SAWEDI, 50 tahun, tinggal di Jakarta, sekitar 2 tahun
mengalami kesulitan ketika mendaftarkan sekolah anaknya. Si anak
diharuskan menyerahkan Surat Kewargaan Negara. Padahal selama
ini ia merasa warganegara. Sawedi yang berkulit tidak kuning dan
kelahiran Tegal itu pun lantas menanyakan soalnya ke sebuah
instansi. Ia mengenakan seragam ABRI, sebab sejak 1951 ia memang
anggota ABRI. Dan 2 tahun lalu ia berpangkat Peltu.
Tapi betapa kecewanya ketika seorang pejabat bilang: "Sudahlah
pak, buat apa bapak mengurus persoalan orang Cina." Sampai
sekarang, Peltu Sawedi d/h l.iem Bie Thay maupun keluarganya
memang tidak punya Surat Kewargaan Negara. Tahun 1960, ia pernah
menanyakan persoalan tersebut kepada atasannya. Tapi ketika itu
atasannya berkata: "Kamu tidak memerlukan surat seperti itu.
Apalagi kamu kan anggota ABRI."
Itu cerita M.H. Husino d/h Oh Sing Hong, 75 tahun, kelahiran
Yogya. Bekas Pemimpin Redaksi harian Siang Po di Jakarta aman
sebelum proklamasi dan anggota delegasi buruh Indonesia ke
sidang ILO itu kini banyak menulis dan mempersoalkan kesulitan
para WNI keturunan Tionghoa sehubungan dengan keharusan memiliki
surat-surat kewargaan negara, Husino sendiri juga punya
pengalaman seperti itu. Suatu hari ia diharuskan memperlihatkan
STMD alias Surat Tanda Melaporkan Diri. Karena tidak punya, ia
harus berurusan dengan polisi.
Seorang WNI keturunan Tionghoa lainnya, kelahiran Jawa
Tengah, sudah sejak semula berusaha mendidik anak-anaknya
sebagai orang Indonesia. Di rumah, tradisi Cina hampir-hampir
sudah tidak ada. Selain namanya sudah ganti, juga tidak ada
misalnya panggilan engko untuk kakak. Tapi suatu hari, ada
anaknya yang diejek oleh teman-teman sepermainannya sebagai
Cina. Tak bisa lain bagi orangtuanya kecuali menjelaskan "Ya,
kamu memang Cina tapi warganegara Indonesia."
Pengalaman Harry Tjan, anggota Dewan Pertimbangan Agung, setali
tiga uang. Ia terpaksa menunjukkan Surat Kewargaan Negara setiap
kali mengurus KTP di kelurahan atau mengurus surat-surat lain,
misalnya mendaftarkan sekolah anaknya. Perlakuan seperti itu
menurutnya "sangat menyinggung perasaan. "
Menyinggung atau tidak, perkara seperti itu, bulan-bulan
terakhir ini kembali dialami oleh para warganegara keturunan
Tionghoa di DKI. Mereka diharuskan memiliki selembar Surat
Keterangan Pelaporan WNI yang menyatakan tidak terdaftar sebagai
orang asing, yang lazimnya disebut Formulir K-I. Sampai akhir
pekan lalu masih banyak yang antri sejak pagi di Dinas
Pendaftaran Kependudukan Jalan Kebon Sirih.
Sebuah tim yang berkantor di satu ruangan Kejaksaan Agung RI
juga punya kegiatan penelitian data penduduk WNI dan WNA
keturunan Tionghoa. Setiap hari puluhan orang datang ke sana. Di
dinding terpampang pengumuman yang antara lain menyebutkan untuk
penelitian data kependudukan ini diharuskan membayar Rp 3.000
per orang untuk biaya administrasi tidak diperkenankan
menguasakan urusannya kepada orang lain atau biro jasa tidak
diperkenankan memberi imbalan kepada petugas.
Karena penelitian kembali ini menyangkut semua keturunan
Tionghoa yang sudah menjadi warga negara, K. Sindhunata, Ketua
Umum Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom-PKB)
merasa perlu bertemu dengan Jaksa Agung dan Menteri Dalam
Negeri. Keberatan itu antara lain karena selama ini mereka
merasa sudah menjadi warga negara. Apalagi pendaftaran itu juga
tidak mengecualikan anak-anak WNI Keturunan Asing yang masih di
bawah umur. Padahal mestinya, sebagai anak dari orangtua yang
sudah WNI, otomatis mereka juga WNI.
Panjang
Tapi menurut Bachtiar, Kepala Dinas Pendaftaran Kependudukan
DKI, hal itu tidak ada kaitannya dengan masalah kewargaan
negara. Akan halnya anak-anak itu, kata Bachtiar, "memang tetap
sah sebagai WNI, hanya karena orangtuanya WNI Keturunan Asing,
mereka pun terkena peraturan tersebut."
Dan hanya dengan formulir itulah mereka bisa mendapatkan KTP.
Untuk mendapatkan formulir tersebut harus pula membawa
surat-surat lain seperti Surat Bukti Kewargaan Negara, Akte
Kelahiran dari kantor Catatan Sipil, Surat Keterangan Ganti
Nama. Keringanan sedikit bagi anak yang lahir di Jakarta hanya
diperlukan surat ke-WNI-an orangtua, Akte Kelahiran dan Kartu
Keluarga.
Susahnya, tak semua WNI Keturunan Tionghoa memiliki surat-surat
lengkap. Apalagi mereka yang lahir di sini dan merasa sudah
menjadi warganegara sejak lama. Tidak heran bila hal itu membuka
kemungkinan komersialisasi jabatan seperti dikatakan oleh Harry
Tjan pekan lalu. Pendaftaran yang untuk kesekian kalinya itu,
menurut anggota DPA itu juga dinilainya menjengkelkan. "Saya
dengar katanya ini pendaftaran terakhir. Tapi siapa bisa
menjamin bahwa ini yang terakhir?" kata Harry.
Ada pula beberapa orang yang harus menghadapi pertanyaan yang
cukup panjang. Menurut M.H. Husino, pertanyaan yang diajukan
misalnya: punya modal berapa, teman baik di ABRI siapa,
familinya berapa dan siapa saja, asalusulnya bagaimana, berapa
famili yang di luar negeri. Kalau ada famili yang meninggal juga
harus ditunjukkan surat kematiannya. Dan sebagainya.
Untuk apa sebenarnya semua kegiatan ini, beberapa sumber yang
dihubungi TEMPO enggan memberi penjelasan.
Baik Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan maupun kalangan DKI.
Tapi dari pernyataan Menteri Kehakiman Moedjono pekan lalu
menjelaskan bahwa pendataan dan penelitian ini ada hubungannya
dengan penjajagan kemungkinan normalisasi hubungan diplomatik
RI-RRC.
Menteri Kehakiman Moedjono pada peringatan ulang-tahun ke 29
Imigrasi di Ditjen Imigrasi Jakarta bahkan menegaskan perlunya
peningkatan penanganan orang-orang Tionghoa di sini "karena
sangat penting dalam menjajagi kemungkinan pencairan hubungan
diplomatik Rl-RRC." Moedjono juga berharap agar jangan lagi
terdapat orangorang Tionghoa yang "le sini hukan, ke sana pun
bukan tapi jelas sebagai WNI sungguh-sungguh atau bukan."
Tjuo Sangi Ing
Pada 1977 memang telah turun Kepres No. 52 tentang pendaftaran
penduduk. Dalam Keputusan Presiden itu disebut, bahwa
"pendaftaran penduduk di Indonesia belum terlaksana dengan
baik." Tiga bulan kemudian, akhir 1977 turun petunjuk
pelaksanaannya dari Menteri Dalam Negeri, berupa Instruksi
Mendagri No. XO1, memuat tahapan pendaftaran .
Selambat-lambatnya 31 Maret 1978 orang asing dan penduduk
sementara sudah terdaftar. Dan selambat-lambatnya 31 Desember
1978 semua WNI Keturunan Asing sudah terdaftar. Begitu pula
"penduduk yang belum terdaftar" yang barangkali dimaksud
sebagai penduduk WNI yang bukan keturunan asing. Selain itu juga
disebutkan agar dalam Kartu Keluarga dan KTP WNI Keturunan Asing
disebutkan tanggal dan nomor Surat Kewargaan Negara (SBK).
Perhatian yang khusus terhadap WNI Keturunan Asing dalam
instruksi tersebut diam-diam menimbulkan reaksi. Orang seperti
M.H. Husino misalnya menilai bahwa hal itu bertentangan dengan
pasal 27 UUD '45 yang menegaskan persamaan hak dan kewajiban
bagi semu warganegara -- baik pribumi maupu non pribumi.
Pengertian pribumi dan non pribumi asli atau peranakan, dalam
UUD 45 sendiri tidak dikenal. Bahkan seorang anggota DPR dan
tokoh '45 punya penafsiran yang menarik atas pasal 6 ayat UUD
'45, yang menyebut "Presiden ialah orang Indonesia asli."
Menurut tokoh itu, Sayuti Melik, 71 tahun, ada latar belakang
sejarahnya. Menurut anggota F-KP itu, dalam sidang Tjuo Sangi
In -- semacam dewan perwakilan di zaman Jepang -- Pemerintah
Balatentara Da Nippon menghendaki agar Kepala Negara Indonesia
yang bakal merdeka adalah orang Jepang keturunan Kaisar Tenno
Haika.
Nah, untuk menolak gagasan Jepang itulah, sebagian besar
anggota sidang merumuskan "orang Indonesia asli" sebagai Kepala
Negara. Menurut Sayut Melik, ketika itu tidak ada pikiran bahwa
pengertian "asli" dimaksudkan ada hubungannya dengan ras. "Tapi
semata mata untuk membedakannya dengar orang Jepang. Pokoknya
Kepala Negara Indonesia jangan orang drop-dropan,' ujar Sayuti.
"Pengertiannya sekarang Presiden RI ialah siapa pun yang
terpilih dalam sidang MPR sebagai Presiden,' tambahnya.
Perintis
A.R. Baswedan, 70 tahun, tokoh pendiri Partai Arab Indonesia
(1936) dan bekas Menteri Penerangan di zaman Kabinet Natsir
punya banyak cerita. Ia sering menerima pengaduan dari kalangan
WNI Keturunan Arab, karena diperlakukan sebagai WNI Keturunan
Asing. Desember 1978 lalu ia mampir ke rumah Achmad Sungkar di
Ungaran. "Achmad Sungkar yang dikenal sebagai peuang itu juga
diminta mendaftarkan diri sebagai WNI Keturunan Asing," tutur
Perintis Kemerdekaan yang botak dan tinggal bergigi satu itu.
Baswedan sendiri punya pengalaman sedih. Tahun 50-an, ketika
masih menjadi anggota DPR, ia mengurus kartu C7 sebagai tanda
bukti diri yang lazim disebut controle card. Tapi petugas Kantor
Pos Yogya meminta Surat Kewargaan Negara. Meskipun Baswedan
menyodorkan kartu DPR-nya yang jelas menyebut dirinya bangsa
Indonesia, petugas itu ngotot. "Di sekolah, apa saudara tidak
belajar civic? Apa ada warganegara asing yang menjadi anggota
parlemen?" Baswedan merah padam. Akhirnya C7 keluar juga. Tapi
di dalamnya tercantum: Kebangsaan lndonesia keturunan Arab. "Apa
boleh buat, peraturannya memang begitu," kata sang petugas pos.
Menurut Baswedan, WNI Keturunan Arab sudah lama menganggap diri
sebagai pribumi. Baswedan juga membeberkan fakta yang
menegaskan keikut-sertaan mereka dalam perjuangan menegakkan
republik sejak zaman penjajahan Belanda. Di Jakarta, Hamid
Algadri, juga Perintis Kemerdekaan, memperkuat hal itu. Bekas
Ketua Fraksi PSI dalam Konstituante tahun 50-an itu bahkan
membeberkan bukti-bukti sejarah bahwa peranakan Arab sudah
berasimilasi dengan masyarakat Indonesia.
Tentang pendaftaran kembali WNI Keturunan Tionghoa, Hamid
menduga erat kaitannya dengan kemungkinan pencairan kembali
hubungan diplomatik RI-RRC dan santernya berita tentang imigran
gelap dari RRC. "Kalau dugaan itu benar, hal itu tidak ada
sangkut-pautnya dengan keturunan Arab," katanya. Sumber TEMPO di
Kejaksaan memang mengakui, dalam penelitian yang sudah berjalan
setahun itu memang terungkap beberapa kasus imigran gelap. Ada
pula yang memalsukan surat bukti diri.
Bagi M.H. Husino yang beranggapan imigran gelap merupakan hal
yang umum di semua negara, juga menegaskan bahwa kasus seperti
itu tak mungkin terjadi tanpa bantuan orang dalam. "Kasus Robby
Cahyadi dan A Tjai misalnya, juga tidak mungkin bisa lancar
tanpa bantuan orang dalam. Mereka hanya alat belaka. Keduanya
kan tidak berpendidikan," kata Husino.
Kalaupun pendataan dan penelitian kembali WNI Keturunan Tionghoa
itu dimaksud untuk mengetahui nama-nama dan jumlah orang
Tionghoa asing di Indonesia, menurut Husino gampang saja, sebab
ada daftarnya dalamLembaranNegara. Menurut perkiraan, jumlah
Tionghoa asing baik warga negara RRC, Taiwan maupun stateless,
ada sekitar 1 juta lebih.
Tapi Husino punya kartu yang sampai sekarang tetap
dipertahankannya. Ia tetap berpeang pada UU No. 62/1958. Pasal
1a UU tersebut antara lain menyebutkan bahwa warga negara RI
ialah mereka yang sudah warga negara berdsarkan
perundang-undangan yang berlaku sejak 17 Agustus 1945."
Dan satu-satunya UU tentang kewargaan negara yang berlaku sejak
1945 ialah UU No. 3/1946 intinya berbunyi: semua orang yang
lahir di negeri ini, menetap dan tidak menolak sebagai
warganegara adalah warganegara RI. Husmo juga merasa heran
mengapa Menteri Kehakiman masih mempersoalkan dwi
kewarganegaraan.
Selain perjanjian dwi kewarganegarn tersebut sudah dibatalkan,
pasal 1 Peraturan Penutup dari UU No. 62/1958 juga menyebutkan
"seorang warganegara RI yang berada di dalam wilayah RI dianggap
tidak mempunyai kewargaan negara lain." Maka tak bisa lain bagi
Husino untuk merasa sebagai putera Indonesia yang
dianak-tirikan.
"Selama ini banyak tuduhan WNI Keturunan Tionghoa itu eksklusif.
Tapi sekarang ini justru Pemerintah yang membikin kita kembali
eksklusif. Mestinya mereka itu dirangkul, diberi kesempatan luas
menjadi warganegara dengan mudah dan jangan ditimbulkan lagi
ketionghoaannya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini