Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiba-tiba ada sesosok tubuh bertelanjang dada dengan kepala dibungkus kaus tergeletak di tengah jalan, tepat di muka gerbang Pasar Baru, Jakarta, sore itu. Tubuh tersebut sama sekali tak bergerak. Di depannya terdapat koper terbuka, berisi "potongan-potongan anatomi manusia".
Seorang perempuan berperawakan kecil (koreografer Poppy Parisa) dari arah kantor Galeri Foto Jurnalistik Antara tampak membopong sebuah torso tanpa kepala berlumuran "darah" dari resin. Ia melempar tubuh itu ke Sungai Ciliwung yang melintasi Pasar Baru. Ia balik lagi ke markas fotografer Antara. Saat muncul kembali, ia membawa tas keresek berisi puluhan potongan tangan, kaki, dan kepala. Ia membuang-buang "cacahan mayat" itu. Sungai menjadi penuh kepala, kaki mengambang.
Lalu kekacauan terjadi. Terdengar suara megafon meraung-raung. Enam penari dari berbagai penjuru berlari-lari panik menuju sungai. Ada yang melompat-lompat di pinggir sungai. Ada yang memukul-mukul besi jembatan. Lalu mereka ternyata juga melempar-lemparkan potongan "jenazah" ke sungai.
Itulah pertunjukan Sungai Merah (Jumat, 23 Desember) garapan koreografer lulusan Institut Kesenian Jakarta, Poppy Parisa Agussusanti. Ia bekerja sama dengan pematung senior Iriantine Karnaya. Iriantiane-lah yang membuat potongan tubuh manusia itu. Wajah kepala buatan Iriantine yang mengambang tersebut tampak mengerikan. Wajah yang menahan sakit.
Tapi kemudian menyeruak adegan puitis. Seorang penari laki-laki, dengan tubuh penuh luka sayatan dan menggendong pecahan torso, berjalan perlahan meniti pipa air di sungai. Dari arah seberang halte busway, seorang penari perempuan berambut panjang (Yuyun) berselendang merah juga meniti. Di atas pipa besi itu, ia bergerak liar.
"Teror" Poppy sore itu merupakan bagian dari perhelatan Jakarta Biennale#14.2011. Menurut Poppy, ia ingin merefleksikan tema Jakarta Biennale tahun ini: "Maximum City: Survive or Escape?". Ia melihat, makin lama, kriminalitas di Jakarta makin tak masuk akal. "Sering kan kita temukan mayat atau potongan tubuh di kali di kota ini," katanya.
Belum beberapa menit pementasan Poppy selesai, mendadak penonton dikagetkan oleh adanya lelaki berkostum khas Papua menari-nari di atas tembok jembatan Pasar Baru. Inilah koreografi Sabilul Razak. Di jembatan itu, lulusan Institut Kesenian Jakarta ini memasang "robot-robotan" terbuat dari pipa penuh kabel dan barang-barang elektronik bekas.
Di pipa air yang melintasi sungai, dia menancapkan sebuah instalasi berbentuk bola dunia raksasa dari kertas. Mulanya ia sendiri meniti pipa air itu dan membuat gerakan-gerakan halus. Para penari Sabilul kemudian membuat kehebohan. Bagian yang paling menarik adalah ketika salah seorang penari, yang berkepala Tomahawk, menyemburkan api dari mulutnya mengarah ke bola dunia raksasa itu.
Saat bola itu terbakar, melintas sebuah rakit di sungai. Seseorang berpakaian putih seperti pendeta mendayung. Di atas rakit itu berdiri seorang perempuan. Ia seperti seorang putri raja. Ia membawa kipas besar. Ketika kipas itu dibentangkan, terlukiskan peta kepulauan Indonesia berdarah.
Sore itu, sungai Pasar Baru mendadak menjadi panggung kontemporer seni pertunjukan kita. Pentas di lokasi publik ini seperti sebuah penyegaran bagi pentas-pentas tari dalam ruangan. Di sini kejutan dan ketakterdugaan menjadi bagian dari pertunjukan.
Itu juga yang dilakukan koreografer Aidil Usman sehari sebelumnya saat menyuguhkan karya berjudul Kali Mati. Mula-mula ia membawa puluhan penarinya yang gundul plontos, dengan seluruh badan dibaluri warna putih, masuk ke area pertokoan Pasar Baru. Mereka berpencar mencari dan meminta sampah kepada pemilik toko dan pengunjung. Sampah itu mereka masukkan ke karung-karung yang mereka panggul.
Bagian yang mencekam adalah ketika makhluk-makhluk seperti tuyul ini terjun berenang ke kali yang kotor, hitam, dan bau itu. Tubuh mereka terendam sebatas dada karena permukaan sungai naik akibat hujan. Di dalam sungai, mereka melakukan ritus. Membuat lingkaran sembari meneriakkan mantra-mantra, mereka lalu membakar karung-karung sampah. Nyala api yang besar di tengah sungai itu seperti sebuah puncak ritus pembersihan diri. Sebuah katarsis saat magrib.
Pentas ketiga koreografer ini menggedor. Meski sebagian besar warga yang menonton mengira ini bagian dari aksi demonstrasi.
Nunuy Nurhayati, Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo