannya kepada orang lain atau biro jasa tidak diperkenankan memberi imbalan kepada petugas. Karena penelitian kembali ini menyangkut semua keturunan Tionghoa yang sudah menjadi warga negara, K. Sindhunata, Ketua Umum Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom-PKB) merasa perlu bertemu dengan Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Keberatan itu antara lain karena selama ini mereka merasa sudah menjadi warga negara. Apalagi pendaftaran itu juga tidak mengecualikan anak-anak WNI Keturunan Asing yang masih di bawah umur. Padahal mestinya, sebagai anak dari orangtua yang sudah WNI, otomatis mereka juga WNI. Panjang Tapi menurut Bachtiar, Kepala Dinas Pendaftaran Kependudukan DKI, hal itu tidak ada kaitannya dengan masalah kewargaan negara. Akan halnya anak-anak itu, kata Bachtiar, "memang tetap sah sebagai WNI, hanya karena orangtuanya WNI Keturunan Asing, mereka pun terkena peraturan tersebut." Dan hanya dengan formulir itulah mereka bisa mendapatkan KTP. Untuk mendapatkan formulir tersebut harus pula membawa surat-surat lain seperti Surat Bukti Kewargaan Negara, Akte Kelahiran dari kantor Catatan Sipil, Surat Keterangan Ganti Nama. Keringanan sedikit bagi anak yang lahir di Jakarta hanya diperlukan surat ke-WNI-an orangtua, Akte Kelahiran dan Kartu Keluarga. Susahnya, tak semua WNI Keturunan Tionghoa memiliki surat-surat lengkap. Apalagi mereka yang lahir di sini dan merasa sudah menjadi warganegara sejak lama. Tidak heran bila hal itu membuka kemungkinan komersialisasi jabatan seperti dikatakan oleh Harry Tjan pekan lalu. Pendaftaran yang untuk kesekian kalinya itu, menurut anggota DPA itu juga dinilainya menjengkelkan. "Saya dengar katanya ini pendaftaran terakhir. Tapi siapa bisa menjamin bahwa ini yang terakhir?" kata Harry. Ada pula beberapa orang yang harus menghadapi pertanyaan yang cukup panjang. Menurut M.H. Husino, pertanyaan yang diajukan misalnya: punya modal berapa, teman baik di ABRI siapa, familinya berapa dan siapa saja, asalusulnya bagaimana, berapa famili yang di luar negeri. Kalau ada famili yang meninggal juga harus ditunjukkan surat kematiannya. Dan sebagainya. Untuk apa sebenarnya semua kegiatan ini, beberapa sumber yang dihubungi TEMPO enggan memberi penjelasan. Baik Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan maupun kalangan DKI. Tapi dari pernyataan Menteri Kehakiman Moedjono pekan lalu menjelaskan bahwa pendataan dan penelitian ini ada hubungannya dengan penjajagan kemungkinan normalisasi hubungan diplomatik RI-RRC. Menteri Kehakiman Moedjono pada peringatan ulang-tahun ke 29 Imigrasi di Ditjen Imigrasi Jakarta bahkan menegaskan perlunya peningkatan penanganan orang-orang Tionghoa di sini "karena sangat penting dalam menjajagi kemungkinan pencairan hubungan diplomatik Rl-RRC." Moedjono juga berharap agar jangan lagi terdapat orangorang Tionghoa yang "le sini hukan, ke sana pun bukan tapi jelas sebagai WNI sungguh-sungguh atau bukan." Tjuo Sangi Ing Pada 1977 memang telah turun Kepres No. 52 tentang pendaftaran penduduk. Dalam Keputusan Presiden itu disebut, bahwa "pendaftaran penduduk di Indonesia belum terlaksana dengan baik." Tiga bulan kemudian, akhir 1977 turun petunjuk pelaksanaannya dari Menteri Dalam Negeri, berupa Instruksi Mendagri No. XO1, memuat tahapan pendaftaran . Selambat-lambatnya 31 Maret 1978 orang asing dan penduduk sementara sudah terdaftar. Dan selambat-lambatnya 31 Desember 1978 semua WNI Keturunan Asing sudah terdaftar. Begitu pula "penduduk yang belum terdaftar" yang barangkali dimaksud sebagai penduduk WNI yang bukan keturunan asing. Selain itu juga disebutkan agar dalam Kartu Keluarga dan KTP WNI Keturunan Asing disebutkan tanggal dan nomor Surat Kewargaan Negara (SBK). Perhatian yang khusus terhadap WNI Keturunan Asing dalam instruksi tersebut diam-diam menimbulkan reaksi. Orang seperti M.H. Husino misalnya menilai bahwa hal itu bertentangan dengan pasal 27 UUD '45 yang menegaskan persamaan hak dan kewajiban bagi semu warganegara -- baik pribumi maupu non pribumi. Pengertian pribumi dan non pribumi asli atau peranakan, dalam UUD 45 sendiri tidak dikenal. Bahkan seorang anggota DPR dan tokoh '45 punya penafsiran yang menarik atas pasal 6 ayat UUD '45, yang menyebut "Presiden ialah orang Indonesia asli." Menurut tokoh itu, Sayuti Melik, 71 tahun, ada latar belakang sejarahnya. Menurut anggota F-KP itu, dalam sidang Tjuo Sangi In -- semacam dewan perwakilan di zaman Jepang -- Pemerintah Balatentara Da Nippon menghendaki agar Kepala Negara Indonesia yang bakal merdeka adalah orang Jepang keturunan Kaisar Tenno Haika. Nah, untuk menolak gagasan Jepang itulah, sebagian besar anggota sidang merumuskan "orang Indonesia asli" sebagai Kepala Negara. Menurut Sayut Melik, ketika itu tidak ada pikiran bahwa pengertian "asli" dimaksudkan ada hubungannya dengan ras. "Tapi semata mata untuk membedakannya dengar orang Jepang. Pokoknya Kepala Negara Indonesia jangan orang drop-dropan,' ujar Sayuti. "Pengertiannya sekarang Presiden RI ialah siapa pun yang terpilih dalam sidang MPR sebagai Presiden,' tambahnya. Perintis A.R. Baswedan, 70 tahun, tokoh pendiri Partai Arab Indonesia (1936) dan bekas Menteri Penerangan di zaman Kabinet Natsir punya banyak cerita. Ia sering menerima pengaduan dari kalangan WNI Keturunan Arab, karena diperlakukan sebagai WNI Keturunan Asing. Desember 1978 lalu ia mampir ke rumah Achmad Sungkar di Ungaran. "Achmad Sungkar yang dikenal sebagai peuang itu juga diminta mendaftarkan diri sebagai WNI Keturunan Asing," tutur Perintis Kemerdekaan yang botak dan tinggal bergigi satu itu. Baswedan sendiri punya pengalaman sedih. Tahun 50-an, ketika masih menjadi anggota DPR, ia mengurus kartu C7 sebagai tanda bukti diri yang lazim disebut controle card. Tapi petugas Kantor Pos Yogya meminta Surat Kewargaan Negara. Meskipun Baswedan menyodorkan kartu DPR-nya yang jelas menyebut dirinya bangsa Indonesia, petugas itu ngotot. "Di sekolah, apa saudara tidak belajar civic? Apa ada warganegara asing yang menjadi anggota parlemen?" Baswedan merah padam. Akhirnya C7 keluar juga. Tapi di dalamnya tercantum: Kebangsaan lndonesia keturunan Arab. "Apa boleh buat, peraturannya memang begitu," kata sang petugas pos. Menurut Baswedan, WNI Keturunan Arab sudah lama menganggap diri sebagai pribumi. Baswedan juga membeberkan fakta yang menegaskan keikut-sertaan mereka dalam perjuangan menegakkan republik sejak zaman penjajahan Belanda. Di Jakarta, Hamid Algadri, juga Perintis Kemerdekaan, memperkuat hal itu. Bekas Ketua Fraksi PSI dalam Konstituante tahun 50-an itu bahkan membeberkan bukti-bukti sejarah bahwa peranakan Arab sudah berasimilasi dengan masyarakat Indonesia. Tentang pendaftaran kembali WNI Keturunan Tionghoa, Hamid menduga erat kaitannya dengan kemungkinan pencairan kembali hubungan diplomatik RI-RRC dan santernya berita tentang imigran gelap dari RRC. "Kalau dugaan itu benar, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan keturunan Arab," katanya. Sumber TEMPO di Kejaksaan memang mengakui, dalam penelitian yang sudah berjalan setahun itu memang terungkap beberapa kasus imigran gelap. Ada pula yang memalsukan surat bukti diri. Bagi M.H. Husino yang beranggapan imigran gelap merupakan hal yang umum di semua negara, juga menegaskan bahwa kasus seperti itu tak mungkin terjadi tanpa bantuan orang dalam. "Kasus Robby Cahyadi dan A Tjai misalnya, juga tidak mungkin bisa lancar tanpa bantuan orang dalam. Mereka hanya alat belaka. Keduanya kan tidak berpendidikan," kata Husino. Kalaupun pendataan dan penelitian kembali WNI Keturunan Tionghoa itu dimaksud untuk mengetahui nama-nama dan jumlah orang Tionghoa asing di Indonesia, menurut Husino gampang saja, sebab ada daftarnya dalamLembaranNegara. Menurut perkiraan, jumlah Tionghoa asing baik warga negara RRC, Taiwan maupun stateless, ada sekitar 1 juta lebih. Tapi Husino punya kartu yang sampai sekarang tetap dipertahankannya. Ia tetap berpeang pada UU No. 62/1958. Pasal 1a UU tersebut antara lain menyebutkan bahwa warga negara RI ialah mereka yang sudah warga negara berdsarkan perundang-undangan yang berlaku sejak 17 Agustus 1945." Dan satu-satunya UU tentang kewargaan negara yang berlaku sejak 1945 ialah UU No. 3/1946 intinya berbunyi: semua orang yang lahir di negeri ini, menetap dan tidak menolak sebagai warganegara adalah warganegara RI. Husmo juga merasa heran mengapa Menteri Kehakiman masih mempersoalkan dwi kewarganegaraan. Selain perjanjian dwi kewarganegarn tersebut sudah dibatalkan, pasal 1 Peraturan Penutup dari UU No. 62/1958 juga menyebutkan "seorang warganegara RI yang berada di dalam wilayah RI dianggap tidak mempunyai kewargaan negara lain." Maka tak bisa lain bagi Husino untuk merasa sebagai putera Indonesia yang dianak-tirikan. "Selama ini banyak tuduhan WNI Keturunan Tionghoa itu eksklusif. Tapi sekarang ini justru Pemerintah yang membikin kita kembali eksklusif. Mestinya mereka itu dirangkul, diberi kesempatan luas menjadi warganegara dengan mudah dan jangan ditimbulkan lagi ketionghoaannya," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus