Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jimat dari Mayor Gibran
Chudori Sukra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selepas tugas kemiliteran dari wilayah Timor Timur pada 2000, salah seorang teman Ayah, Mayor Gibran, sering membagi-bagikan cendera mata unik kepada keluarga kami. Di antaranya gelang dari akar bahar, potongan kayu dari pohon cendana, bahkan tasbih manik-manik yang konon banyak dimanfaatkan teman-teman tentara sebagai jimat yang paling mujarab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika dia bertandang ke rumah setelah belasan tahun tak berjumpa, saya melihat Mayor Gibran telah menjelma sebagai lelaki tua berbadan tambun dan gemuk. Mungkin saat ini pangkat kemiliterannya sudah mencapai letnan kolonel, mayor jenderal, atau apalah namanya. Tapi keluarga kami kadung menjulukinya sebagai “tentara petualang”, dan saya sendiri tetap memanggilnya Pak Mayor seperti dulu.
Saya menjabat tangannya dengan erat, lalu Pak Mayor mengamati wajah saya dengan saksama, “Wah, kamu sudah besar rupanya, Lim? Masih pelajar atau sudah mahasiswa?” tanyanya kemudian.
“Mahasiswa semester akhir,” jawab saya.
“Jurusan apa?”
“Filsafat,” jawab saya singkat.
Mayor Gibran duduk di atas kursi yang saya sodorkan ke hadapannya. Ia mengamati sekeliling rumah sambil menghela napasnya. Ibu menyuguhkan dua cangkir kopi dengan nampan unik yang terbuat dari anyaman rotan. Ia menghirup kopi hitam itu sebanyak dua kali, lalu bicara panjang-lebar tentang pengalamannya selama bertugas di Timor Timur, Sumatera, Jawa Tengah, hingga Banten selatan.
Semuanya duduk melingkar dengan antusias mengelilingi meja, sementara Mayor Gibran menegakkan bahunya yang bidang di kursi dan bicara mengenai kejadian-kejadian aneh dan menakutkan perihal serangan wabah penyakit, serangan musuh yang dianggap merongrong kewibawaan negara, bahkan tentang keyakinan orang-orang dusun pedalaman yang dianggap langka, sakral, dan aneh bin ajaib.
“Setelah tugas kemiliteran dari Timor Timur, pada tahun 2001 lalu, saya pernah bertugas menjaga badak-badak bercula satu di Ujung Kulon, juga gajah-gajah di Lampung, yang sering menyerang warga setempat. Kerjanya tidak terlalu berat, tapi penghasilannya lumayan.”
“Boleh ajak-ajak saya supaya mendapat penghasilan yang memadai,” sahut Kak Hendra, kakak sulung saya.
“Lho? Bukankah kamu sudah menjadi karyawan di PT Baja?” tanya Mayor Gibran.
“Tapi saya ingin punya pengalaman yang kaya seperti Pak Mayor, terutama kaya hartanya…”
“Ah, kamu bisa saja,” balas Pak Mayor.
Tak berapa lama, setelah mengamati cincin pada jari manis sahabatnya itu, Ayah pun angkat bicara, “Oya, ngomong-ngomong, cincin apa yang kau pakai itu? Apakah sejenis bacan atau giok? Mungkin harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah, iya kan?”
“Ah, cincin ini enggak ada artinya, juga enggak ada harganya… Maksud saya, cincin ini saya beli dengan harga murah,” katanya sambil menunjukkan cincin sebesar biji kacang yang berkilauan di jari manisnya.
“Lalu, bagaimana dengan gelang bahar yang dulu kau miliki?” pancing Ibu.
“Ah, sudahlah, lupakanlah semua itu. Bagi kalian, hal itu cuma perbuatan syirik yang tak ada manfaatnya. Itu sama saja dengan takhayul atau sihir, dan sekarang kita sudah memasuki zaman milenial, bukankah begitu, Hendra?”
“Ya,” dengan ragu-ragu Kak Hendra mengangguk.
“Tapi benda kecil seperti keris yang pernah Pak Mayor tunjukkan melalui WA bukankah itu terbuat dari batu kalimaya?” tanya Ibu lagi.
Semakin antusias kami membaca tatapan mata Mayor Gibran yang seperti manik-manik. Ia menghirup kopi sekali lagi dan berdehem dengan penuh wibawa, kemudian meraba-raba isi sakunya, “Nah, ini dia.” Benda itu ditatapnya erat-erat, kemudian katanya lagi, “Sebenarnya, benda ini saya terima dari seorang petugas di Keraton Solo ketika saya bertugas di Jawa Tengah. Katanya, ini adalah peninggalan dari Kerajaan Surakarta. Tampaknya lebih pipih seperti gagang sendok yang terpotong dua. Tapi, bila kalian cermati bentuknya, mirip keris berukuran mini yang terbuat dari batu kalimaya.”
Ia pun menyodorkan benda itu ke arah meja. Semua menjulurkan mukanya ke arah benda antik itu. Ayah kembali ke posisi duduknya dengan senyum menyeringai, tapi Ibu dan Kak Hendra seperti berebutan mengambil benda itu, mengamatinya dengan rasa penasaran.
“Lalu, apa keistimewaan yang dimiliki benda itu?” tanya saya kemudian.
Sambil menghela napasnya dalam-dalam dan dengan mata menerawang, Mayor Gibran berkata, “Keris batu ini sudah mendapat aji-ajian dari orang pintar untuk kelanggengan Raja Paku Buwono di Keraton Surakarta. Konon, orang pintar itu pernah bertapa di beberapa gunung, dari Kemukus, Merapi, Lawu, hingga Gunung Karang di Banten.”
Mayor Gibran menggeser duduknya sedikit, mengamati reaksi kami yang terpukau mendengar uraiannya, kemudian lanjutnya, “Suatu hari, saya pernah mendapat pesan dari orang pintar di Gunung Kemukus, bahwa takdir hiduplah yang menentukan nasib manusia, sementara bagi orang-orang yang coba-coba melawan takdir, sepanjang hidupnya takkan pernah menemukan apa yang disebut kebahagiaan.”
Ayah mengernyitkan dahi seperti meraba-raba maksud perkataannya, lalu potongnya lagi, “Coba jelaskan kepada kami, apa keistimewaan keris batu ini?”
Pak Mayor berdehem beberapa kali, dan jawabnya, “Ciri khas dari keistimewaan keris sakti ini, bahwa orang pintar yang bertugas di Keraton Surakarta pernah meniupkan aji-ajian mujarab, sehingga tiga orang yang berbeda bisa meminta tiga permintaan yang berbeda pula.”
Kami membaca arah perkataannya. Gerak-geriknya mengesankan dan penuh karisma, membuat kami serba riskan dan waswas, bahkan untuk sekadar tersenyum di hadapannya.
“Lalu, kenapa tidak Pak Mayor sendiri yang meminta kalau perlu tiga permintaan sekaligus?”
Pertanyaan saya tidak ditanggapi. Mata Ibu menyorot tajam ke arah saya, seakan memperingatkan agar jangan sampai mengulangi kata-kata yang dianggap tak senonoh. Tak lama kemudian, Mayor Gibran menanggapinya dengan suara pelan, “Sudah pernah saya lakukan… ya, sayalah peminta yang kedua itu... Karena itu, benda ini berada di tangan saya sekarang.”
“Lalu, apakah permintaan Mayor dan peminta yang pertama langsung dikabulkan?” tanya Ayah penasaran.
Pak Mayor menghela napasnya, lalu katanya dengan pandangan menerawang, “Saya kurang begitu respek dengan peminta yang pertama. Dia seorang tentara yang mengabdi pada Orde Baru, tapi yang bikin saya sedih adalah nasib hidupnya di kemudian hari…”
“Maksudnya?” tanya saya.
“Apa yang dia minta?” potong Ayah seketika. “Kekayaan, pangkat dan gelar, ataukah kekuasaan?”
Mayor Gibran menarik napas panjang. Tatapannya menerawang seakan-akan membayangkan seorang sahabat yang hidupnya merana dan menyedihkan. “Dia seorang tentara berpangkat letkol, tapi berbaring selama berbulan-bulan karena luka berat pada pangkal paha kanannya. Dia pernah tertembak oleh pasukan Fretilin di Timor Timur. Karena lukanya terus membusuk, dan dia tak sanggup menahan derita berkepanjangan, dia minta pada keris batu ini agar disudahi hidupnya…”
“Hah?” kata saya kaget. “Maksudnya, dia bunuh diri?”
“Tidak,” jawabnya menampik. “Dia mengembuskan napasnya yang terakhir beberapa jam setelah menyatakan permintaannya.”
“Bagaimana jalan ceritanya hingga keris itu sampai di tangan Pak Mayor?” pancing saya lagi. “Lalu, apa yang didapat Pak Mayor sebagai peminta yang kedua?”
Tatapan Mayor Gibran berkaca-kaca, sambil mengelus-elus keris batu itu di telapak tangannya. Ibu mengangkat kepalanya, memecah kesunyian. “Kalau ketiga permintaan sudah terjawab, berarti benda ini sudah tidak ada gunanya lagi?”
“Bukan begitu,” kata Mayor Gibran. “Permintaan itu tak ada batasnya, seakan-akan kembali ke putaran awal untuk peminta pertama hingga ketiga, tapi, ah sudahlah… sebaiknya kita lupakan saja….”
Kesenyapan menyelimuti perasaan kami, terutama ketika mendengar nada bicaranya yang parau dan agak pesimistis. “Suatu ketika saya sendiri ingin menjualnya,” sambungnya lagi. “Tapi ya sudahlah, benda ini sudah membawa banyak malapetaka dalam hidup saya.”
Mayor Gibran melangkah ke arah jendela. Ketika akan melempar benda itu ke luar jendela, tiba-tiba Ibu berteriak keras, “Jangan, Pak Mayor! Nanti dulu… ada satu hal yang ingin saya pertanyakan.”
Dengan suara terengah-engah, Ibu melanjutkan sambil menatapnya tajam, “Begini, kalau misalnya saat ini Pak Mayor punya kesempatan sebagai orang ketiga yang meminta, apakah Pak Mayor akan memilikinya?”
“Saya enggak tahu, Bu,” katanya menggeleng. “Yang sudah saya alami selama ini, saya hanya dalam posisi peminta yang kedua.”
Ketika Mayor Gibran akan melemparkan benda itu untuk kedua kalinya, Ayah segera menggamit lengannya seraya merebut benda itu dari genggamannya. Sambil tersenyum sinis, ia merasa berhak memiliki benda itu, dan seketika Ayah membuka laci meja dan menaruhnya di dalam laci.
Mayor Gibran tak begitu peduli, kemudian ia duduk di kursi seraya bergumam, “Sebaiknya Bapak buang saja jimat keris itu, tidak ada gunanya,” ujarnya seakan memperingatkan.
"Kalau memang tidak menginginkannya lagi, mengapa tidak kamu berikan saja kepada orang lain?” tegur Ibu ketus.
"Sebenarnya berkali-kali saya ingin melempar benda itu jauh-jauh, tapi baiklah,” katanya setengah mengancam. “Kalau kalian memaksakan kehendak, kalian harus menerima segala risiko dan akibatnya.”
"Ah, perkataanmu kayak dongeng Malin Kundang, Pak Mayor. Lalu, bagaimana ini cara menggunakannya?” tanya Ayah setelah mengeluarkan kembali benda itu dari dalam laci.
Dengan wajah yang penuh kecemasan, Mayor Gibran menepuk bahu Ayah, “Kalau kamu benar-benar ingin meminta,” katanya dengan suara parau, “mintalah untuk sesuatu yang wajar dan masuk akal.”
“Supaya jadi presiden… atau wakil presiden?” celetuk saya.
“Husss,” sekali lagi Ibu mengingatkan.
Ayah memasukkan benda itu ke sakunya, kemudian Ibu menghampiri Ayah dan mengambilnya, seraya mengamatinya erat-erat. Lalu, dengan raut bercanda, dia berkata, “Untuk saya pribadi, sebenarnya tidak tahu apa yang harus diminta, sebab selama hidup sepertinya saya sudah mendapatkan segala yang dibutuhkan.”
Kak Hendra kemudian menyela perkataan Ibu sambil mengenakan sepatunya hendak berangkat kerja, “Kalau Ayah dan Ibu ingin merehab rumah ini agar sedikit nyaman ditempati, saya kira minta dua ratus juta sudah cukup.”
Ayah tersipu malu. Ia menggenggam benda itu di telapak tangannya. Pada raut wajahnya mudah terbaca bahwa ia memang punya kecenderungan kuat untuk mempercayai sesuatu. Dengan ragu-ragu, mulut Ayah kemudian mengeluarkan suara, “Ya, saya kira, dua ratus juta sudah cukup.”
“Yang keras, Pak,” tegur Mayor Gibran.
“Saya minta dua ratus juta!”
“Sekali lagi!”
“Saya minta dua ratus juta rupiah!!”
Tiba-tiba terdengar bunyi “prang” membelah suasana. Seekor kucing belang telah memecahkan gelas cucian di dapur. Ibu segera berlari ke belakang seraya mengusir binatang itu agar keluar pintu. Sekembalinya ke ruang depan, ia terheran-heran melihat mata Ayah berkaca-kaca dengan dahi mengerut.
“Ada apa, Alim?” tanya Ibu seketika.
“Saya sendiri enggak tahu, Bu?”
“Ada apa, Ayah?” ia pun memberanikan diri bertanya langsung.
"Keris batu itu bergerak, Bu!" ia berseru, dengan lirikan jijik pada benda itu saat dilepaskan dari genggamannya. “Ketika saya minta dua ratus juta tadi, tiba-tiba benda itu bergerak seperti lintah menggeremet di telapak tangan.”
“Ah, enggak mungkin, pasti itu cuma khayalan Ayah.”
“Benar, Bu, ini benar-benar terjadi,” kata Ayah dengan mata terbelalak. “Keris batu itu benar-benar bergerak… jimat itu benar-benar hidup…!”
Mata Mayor Gibran seakan berbinar, mulutnya tersenyum menyeringai. “Selamat, mulai sekarang, jimat ini menjadi milik Bapak,” katanya sambil menjabat tangan Ayah erat-erat.
***
Kadang suasana menjemukan meliputi keluarga kami. Terutama ketika kehidupan menjadi bimbang dan keimanan pada Tuhan Yang Maha Esa semakin menipis. Di musim-musim paceklik, hawa panas begitu menyengat. Biaya hidup semakin meninggi, apalagi setelah ada pengumuman pemerintah mengenai kenaikan harga BBM menyusul harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari. Pada saat yang menentukan itu, kepercayaan Ayah pada benda-benda pusaka semakin menguat, seolah-olah setiap benda apa pun yang telah diisyaratkan oleh orang-orang pintar serta-merta menjadi keyakinan dan kepercayaan mutlak.
“Omong kosong saja semuanya itu,” gumam saya dengan ketus. “Saya kira banyak kelakuan tentara di zaman Orde Baru memang aneh-aneh. Tapi kesalahan terbesar bangsa ini karena terlampau percaya pada omong kosong takhayul semacam itu. Padahal, zaman sudah berubah. Mana mungkin suatu doa dan permintaan dapat terkabul seketika?”
Ibu mengalihkan pembicaraan, “Mana mungkin hanya minta dua ratus juta dapat menyakiti Ayah, kalau perlu Ayah minta lebih dari itu.”
Saya mendengar canda Kak Hendra dari balik pintu, "Yah, jangan habiskan uangnya sebelum saya pulang, saya mau berangkat kerja dulu!”
Ibu tertawa keras sambil menatap keberangkatan Kak Hendra dari balik tirai jendela. Mobil antar-jemput PT Baja sudah membunyikan klaksonnya di depan rumah. Ayah tak peduli pada tawa Ibu yang seakan menyindirnya karena begitu mudah percaya pada hal-hal yang bersifat mistis dan khurafat.
"Kenapa Ibu masih tertawa saja, Yah?” pancing saya kemudian.
“Biarkan saja, Lim. Apa pun yang ditertawakan ibumu, nyatanya benar bahwa batu jimat itu bergerak-gerak di genggaman Ayah tadi.”
“Ayah hanya berpikir seolah-olah benda itu bergerak…”
“Sumpah! Itu bukan hanya pikiran Ayah, tapi keris batu itu benar-benar bergerak!”
***
Di sore hari, Ibu seperti mengamati bayangan misterius dari seorang pria di luar jendela, yang mengintip ragu-ragu ke dalam rumah. Tampaknya orang itu sedang berpikir hendak mengetuk pintu untuk segera masuk. Dahi Ibu mengerut dengan mata menyorot tajam, seakan tebersit dalam ingatannya mengenai uang dua ratus juta yang dimintakan Ayah dari mulutnya sendiri. Orang asing itu mengenakan seragam PT Baja dengan rambut tersisir rapi. Ibu segera keluar menyambutnya, lalu mengajaknya masuk dan duduk di ruang depan. Setelah menyediakan secangkir teh, tamu itu merasa serba salah menghadapi wajah Ibu yang berseri-seri. Sedangkan kabar mengenai kecelakaan kerja yang dialami Kak Hendra disampaikan dengan suara terbata-bata.
"Jadi, saya ditugaskan oleh perusahaan… untuk menemui keluarga Hendra Hermawan… tentang keadaan yang dialaminya siang tadi,” demikian ia menyebut nama lengkap Kak Hendra.
“Ada apa dengan anak saya? Ada apa, Pak?” tanya Ibu tersentak kaget. Saya dan Ayah meninggalkan ruang teve dan menghambur ke ruang depan.
“Kami minta Ibu dan semua keluarga bisa menerima takdir Tuhan ini dengan sabar…”
“Coba, sampaikan saja terus terang, Pak,” pinta Ayah.
“Kami mohon maaf sebesar-besarnya atas kecelakaan kerja yang dialami almarhum Hendra di perusahaan kami…”
“Kenapa, Pak, kecelakaan apa?” teriak Ibu histeris.
Tamu itu pun menundukkan kepalanya, “Almarhum mengalami kecelakaan kerja sekitar jam satu siang tadi…”
Ibu menarik napas panjang sambil mengeluarkan suara melenguh. Ia beralih melihat wajah Ayah, lalu meletakkan tangannya yang gemetar di atas tangan Ayah. Sesaat muncul keheningan panjang yang melanda ruangan itu.
"Hendra terjepit di antara dua mesin, kemudian terperangkap di dalamnya.”
“Terjepit mesin?” pekik Ayah penuh tanda tanya.
“Iya, Pak, setelah mayatnya diangkat dari mesin, dokter menganjurkan beberapa bagian tubuhnya agar dimutilasi. Saat ini, semuanya sudah selesai.”
Ayah berdiri terpaku, memandang ke luar jendela, sambil menggenggam tangan Ibu erat-erat. Seketika tamu itu berdiri di samping Ayah, lalu dengan suara pelan mengatakan, “Pihak perusahaan memberi amanat agar segera mengabarkan peristiwa ini kepada Bapak dan Ibu, lalu kami harap semua keluarga di sini memahami bahwa saya hanya pesuruh yang diberi tugas oleh pihak perusahaan.”
Saya masih diam mematung, bersama Ayah dan Ibu dengan wajah mereka yang teramat tegang dan pucat. Kemudian, tamu itu menambahkan, “Jadi, PT Baja merasa bertanggung jawab atas peristiwa ini, lalu mengurus kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, terutama setelah menimbang pengabdian dan kerja keras anak Bapak dan Ibu selama kerja di perusahaan. Oleh karena itu, mereka ingin memberikan santunan kematian dalam jumlah tertentu agar sekiranya Bapak dan Ibu mau menerimanya dengan ikhlas. Sedangkan urusan-urusan lainnya nanti kami bantu dengan senang hati.”
Setelah mobil ambulans datang, menyusul para pelayat membacakan ayat-ayat suci Al-Quran di sekeliling rumah, jasad Kak Hendra kemudian disalatkan, lalu dikebumikan di permakaman desa. Setelah kami kembali dari permakaman, suasana rumah diliputi bayang-bayang senyap penuh keheningan.
Dengan perasaan lesu dan tak bergairah, Ayah membuka selembar surat mengenai santunan untuk kematian Kak Hendra, yang diberikan pihak perusahaan. Seketika Ibu merasa geram dan terperangah saat melihat jumlah uang santunan: dua ratus juta rupiah!
Chudori Sukra, prosais generasi milenial. Ia juga anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI). Menulis prosa dan esai di sejumlah media massa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo